NovelToon NovelToon
Jadi Simpanan Ceo

Jadi Simpanan Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Selingkuh / Nikah Kontrak
Popularitas:343
Nilai: 5
Nama Author: Celyzia Putri

Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .

‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Di kantornya yang mewah, di puncak Gedung Dirgantara, Bramantyo Dirgantara sedang meninjau laporan keuangan. Namun, perhatiannya terbagi. Biasanya, setelah 'urusan' selesai, ia akan merasa puas dan kembali fokus pada kekuasaan dan bisnisnya.

Tapi kali ini berbeda.

Dua hari telah berlalu sejak malam itu. Malam di mana ia meninggalkan Nadia sendirian, telanjang, di kamar suite hotel, bersama tumpukan uang yang cukup untuk mengubah hidup gadis itu. Itu adalah protokolnya: bayar dan lupakan.

Namun, saat membersihkan diri di kamar mandi pagi itu, Bramantyo sempat melihat Nadia. Rambut acak-acakan, tubuh polos, mata yang baru terbuka—polos dan rapuh. Ada kilatan kemarahan dan kebingungan di mata gadis itu sebelum ia memalingkan wajahnya.

Bramantyo mengakui, Nadia memiliki daya tarik yang liar dan segar, kontras dengan para sosialita yang biasanya mengelilinginya—wanita-wanita yang terukur, teratur, dan yang terpenting, mudah dibeli.

Saat asisten pribadinya, David, masuk membawa kopi, Bramantyo mengajukan pertanyaan dengan nada santai, berusaha menyembunyikan ketidak fokusannya.

"David, kamar Suite 1403 dua malam lalu. Apa ada masalah setelah check-out?"

David, yang sudah terbiasa mengurus jejak gelap bosnya, menjawab cepat. "Tidak ada masalah, Pak. Staf hotel sudah membersihkan semuanya. Namun..."

David berhenti sejenak. "Uang yang Bapak tinggalkan di meja, bersama kartu nama Bapak, masih ada di sana. Utuh. Gadis itu tidak membawanya."

Bramantyo meletakkan bolpoin emasnya. Ruangan itu mendadak sunyi, hanya ada suara AC.

"Dia tidak mengambilnya?" ulang Bramantyo, ada nada tak percaya yang terselip.

"Tidak, Pak. Kami mengembalikannya ke rekening pribadi Bapak. Tidak ada kontak, tidak ada tuntutan. Gadis itu sepertinya... menghilang begitu saja setelah check-out."

Bramantyo menyeringai tipis. Itu bukan senyuman senang, melainkan minat yang baru muncul.

Menarik.

Sepanjang karirnya, belum pernah ada wanita yang menolak uangnya. Uang adalah kunci. Uang adalah akhir dari setiap masalah yang disebabkan oleh hasratnya. Penolakan Nadia terasa seperti tamparan dingin, seolah mengatakan bahwa harga dirinya jauh lebih mahal daripada kekayaan seorang Bramantyo Dirgantara.

"Cari dia," perintah Bramantyo, suaranya kini dingin dan tajam. "Cari gadis itu. Namanya..."

Bramantyo berusaha mengingat. Ia bahkan tidak repot-repot menanyakan nama gadis-gadis yang ia 'beli'.

"Cari tahu siapa dia. Dari daftar tamu atau CCTV hotel. Dia datang sendiri, kan?"

"Betul, Pak. Ia check-in di bawah nama Nona Nadia, berasal dari luar kota. Tapi ponselnya sudah tidak aktif dan ia tidak meninggalkan alamat jelas."

Bramantyo bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela yang menampilkan pemandangan kota di bawahnya.

"Aku tidak peduli bagaimana caranya, David. Cari Nadia. Aku ingin tahu kenapa dia menolak bayaranku. Dan..." Bramantyo berhenti, membiarkan hasratnya memimpin.

"...Aku ingin dia kembali. Malam itu belum selesai. Aku tidak suka ada urusan yang menggantung, David. Aku ingin dia di kamarku lagi. Dengan atau tanpa paksaan, kali ini dia tidak akan bisa lari."

David mengangguk kaku. Ia tahu, perintah ini berarti sebuah perburuan akan dimulai. Bukan perburuan bisnis, tapi perburuan hasrat obsesif.

Bramantyo kembali ke mejanya, tatapannya kini dipenuhi gairah dingin yang membakar. Ia ingat sentuhan gadis itu, aroma kulitnya yang polos, dan kilatan api di mata Nadia. Itu membuatnya merasa hidup. Ia tidak hanya menginginkan seks, ia menginginkan penaklukan yang belum selesai.

Kau pikir kau bisa menolakku, gadis kecil? batin Bramantyo. Kau belum tahu siapa aku.

Ia meraih ponselnya, mencari foto istrinya, Larasati, yang sedang tersenyum dalam acara amal. Sempurna, terkontrol, dan membosankan. Kontras itu hanya memperkuat hasratnya untuk mendapatkan kembali Nadia, yang menawarkan rasa liar dan pemberontakan yang sangat ia butuhkan.

Setelah David keluar dari ruangan, Bramantyo tidak langsung melanjutkan pekerjaannya. Ia bersandar di kursi executive berlapis kulit mahal, membiarkan pikirannya terfokus sepenuhnya pada Nadia.

Penolakan itu—ya, penolakan. Itu adalah kata yang asing dalam kamusnya. Di dunia bisnis, penolakan berarti kegagalan yang harus segera diatasi dengan negosiasi atau, jika perlu, penghancuran. Dalam kehidupan pribadinya, penolakan berarti harga yang belum tepat.

Nadia telah menolak harganya.

Bramantyo mengambil sebatang cerutu Kuba dari kotak humiditas, menyalakannya dengan pemantik perak. Asap tebal mengepul, mengisi ruang kerjanya yang luas.

"Bodoh," gumamnya, asap mengepul dari bibirnya. Ia tidak merujuk pada Nadia yang menolak uangnya, tetapi pada dirinya sendiri karena tidak memastikan gadis itu terikat.

Ia mengambil ponsel dan menelepon David.

"Lupakan cara biasa," Bramantyo memerintahkan dengan suara rendah dan tanpa emosi. "Gunakan tim keamananku yang lama. Mereka tidak bekerja untuk Dirgantara Group di atas kertas. Mereka hanya bekerja untukku."

Tim keamanan 'lama' yang ia maksud adalah mantan aparat yang kini bekerja di bawah kontrak pribadi, dikenal karena efisiensi, tanpa jejak, dan kemampuan mereka melanggar privasi secara legal maupun ilegal.

"Cari tahu semua tentang Nadia," lanjut Bramantyo. "Teman, keluarga, alamat rumah, bahkan akun media sosial yang paling tersembunyi. Aku ingin tahu siapa yang mengajarinya untuk berani menolak uang dariku."

Setiap kata yang keluar dari mulut Bramantyo terasa seperti potongan es. Nadia bukan lagi urusan hasrat semalam, melainkan tantangan intelektual. Ia tidak bisa membiarkan ada celah dalam dominasinya.

"Dan David, pastikan pencarian ini bersih. Tidak ada nama Dirgantara Group yang boleh tercemar. Aku tidak ingin ada urusan dengan istri atau anak-anakku. Ini murni urusan pribadi yang harus diselesaikan."

"Baik, Pak. Dalam 24 jam, saya akan siapkan laporannya."

Bramantyo mematikan telepon, lalu menarik napas panjang. Ia menghirup asap cerutu itu, merasakan pahitnya tembakau yang menenangkan.

Ia sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Nadia. Ia adalah predator, dan Nadia adalah mangsa yang memasuki wilayahnya. Dunia berjalan seperti itu. Ia menyediakan layanan, Nadia menerimanya (secara sadar atau tidak), dan ia menawarkan kompensasi. Penolakan Nadia hanya berarti gadis itu masih butuh 'pelajaran' tentang bagaimana dunia nyata bekerja.

Kau pikir kau bisa menjadi pahlawan yang menolak kekuasaan?

Ia tersenyum dingin, membayangkan Nadia kembali ke kamarnya, berlutut, memohon maaf karena menolak bayaran. Sensasi menaklukkan pemberontakan itu jauh lebih memuaskan daripada seks itu sendiri.

Bramantyo Dirgantara adalah pria yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Dan kini, ia menginginkan Nadia. Bukan karena cinta, bukan karena nafsu semata, tetapi karena ia tidak tahan dengan rasa 'belum selesai' yang ditinggalkan gadis itu.

Ia meraih berkas penting di mejanya, tetapi matanya kembali terpaku pada kartu nama hitamnya yang kosong di sudut meja. Ia tahu, kartu yang tidak diambil Nadia itu adalah deklarasi perang yang membisu.

"Kau akan kembali padaku baby ," bisik Bramantyo pada kartu itu, suaranya sedingin baja. "Dan kali ini, bukan hanya dirimu yang aku ambil, tetapi waktu dan jiwamu hahaahahaha".

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!