SEQUEL PERTAMA LENTERA DON GABRIEL EMERSON
WAJIB BACA KISAH LENTERA DON GABRIEL EMERSON LEBIH DULU!!!
Area DEWASA!!! Sebagian cerita mengandung unsur 2+!
Micheal Emerson (28) sangat mencintai Arini Kamilia sejak ia masih remaja, keduanya begitu dekat dan restu keluarga sudah mereka kantongi. Namun, tiba-tiba Micheal mengambil sebuah keputusan yang sangat mengejutkan keluarga ketika Micheal justru meminang adik Arini yang bernama Zenwa Fahira. Seorang gadis cantik berusia 21 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di pesantren, Zenwa tak punya pilihan lain ketika keluarganya mendesaknya untuk menerima pinangan Micheal, membuat Zenwa begitu membenci Micheal dan menganggap Micheal adalah pria egois.
"Apa? Kenapa? Kamu mencintai Kakak ku tapi kenapa kamu memilihku menjadi makmummu?" - Zenwa Fahira.
"Aku mencintai Kakakmu, tapi hatiku memilih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SkySal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
Jam menunjuakan pukul 3 dini hari, Zenwa hanya sendirian di rumah karena keluarganya masih di rumah sakit. Dan saat ini, Zenwa duduk termenung di tengah ranjangnya yang bertabur bunga mawar, kamarnya masih sama seperti tadi siang, di hias layaknya kamar pengantin.
Setelah seharian sibuk dengan acara pernikahannya, setelah semua kelelahan yang ia rasakan, itu tak membuat Zenwa bisa menutup mata walau hanya sekejap. Semuanya terlalu rumit, menjungkir balikan perasaan Zenwa dalam hitungan detik. Zenwa mengangkat tangannya dan ia menatap jarinya, dimana beberapa jam yang lalu, Micheal menyematkan cincin disana dan sekarang Zenwa sudah melepasnya.
"Cincinnya bisa aku lepas sesuka hati, tapi ikatan pernikahan ini?" gumam Zenwa sambil tersenyum masam.
"Kenapa harus aku?" air mata Zenwa seolah sudah mengering, wajahnya sudah sangat sebab. Zenwa menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Malam ini seharusnya malam pernikahannya, tapi?
.........
Bukan hanya Zenwa, Micheal pun tak bisa memejamkan mata. Karena saat Micheal menutup mata, yang terlihat dalam bayangannya hanyalah tatapan kekecewaan dan kemarahan Zenwa. Segala tuduhan Zenwa pun masih terus terngiang di telinganya. Micheal juga tak bisa melupakan wajah pucat Arini, yang begitu lemas, menahan penyakit yang mematikan.
Micheal mengambil wudhu, kemudian ia melaksanakan sholat sunnah dua rakaat, berharap hal itu bisa membuat hatinya tenang. Setelah sholat, Micheal langsung mengangkat kedua tangannya ke langit, ia bermunajat dengan begitu lirih, mengadu pada Tuhannya.
"Ya Rabb, perasaan cinta ini adalah anugerah dari-Mu. Aku tidak pernah memintanya datang, dan aku juga tak bisa mengusirnya pergi begitu saja. Cinta itu bukan nafsu yang bisa di kendalikan dengan keimanan, tapi aku memohon dengan sangat pada-Mu. Jangan biarkan cinta ini menyakiti wanita yang tidak tahu apapun, jangan biarkan cinta ini menyakiti Zenwa, istriku yang telah menerimaku dengan ikhlas. Dihari aku meng-ikrarkan janji suci, dihari yang sama aku justru menghancurkannya. Bukalah pintu hatiku untuk mencintainya dengan layak, dan bukalah pintu hatinya untuk memaafkanku, Ya Muqollibal Qulub."
.........
Zenwa terlonjak saat mendengar ponselnya berdering, ia langsung duduk dan baru menyadari bahwa pagi telah datang. Zenwa menyambar ponselnya yang ada di atas nakas, namun saat mengetahui siapa yang menelepon, Zenwa kembali meletakkan ponselnya, membiarkannya terus berdering.
"Aku tidak mau berbicara denganmu, Kak Arin. Sampai kamu mengakui cintamu pada Micheal," gumam Zenwa, ia bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu kemudian ia pun melaksanakan sholat sunnah sebelum subuh yang di lanjutkan dengan sholat subuh.
Setelah sholat, seperti biasa Zenwa akan berdzikir, yang kemudian di tutup dengan munajat pada sang Khaliq, apalagi di saat seperti ini, satu-satunya tempat curahan hati terbaiknya hanyalah pemilik hati itu sendiri.
"Berikan kesembuhan pada Kakakku, Ya Rabb. Aku ikhlas mengembalikan cintanya, asal dia kembali sehat seperti semula. Aku memohon dengan sangat pada-Mu..." doa Zenwa terheti saat ia mendengar suara gedoran pintu dari luar yang di susul dengan suara Micheal yang memanggilnya, seketika hati Zenwa kembali terasa sesak.
Zenwa bergegas membuka pintu dan saat ia akan memarahi Micheal, tiba-tiba Micheal menarik tangannya, membuat Zenwa semakin marah.
"Lepaskan aku, Micheal!" seru Zenwa sembari berusaha menarik tangannya namun Micheal seolah tuli, ia mendorong Zenwa masuk ke mobilnya membuat Zenwa semakin bingung. Bahkan ia masih memakai mukena saat ini.
"Kita mau kemana?" tanya Zenwa setengah berteriak.
"Rumah sakit," jawab Micheal dengan waja tegang.
"Rumah sakit dekat, jalan kaki juga bisa." teriak Zenwa lagi. Micheal enggan menanggapinya, ia pun menajalankan mobil dengan kecepatan tinggi dan seketika Zenwa teringat dengan Arini.
"Apa Kak Arin baik-baik saja?" tanya Zenwa dengan suara lirih. Bukannya menjawab, Micheal justru mengetatkan rahangnya, matanya kembali memerah, Micheal berkedip cepat, seolah ia sedang cemas.
Kini mereka sudah sampai di parkiran rumah sakit.
Micheal langsung melompat turun dari mobilnya begitu juga dengan Zenwa. Micheal melangkah tergesa-gesa menuju ruang rawat Arini, dan Zenwa mengekorinya dari belakang dengan langkah yang cepat.
"Kenapa kamu diam? Kenapa kamu membawaku kesini?" tanya Zenwa dengan suara bergetar.
"Kenapa kamu tidak menjawab telfon dari Ummimu?" tanya Micheal yang membuat Zenwa mengernyit bingung.
"Kapan Ummi menelepon?" Zenwa balik bertanya, namun sekali lagi Micheal enggan menjawabnya.
Hingga akhirnya kini mereka sampai di depan ruang rawat Arini, Micheal membuka pintu dan mempersilahkan Zenwa masuk, jantung Zenwa berdebar hebat saat ia melihat Ummi, Abi serta Opa Opanya mangis. Langkah Zenwa terasa berat saat mendekati mereka,
"Ummi..." lirih Zenwa kemudian, Umminya pun langsung menoleh dengan wajah yang sudah banjir karena air mata.
"Ummi, ada apa?" tanya Zenwa dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, saat Zenwa berada di dekat Arini, seketika jantung Zenwa seolah berhenti berdetak saat melihat tubuh sang Kakak kini sudah terbujur kaku dengan wajah yang sepucat kapas.
"Kak Arin..." bisiknya dengan suara yang tercekat di tenggorokannya "Kak Arin pingsan lagi, Ummi?" tanya Zenwa, air mata sudah tak mampu ia bendung lagi, dan air matanya semakin deras saat tangis Umminya semakin pecah.
"Tidak mungkin!"