menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 3:dia yang kini pergi
Kereta kuda berhenti di depan gerbang istana.
Di sana berdiri seorang wanita dengan rambut hitam keunguan. Matanya selalu terpejam, seolah dunia di hadapannya tak perlu dilihat dan itu karena gadis itu adalah seorang gadis tunanetra. Di punggungnya tergantung sebuah biwa sihir, aura magisnya tenang namun berat.
Dialah Seraphina Lyricelle—
pengawal pribadi sekaligus tangan kanan Elice dalam perjalanannya menuju Akademi Sihir Agreta.
“Nona Elice,” ucapnya dengan senyum yang nyaris tak terlihat.
“Kita harus segera berangkat. Waktu kita tidak banyak.”
Elice mengangguk pelan.
Namun sebelum melangkah, ia menoleh ke belakang.
Lucyfer masih berdiri di tempat yang sama. Bahunya sedikit turun, tangannya mengepal, matanya menolak menatap kereta.
Elice berlutut di hadapannya.
“Hei, Lucyfer.” katanya lembut sambil mengelus rambut adiknya.
“Kakak cuma pergi beberapa tahun.”
Lucyfer tetap diam.
“Nanti kalau kakak sudah kuat,” lanjut Elice sambil tersenyum kecil,
“kakak yang akan mengajarimu. Kita tetap akan jadi High Magnus bersama ya.”
Tak ada jawaban.
Hanya angin pagi yang berhembus pelan.
Elice bangkit. Ia berjalan perlahan menuju kereta, berdampingan dengan Seraphina, lalu naik tanpa menoleh lagi—seolah jika ia menoleh, kakinya takkan sanggup melangkah.
“Ayo, Seraphina,kita berangkat” katanya singkat.
Kereta kuda pun bergerak.
Roda berderit pelan. Jarak makin jauh.
Lucyfer akhirnya mengangkat tangannya dan melambaikannya dengan gemetar.
Elice menoleh dari dalam kereta—
dan membalas lambaian itu.
“Kakaaak!”
suara Lucyfer pecah di udara.
“Suatu hari nanti aku akan mengikuti jalanmu! Jangan lupakan aku!”
Namun kereta terus menjauh,
menelan suara itu bersama debu jalanan.
Di samping Lucyfer, Elviera Noctane berdiri dalam diam.
Ia lalu melangkah mendekat.
“Tuan Muda Lucyfer,” ucapnya datar namun sopan.
“Ayo masuk. Anda harus melakukan doa untuk almarhum Baginda dan Ratu.”
Lucyfer mengangguk pelan.
Pemakaman kerajaan Vantier sunyi.
Deretan makam para raja dan ratu terdahulu berdiri kokoh, dihiasi ukiran tua dan bunga layu yang tertiup angin senja.
Lucyfer berlutut.
Ia meletakkan setangkai mawar putih, lalu menaburkan kelopaknya perlahan.
Matanya terpejam pelan.
Ayah… Ibu…
Kalian sudah melihatku, kan?
Aku memang masih manja…
tapi aku akan tumbuh kok.
Sekarang kakak sudah pergi mengejar mimpinya.
Kalian pasti bangga padanya…
Dia pasti akan jadi high magnus yang luar biasa.
Elviera berdiri beberapa langkah di belakang, menjaga jarak.
“Tuan Muda,” katanya kemudian.
“Apakah sudah selesai? Anda harus makan malam.”
“Hidangan malam ini adalah tuna sirip biru dari Laut Utara.”
Lucyfer berdiri cepat.
“Ah—iya!”
Ia mengepalkan tangannya lalu membungkuk ke arah makam.
“Ayah… Ibu… aku pergi dulu, ya. Aku harus makan malam.”
Lucyfer dan Elviera pun berjalan menjauh.
Namun mereka tidak sendirian.
Dari balik bayangan pohon tua,
sosok bertudung hitam itu kembali mengamati.
Matanya sayu. Nafasnya berat.
Enam tahun lalu orang yang sama…
dan kini,
ia masih hanya bisa melihat dari jauh.
“Sial…”
suara lirih itu bergetar.
“Aku harus pergi… atau aku akan tertangkap lagi…”
Ia menoleh ke arah istana, lalu ke arah jalan yang ditinggalkan kereta.
“Kini aku cuma bayangan kalian…”
“Aku tak pernah merasakan kebahagiaan itu…”
Ia menunduk.
“Selamat tinggal, Lucyfer…”
“Selamat tinggal, Kak Elice…”
Malam turun.
Sosok itu menghilang ke dalam kegelapan—bertahan hidup dengan cara yang tak pernah ia pilih.
Dan di balik semua itu,
misteri tentang siapa dirinya… masih terkubur bersama masa lalu.