Cerita cinta seorang duda dewasa dengan seorang gadis polos hingga ke akar-akarnya. Yang dibumbui dengan cerita komedi romantis yang siap memanjakan para pembaca semua 😘😘😘
Nismara Dewani Hayati, gadis berusia 20 tahun itu selalu mengalami hal-hal pelik dalam hidupnya. Setelah kepergian sang bunda, membuat kehidupannya semakin terasa seperti berada di dalam kerak neraka akibat sang ayah yang memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Tidak hanya di situ, lilitan hutang sang ayah yang sejak dulu memiliki hobi berjudi membuatnya semakin terpuruk dalam penderitaan itu.
Hingga pada akhirnya takdir mempertemukan Mara dengan seorang duda tampan berusia 37 tahun yang membuat hari-harinya terasa jauh berwarna. Mungkinkah duda itu merupakan kebahagiaan yang selama ini Mara cari? Ataukah hanya sepenggal kisah yang bisa membuat Mara merasakan kebahagiaan meski hanya sesaat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rasti yulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TCSD 21 : Perkenalan Kita
Biru air laut terhampar jelas di depan mata pria berusia 37 tahun yang tengah duduk termenung sembari melarutkan diri ke dalam lamunannya. Meskipun usia pria itu sudah tidak lagi muda, namun outfit yang ia kenakan masih sangat terlihat fashionable. Sebuah celana pendek berwarna putih, kemeja khas pantai motif floral berwarna biru, topi fedora, dan sebuah kacamata hitam yang bertengger sempurna di hidung mancung miliknya seakan kian mempertegas guratan ketampanan yang tersimpan di dalam wajahnya.
Pantai yang masih sepi pengunjung karena merupakan destinasi wisata baru seakan menjadi tempat paling tepat untuk menyepi dan menepikan diri. Dengan belaian lembut sang bayu seakan membuat siapapun betah berlama-lama duduk di tepian pantai seperti ini meskipun cuaca terasa sedikit terik.
Puluhan burung camar terlihat menghiasi langit siang ini ditambah dengan gumpalan awan putih yang membentuk bulu-bulu domba seakan menjadi lukisan alam yang terbentuk dengan sempurna dari sang Maha penggenggam kehidupan.
Gemuruh deburan suara ombak terdengar begitu jelas memekakkan telinga. Mereka bergulung-gulung memecah batu karang kemudian menghempaskan diri mereka ke bibir pantai, dan kemudian hanya menyisakan buih-buih air laut. Hamparan pasir putih yang terlihat begitu kontras dengan warna biru langit, seperti menjadi sebuah bingkai kehidupan yang nampak begitu indah.
Dewa masih larut dalam pikirannya. Jika duduk sendirian seperti ini, kepingan-kepingan kenangan pahit yang baru beberapa waktu lalu ia alami, seakan kian menggoda, merayu bahkan mengajaknya untuk kembali mengingat akan peristiwa itu. Tidak pernah ia sangka, jika pernikahannya kandas di usia yang masih tergolong seumur jagung. Ya, setelah setengah tahun menjalani kehidupan berumah tangga, kini ia resmi menyandang status duda.
"Jika Tuan merasakan sebuah perasaan yang menyesakkan dada, Tuan bisa berteriak sekencang mungkin di tempat ini."
Getaran suara lembut yang tiba-tiba menjalar ke dalam indera pendengaran, membuat Dewa sedikit tersentak dan seakan membuyarkan seluruh lamunannya. Ia menoleh ke samping, dan terlihat gadis belia yang baru saja ia temui ini sudah duduk di sisinya.
"Memang apa yang akan aku dapatkan jika aku berteriak di tempat ini?"
Mara masih menatap lekat hamparan laut lepas yang berada di depan matanya ini dengan tatapan sedikit menerawang sembari menyunggingkan seutas senyum manis di bibirnya. "Mungkin Tuan tidak akan mendapatkan apapun. Namun setidaknya dengan berteriak, Tuan bisa menghempaskan segala perasaan yang terasa menghimpit dada Tuan."
Dewa terkekeh pelan. "Itu hanyalah sebuah dongeng. Meskipun berteriak namun itu semua tidak dapat mengembalikan keadaan seperti semula. Keadaan yang sudah terlanjur hancur dan porak poranda."
"Itu memang benar Tuan, bahwa tidak ada yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Namun kita masih memiliki banyak kesempatan dan waktu untuk menggoreskan tinta kebahagiaan di lembar kehidupan kita selanjutnya. Pastinya, dengan menutup rapat-rapat lembaran yang telah usang atau mungkin yang telah tergores oleh sebuah tinta kepahitan."
Dewa semakin tergelak mendengarkan celotehan gadis di sampingnya ini. "Kata-kata yang keluar dari mulutmu, seperti menandakan jika kamu jauh lebih berpengalaman daripada aku. Padahal dari segi usia, aku jauh lebih tua daripada kamu dan pastinya pengalamanku tentang sebuah kehidupan jauh lebih banyak daripada kamu bukan? Namun mengapa di sini kamu seolah lebih dewasa daripada aku?"
Mendengar gelak tawa lelaki di sisinya, membuat Mara juga ikut tergelak. Masih enggan menautkan pandangannya ke arah pria yang sedari tadi menatap wajahnya dengan lekat, Mara mencoba untuk menanggapi apa yang diucapkan oleh pria itu. "Usia seseorang tidak bisa menjamin kedewasaan seseorang, Tuan. Tua itu pasti, namun dewasa adalah pilihan. Bagaimana kita menghadapi dan menjalani kehidupan semua ditentukan oleh kedewasaan kita."
Dewa mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba memahami perkataan yang keluar dari bibir gadis ini. Sebuah pemikiran yang jauh lebih dewasa bahkan melebihi usianya.
Kamu memang dewasa dalam berpikir, mungkin hal itu kamu dapatkan dari jalan hidup yang selalu menempamu untuk selalu menjadi sosok seorang wanita yang dewasa. Namun sayang, kamu masih begitu polos, dan hal itulah yang semakin membuatmu terlihat begitu menggemaskan.
"Apakah kamu juga ingin berteriak? Aku rasa kamu juga memiliki sebuah beban yang menghimpit dadamu."
Astaga.. Mengapa ucapanku ini terdengar begitu ambigu? Beban yang menghimpit dadanya? Itu seperti menunjuk ke kedua bukit kembar yang membusung di dada gadis ini. Bukankah kedua bukit itu seperti menjadi sesuatu yang begitu berat untuk ia bawa? Ya ampun Wa... Mengapa kamu bisa bertambah mesum seperti ini?
Dewa mengacak rambutnya frustrasi di saat kewarasannya terasa semakin hilang layaknya ditelan bumi. Hingga berubah menjadi pikiran-pikiran kotor yang merajai otaknya.
Mara tersenyum simpul. Ia bangkit dari posisi duduknya dan kini ia berdiri menghadap hamparan laut lepas di hadapannya ini.
"Maraaaaaaa!!!! Kamu harus berbahagia untuk dirimu sendiri. Kuatkan dirimu layaknya batu karang yang berdiri di depan sana. Ia kokoh meskipun gelombang air laut berkali-kali mencoba meruntuhkanmu! Jadilah wanita tangguh, Maraaa!!! yang tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh keadaan meski terasa membelenggu!"
Bulir bening dari pelupuk mata gadis itu lolos begitu saja. Seakan menumpahkan semua beban berat yang menyiksa batinnya. Bulir-bulir itu semakin deras mengalir tatkala semua memory memutar kembali ingatannya tentang jalan hidup yang telah ia lewati. Dewa tertegun mendengarkan teriakan gadis ini. Meski terdengar bergetar namun gadis itu tetap berteriak lantang.
Dewa ikut bangkit dari posisi duduknya. Ia mengikuti apa yang dilakukan oleh gadis itu. "Tuhan... Terimakasih sudah menunjukkan siapa sebenarnya dia. Kini biarkan aku menghempaskan namanya untuk ikut larut dalam gulungan ombak ini. Menyeretnya ke dalam palung laut paling dalam dan tidak akan pernah bisa kembali lagi!!!"
Layaknya sebuah kapas yang tertiup angin, perasaan pria dewasa itu seakan kian terasa lebih ringan. Semua hari-hari indah yang pernah ia rajut bersama sang mantan istri, ia hempaskan jauh bersamaan dengan ombak yang bergulung-gulung di hadapannya ini.
Dewa dan Mara saling menatap. Dan seutas senyum sama-sama terukir di bibir masing-masing. Entah dorongan dari mana, perlahan jemari Dewa mengusap lembut air mata yang sudah membasahi pipi sang gadis.
"Mara? Itukah namamu?"
Mara mengangguk. "Iya Tuan. Nismara Dewani Hayati adalah nama saya. Tuan?"
Dewa mengulas sedikit senyumnya. "Namaku terdapat di salah satu bagian dari nama panjangmu."
Mara mengerutkan keningnya. "Dewa?"
Dewa mengangguk. "Iya, aku Dewa!"
Mara kembali menautkan pandangannya ke arah laut lepas. "Tuan Dewaaaaaaaa.... Semangat untuk kebahagiaan kita!!!"
Layaknya seekor anak ayam yang selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh induknya, Dewa ikut menatap hamparan laut biru di hadapannya ini. "Maraaaaaa.... Tersenyumlah selalu. Dan sambutlah kebahagiaanmu!"
Plukkkkkk..
"Hei apa yang kamu lakukan?"
Dewa sedikit terkejut tatkala ada sedikit percikan air laut yang membasahi pakaian yang ia kenakan.
Mara tergelak. "Awal kebahagiaan untuk diri kita masing-masing, tuan Dewa!"
"Aaaaaahhh sudah mulai jahil ya kamu?"
Pluk... Pluk.... plukkk...
Sekali percikan air laut yang diberikan oleh Mara, dibalas dengan tiga kali percikan oleh Dewa.
"Aaaaaahhh Tuan.... Hentikan! Pakaian saya basah semua!"
"Tidak semudah itu Nona!"
Dewa semakin menggencarkan aksinya untuk membuat pakaian Mara basah dengan berkali-kali memercikkan air laut ke tubuh gadis itu. Hal itulah yang membuat Mara mulai berlari untuk menghindari serangan dari Dewa. Keduanya berlarian di tepi pantai. Sesekali terdengar riuh tawa dari keduanya yang seakan memberi kabar pada dunia bahwa mereka begitu menikmati dan berbahagia di hari ini.
Mara yang sebelumnya menghindar dari kejaran Dewa, mulai menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik arah dan mulai membalas apa yang dilakukan oleh Dewa. Ketika ia berhasil menangkap tubuh Dewa, tanpa pikir pajang ia membasahi tubuh Dewa dengan lebih banyak percikan air yang ia berikan untuk Dewa.
"Hahaha rasakan Tuan! Itu balasan untuk Tuan karena sudah membuat pakaian saya basah seperti ini!"
"Hei Nona! Bukankah kamu yang memulainya terlebih dahulu?"
Tawa puas keluar dari bibir Mara. Namun seketika Dewa menarik lengan tangan gadis itu dan ia bawa ke dalam dekapannya. Ia tatap lekat wajah sang gadis seakan tidak menginginkan jika gadis itu sedikit saja memalingkan wajahnya.
Sorot mata Dewa bak anak panah yang menancap tepat di dada Mara yang membuat tubuh gadis itu bergetar. Tatapan yang selalu saja membuat cara kerja jantungnya seakan bermasalah hingga menyisakan degup-degup jantung yang terdengar bertalu-talu. Namun, dari sorot mata pria ini tersimpan sebuah keteduhan yang begitu terasa menentramkan jiwanya.
Dewa sedikit mengangkat dagu sang gadis dan....
Cup...
Sebuah kecupan lembut berhasil Dewa daratkan di bibir sang gadis yang terlihat begitu menggoda ini. Kedua bola mata Mara terbelalak sempurna mendapatkan serangan dadakan dari Dewa. Bibirnya hanya terkatup, tidak bisa memberikan respon apapun.
Dewa masih berupaya untuk mengetuk bibir Mara agar terbuka. Namun tetap saja, Mara hanya bisa mematung dan tak mampu untuk berbuat apa-apa.
"Tuan...."
Masih intens menempelkan bibirnya di bibir Mara. "Ya?"
Mara mencoba untuk melepaskan dirinya dari lilitan tubuh Dewa. "Lihatlah di balik punggung Tuan. Ada Dugong yang sedang berjemur di batu karang itu!"
Dewa terkesiap. "Dugong? Di pantai ini ada Dugong?"
Mara mengangguk. "Benar Tuan. Lihatlah di belakang tubuh Tuan!"
Begitu penasaran dengan Dugong yang dikatakan oleh Mara, Dewa seketika membalikkan badannya. "Mana Dugong yang kamu maksud? Aku tidak melihatnya sama sekali."
Dewa sedikit mendengkus kesal karena telah berhasil dibohongi oleh gadis belia ini. "Kamu membohongiku?"
Dewa kembali membalikkan badannya. Dan...
Krik... krik... krikk....
Mara sudah tidak lagi nampak di hadapan Dewa. Gadis itu telah berlari jauh meninggalkan Dewa."Dugong nya masuk ke dalam air lagi Tuan. Dia sudah kepanasan karena terlalu lama berjemur. Haahaahaa!!!!"
Teriakan Mara sukses membuat senyum gemas terbit di bibir Dewa. Berkali-kali ia mengacak rambutnya kasar karena setiap kali ia berada di hadapan sang gadis, ia seakan kesulitan untuk menahan seluruh hasrat yang menggelora.
Kamu selalu saja terlihat menggemaskan. Apakah mungkin aku benar-benar telah melupakan semua luka yang aku rasakan semenjak pertemuan pertama kita? Nismara Dewani Hayati... Engkau kah yang akan menjadi penawar luka yang aku rasakan?
.
.
. bersambung...
mengecewakan😡