Tahun 2005, seorang karyawan hotel bernama Nadira Pramesti, 21 tahun, menjadi korban pemerkosaan brutal oleh tamunya sendiri di kamar 111 Hotel Melati Aruna. Ia ditahan, disiksa, lalu dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Mayatnya ditemukan dua hari kemudian—telanjang, penuh luka, dan wajahnya tertutup kain sprei hotel.
Pelaku tak pernah ditangkap. Kasusnya tutup begitu saja.
Sejak hari itu, kamar 111 menjadi teror.
Setiap kali ada pasangan yang belum menikah menginap di kamar itu lalu melakukan hubungan intim, lampu kamar akan padam… suara isakan perempuan terdengar… seprai bergerak sendiri… hingga salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan kondisi mirip Nadira.
Sudah 8 pasangan meninggal sejak 2006–2019.
Hotel ditutup selama 4 tahun.
Rumornya, roh Nadira hanya muncul jika “dosa yang sama” terulang.
Namun tahun 2024, hotel direnovasi dan dibuka kembali dengan nama baru:
Hotel Sunrise 111 — tanpa menghapus nomor kamarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 — Pembukaan Hotel Baru Tahun 2024
Hotel Sunrise 111, 2024.
Empat tahun adalah waktu yang panjang untuk mati. Hotel Melati Aruna, bangunan tua yang berlumuran rumor dan darah, menghabiskan waktu selama itu dalam kesunyian. Jendelanya tertutup papan kayu, cat kremnya mengelupas hingga ke dasar batu bata, dan karpet beludru merahnya membusuk, dimakan lembap dan jamur.
Namun, di tangan Hendra Wiratma, sang pemilik lama, yang kini memutuskan untuk menjualnya kepada investor baru, hotel itu terlahir kembali.
Hotel Sunrise 111.
Nama baru, janji baru. Arsitekturnya dirombak total. Cat eksteriornya diganti menjadi putih gading dan abu-abu modern. Lobi yang dulunya gelap dan pengap kini dihiasi lampu kristal minimalis dan tanaman hijau artifisial. Aroma lavender dari diffuser mahal berusaha keras untuk menutupi sisa-sisa bau apek yang mengakar di dinding.
Manajer baru, David, 35 tahun, berdiri di depan pintu lift stainless steel yang mengilap, memantulkan bayangan dirinya yang bangga. Ia adalah pria urban, bersemangat, dan sama sekali tidak percaya pada mitos. Baginya, sejarah Melati Aruna hanyalah gimmick promosi yang buruk.
“Pastikan semua sistem digital terintegrasi sebelum malam pembukaan,” perintah David kepada asistennya melalui walkie-talkie. “Aku tidak mau ada kesalahan check-in sekecil apa pun.”
Pintu lift terbuka, dan David melangkah keluar di lantai dua.
Lantai dua.
Di sinilah semua keajaiban dan kengerian bermula.
Kontras antara lantai dua dan lobi terasa mencolok. Meskipun koridor ini sudah dipasangi lantai kayu vinyl baru, dan lampu LED putih yang terang benderang menggantikan neon tua yang berkedip, lantai ini masih terasa asing. Dingin.
Bukan dingin AC, tapi dingin yang datang dari dalam tulang.
David menghentikan langkahnya di tengah lorong. Ia mencoba mencium aroma diffuser lavender yang tadi ia rasakan di lobi, tapi di sini, aroma itu menghilang. Yang tertinggal hanya bau plester baru, cat kayu, dan… sesuatu yang sulit diidentifikasi. Bau mineral. Bau karat.
“Sial, pipa lama bocor lagi, ya?” gumam David, memijat pelipisnya.
Ia berjalan menuju ujung koridor. Tujuannya: Kamar 111.
Pintu Kamar 111 dicat ulang dengan warna abu-abu elegan, dengan nomor 111 yang terbuat dari akrilik hitam minimalis. Kamar itu dulunya adalah kamar paling gelap dan suram, tapi kini interiornya telah direnovasi sepenuhnya.
David mengeluarkan kunci master barunya dan membuka pintu itu.
“Baiklah, Nona Pembawa Sial,” katanya pada ruangan kosong itu, suaranya sedikit mencibir. “Mari kita lihat apa yang bisa kau lakukan pada masterpiece-ku.”
Di dalam Kamar 111, segalanya baru. Ranjang king size yang dulu berlumuran darah kini diganti dengan rangka kayu jati yang kokoh. Seprainya berwarna putih tulang, mewah, dan berlipat rapi. Dindingnya dicat biru tua yang menenangkan, berlawanan dengan sejarah kelamnya.
Namun, beberapa kejanggalan tak terhindarkan.
Di sudut kanan kamar, persis di tempat Nadira dulu diangkat dan dilempar, cat di dinding itu selalu gagal mengering dengan sempurna. Selalu ada sedikit lembap di sana, meskipun teknisi sudah membongkar dinding dan memastikan tidak ada kebocoran pipa. David menganggapnya cacat konstruksi minor.
Kejanggalan kedua: suhu.
Kamar 111 adalah satu-satunya kamar di lantai itu yang terasa tiga derajat lebih dingin dari kamar sebelahnya. Termostatnya berfungsi normal. AC-nya sudah diservis. Tapi rasa dingin itu menolak untuk pergi. Dingin yang menusuk, seolah udara di dalam kamar tidak pernah bergerak, tidak pernah hangat.
David menyentuh permukaan meja rias. Dingin. Ia menyentuh seprai. Dingin.
“Ini cuma kamar di ujung lorong, boss,” kata Tobi, seorang tukang listrik muda yang sedang memperbaiki soket lampu yang sering mati sendiri di sana. “Jalur udaranya pasti berbeda. Jangan terlalu dipikirkan.”
“Aku tidak memikirkannya,” balas David cepat, mungkin terlalu cepat. “Hanya memastikan semuanya sempurna. Reputasi hotel baru ini harus sempurna.”
Tobi tertawa kecil. “Oh, tenang saja. Dengan desain sebagus ini, pasti langsung penuh. Apalagi dengan rumor hantu kamar 111 yang dulu. Bisa jadi daya tarik horor.”
David menoleh tajam. “Aku sudah katakan, Tobi. Tidak ada ‘hantu’ di sini. Yang ada hanya sejarah buruk yang harus kita hapus. Jangan pernah menyebut nama hotel lama atau insiden itu lagi. Kita harus menjual ‘kenyamanan’ dan ‘kesegaran’ Sunrise, bukan kengerian Melati Aruna.”
Tobi mengangguk patuh, tapi pandangannya sesaat melayang ke tempat tidur. Ia merasa punggungnya merinding. Meskipun ia tidak percaya hantu, ia tidak bisa mengabaikan bisikan yang sering didengar para pekerja konstruksi selama renovasi:
“Kamar ini butuh lebih dari sekadar cat baru. Dia butuh pengakuan.”
Staf yang Tidak Tahu
Di ruang break staf, gossip tentang Kamar 111 beredar tipis-tipis, diselipi tawa dan keraguan.
Dara, resepsionis yang manis dan ceria, sedang memeriksa daftar reservasi untuk malam pembukaan. Ia baru bekerja di Hotel Sunrise 111 selama dua minggu, dan hanya tahu sejarah hotel dari artikel online usang yang ia temukan saat iseng mencari tahu.
“Serius, lho,” kata Dara kepada Lisa, petugas housekeeping yang lebih tua. “Dulu ada delapan orang meninggal di kamar itu. Delapan pasangan.”
Lisa hanya mendengus sambil membersihkan noda kopi di seragamnya. “Sudah, Dara. Itu cuma cerita orang tua. Kalau benar ada hantu, mana mungkin David mau membuka kamar itu lagi dengan nomor yang sama?”
“Justru itu anehnya!” seru Dara. “Kenapa tidak diubah jadi Kamar 200, atau Kamar 112A, atau apalah? Kenapa tetap 111?”
“David bilang itu bagus untuk marketing,” sela Dimas, petugas security paruh baya yang paling dekat dengan sejarah lama Hotel Melati Aruna. Wajah Dimas terlihat cemas.
Dimas dulunya bekerja di hotel sebelah, dan dia tahu betul tragedi Nadira Pramesti. Dia tahu isakan itu nyata. Dia tahu seprai yang basah darah itu bukan bualan.
“Percayalah padaku,” bisik Dimas, merendahkan suaranya seolah takut didengar Kamar 111 yang berada dua lantai di atas mereka. “Kamar itu harusnya dihancurkan. Hendra Wiratma menolak menjual tanah ini jika kamar itu diubah. Itu perjanjian aneh dengan investor baru.”
“Perjanjian aneh?” tanya Dara penasaran.
Dimas mendekat, tangannya gemetar. “Mereka hanya boleh merenovasi. Tapi mereka tidak boleh menyentuh struktur utama Kamar 111. Tidak boleh membongkar kamar mandi. Tidak boleh mengganti posisi ranjang. Dan nomornya harus tetap.”
Lisa tertawa renyah, mencoba meredakan ketegangan. “Ah, kau ini Dimas, pasti kebanyakan minum kopi. Mungkin itu cuma takhayul. Mungkin Hendra orang Tionghoa yang percaya Feng Shui dan angka 111 itu membawa hoki.”
Dimas menggeleng. Matanya menunjukkan ketakutan murni. “Ini bukan hoki. Ini kutukan. Dan ini bukan soal angka, ini soal tempat. Roh Nadira masih ada. Dia hanya menunggu kesempatan.”
Manajer David masuk ke ruangan break itu, dan obrolan tentang hantu langsung terhenti. Aura ceria David segera menghilangkan ketegangan.
“Baik, tim,” kata David, bertepuk tangan sekali. “Pembukaan malam ini. Semua kamar sudah terisi 90%. Pastikan Kamar 111 siap. Ada sepasang tamu muda yang memesannya lewat promo online.”
Dara, resepsionis, mencatat. “Kamar 111 sudah dipesan. Baik, Pak.”
Dimas menatap David dengan pandangan memohon. “Pak, maaf, tapi apakah Bapak yakin Kamar 111 harus dibuka malam ini? Itu… malam pertama. Kenapa tidak ditunda saja?”
David tersenyum geli. “Dimas, kau ini security, bukan paranormal. Jangan termakan rumor. Jika ada yang mengeluh, suruh saja mereka minum teh hangat. Kamar 111 adalah kamar yang paling baru direnovasi. Paling mahal. Kita harus memanfaatkannya.”
Dimas hanya bisa menghela napas. Ia tahu ini adalah keputusan bodoh. Tapi ia hanyalah petugas keamanan. Ia tidak bisa melawan keserakahan dan kebodohan. Ia hanya bisa pasrah, dan berdoa agar pasangan yang menginap malam ini tidak melakukan ‘dosa’ yang sama, dan tidak menjadi korban kesembilan.
Lorong di Ujung Dunia
Tepat pukul 19.00, malam pembukaan Hotel Sunrise 111 dimulai.
Lobi penuh dengan tamu yang antusias, musik jazz yang lembut, dan champagne gratis. Semua berjalan sempurna.
Namun, ketegangan tersembunyi bersembunyi di lantai dua.
Jalan menuju Kamar 111 terasa semakin dingin dan semakin sunyi, semakin malam datang.
Meskipun lorong dipenuhi cahaya LED yang terang, lorong itu tidak terasa hidup. Itu adalah lorong yang membeku dalam waktu.
Malam itu, seorang petugas housekeeping tua, yang sempat bekerja di Hotel Melati Aruna sebelum ditutup, tanpa sengaja melewati koridor itu. Ia sedang mengumpulkan handuk kotor dari Kamar 113.
Saat ia berjalan melewati Kamar 111, ia berhenti. Ia merasakan hawa yang sangat dingin merambat dari bawah pintu abu-abu itu. Kunci Kamar 111 sudah terpasang, menunjukkan ada penghuni di dalamnya.
Petugas tua itu gemetar. Ia tahu dingin ini bukan AC.
Tiba-tiba, ia mendengar suara. Bukan isakan yang ia ingat, tapi suara yang lebih lembut. Suara air yang menetes.
Tetes… tetes… tetes…
Suara itu datang dari dalam Kamar 111, tapi tidak teratur seperti keran bocor. Itu seperti suara cairan kental yang jatuh dari ketinggian.
Petugas itu berdiri di sana, kakinya terpaku di lantai kayu vinyl baru. Ia tahu apa artinya.
Air mata. Atau darah.
Dia buru-buru melarikan diri, menjatuhkan tumpukan handuk kotornya. Ia tidak akan pernah melangkah ke lorong itu lagi. Ia tidak akan pernah berani memperingatkan siapa pun. Ketakutannya terlalu besar.
Di balik pintu Kamar 111, roh Nadira Pramesti, yang matanya tertutup seprai berdarah, merasakan kehadiran. Kehadiran kehangatan muda. Kehadiran nafsu yang kotor.
Ia telah menunggu selama empat tahun. Dan malam ini, ‘dosa yang sama’ akan terulang kembali.
Kamar 111 telah dibersihkan. Kamar 111 telah dicat ulang. Tapi jiwanya, trauma yang terkunci di dalam seprai dan karpet, tidak pernah diusik.
Ia siap menerima korban berikutnya. Ia siap untuk membungkus wajah lain dengan kain berdarahnya.
Pintu lift terbuka.
Fira Alya dan Revan Mahesa, sepasang kekasih yang bersemangat, melangkah keluar ke lorong yang sunyi itu.
Mereka tersenyum, berpegangan tangan. Mereka tidak tahu betapa dinginnya lorong itu, atau mengapa CCTV di ujung lorong itu tiba-tiba mati lagi.
Mereka hanya tahu, mereka akan mendapatkan malam yang murah dan panas di Kamar 111.