NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:939
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permata di kaki Elang

Di malam yang mencekam, dalam ruangan kerja yang sunyi di sebuah mansion klasik di hutan Pinus Roma, Azey duduk santai di kursi kulit hitamnya yang besar, asap rokok tipis mengepul dari bibirnya. Cahaya redup dari lampu gantung kristal menerangi meja kayu mahoni yang penuh dokumen rahasia. "Sangat menarik," gumamnya pelan, suaranya seperti bisikan ular.

"Dia adalah permata di antara tumpukan sampah menjijikkan di Roma," lanjutnya dalam hati, matanya menyipit mengingat wajah Taeri yang lembut tapi penuh keberanian, mata almond yang lebar karena syok, bibir gemetar tapi tak berteriak. Aku harus menemukanmu secepatnya, kelinci kecil. Kau telah berani mengusik duniaku, dan sekarang, kau akan jadi bagian darinya, batinnya mengancam.

Kesunyian itu pecah oleh suara pintu kayu berderit pelan, Leonardo masuk dengan hati-hati, langkahnya ringan di lantai, mendekati tuannya dengan sikap hormat yang terlatih.

"Kau sudah menemukan informasinya, Leo?" tanya Azey pelan, suaranya datar tapi penuh otoritas.

Leonardo tersenyum percaya diri, meski hatinya berdegup kencang. "Sudah, Tuan," jawabnya hati-hati, suaranya rendah. "Gadis itu bernama Kim Taeri, anak konglomerat dari Korea Selatan. Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari kontak di universitas dan database imigrasi, dia datang ke Roma untuk melanjutkan studinya. Dia tinggal di apartemen mewah dekat kampus, memiliki hubungan dekat dengan gadis bernama Yuna, seorang mahasiswi lokal." Jelas Leonardo sambil meletakkan sebuah map hitam tebal di meja tuannya, isinya foto-foto Taeri, profil keluarga, dan catatan rahasia.

Azey membukanya, matanya menyapu halaman-halaman itu seperti predator yang mengintai mangsa. "Rome University of Arts ," ucapnya, tersenyum licik saat membaca nama universitas itu, jarinya menelusuri foto Taeri di kelas seni. "Jadi dia kuliah di tempat itu. Seniman cilik yang penuh tantangan."

Leonardo mengangguk cepat. "Iya, Tuan. Gadis itu mengambil jurusan seni rupa, lukisan dan patung khususnya. Dari informasi yang saya dapatkan, dia pintar sekali, nilai sempurna di kelas, dan latar belakangnya menunjukkan dia dibesarkan untuk jadi penerus bisnis. Bukan gadis biasa."

"Tentu, Leo, tentu harus pintar," gumam Azey datar, matanya menyipit penuh perhitungan. "Seorang penerus keluarga konglomerat tentu harus menguasai semuanya, Leo. Seni, bisnis, bahkan... bertahan hidup." Niat Azey sedikit berubah. "Sepertinya kamu harus menunda rencana awalnya, Leo." Gumamnya datar.

"Ma... maksud Anda, Tuan?" tanya Leonardo terbata-bata, merasakan perubahan sikap tuannya yang semakin menakutkan.

Azey bangun dari kursinya, langkahnya pelan menuju jendela, tangannya memegang rokok yang hampir habis. Tapi pikirannya penuh bayangan Taeri. "Jangan bunuh gadis itu. Dia lebih berharga dari semua gadis yang ada di Roma, sangat rugi kalau dia mati sia-sia." Suaranya rendah, tapi penuh maksud, Azey berbalik, menatap bawahannya tajam. "Dari informasi mu, keluarganya memiliki perusahaan properti dan pabrik kimia, bukankah begitu?"

"I... iya, Tuan," jawab Leonardo cepat, menelan ludah. "Itu perusahaan keluarga Kim sejak turun-temurun, Kim Group, raksasa di Asia. Properti di Seoul dan Beijing, pabrik kimia yang ekspor ke Eropa. Kedepannya, pasti akan jadi warisan gadis itu."

Azey kembali ke kursinya, duduk dengan sikap santai tapi pikirannya berputar. "Jadi kau sudah tahu tugasmu sekarang, bukan?" tanyanya ambigu, senyum licik kembali muncul di bibirnya.

"Maksud Anda... sabotase, Tuan?" tebak Leonardo.

"Tepat sekali. Kau memang pintar," puji Azey, suaranya halus tapi mematikan, sambil memadamkan rokok di asbak perak. "Lakukan sabotase pada bisnis keluarga nya, mulai dari pabrik kimia itu. Buat kebocoran, rumor korupsi, apa saja yang bisa memperburuk krisis mereka. Dengan begitu..." Ucapnya menggantung, matanya melamun memikirkan kecantikan Taeri, wajahnya yang polos tapi menantang. "...dia akan datang dengan sendirinya ke sini, tanpa harus bersusah payah mencarinya. Kelinci kecil itu akan lari ke perangkapnya sendiri."

Leonardo mengangguk patuh, meski hatinya gelisah, rencana ini lebih besar dari pembunuhan biasa, dan kegagalan berarti kematian. Saat ia keluar ruangan, Azey menatap map Taeri lagi, jarinya menyentuh foto itu. Segera, permataku. Roma akan jadi rumahmu... atau kuburanmu.

Sementara itu, Taeri yang jauh dari keluarganya merasakan getaran pertama badai yang mendekat, ia menepikan mobilnya di tepi jalan.

Tangan Taeri mencengkram erat setir, buku-buku jarinya memutih di bawah temaram lampu jalanan. Matanya memancarkan ketakutan yang baru pertama kali Yuna lihat. "Yun, dengerin aku," bisiknya dengan suara bergetar, "aku abis liat sesuatu yang gila di atas bar tadi, pas aku nyari udara seger." Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Ada cowok... dia motong leher orang sampe hampir putus. Dia... cowok yang ngeliatin aku pas kita baru dateng."

Yuna membelalakkan mata, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba mencerna kata-kata Taeri. "Eh, bentar, bentar, Tae, maksud kamu apa? Cowok yang ngeliatin kamu? Maksud kamu CEO ganteng yang tadi kita liat?" tanyanya dengan nada tak percaya. Ia masih sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

Taeri mengepalkan tangannya, bahunya menegang. Ia menatap Yuna dengan tatapan serius. "Iya, mata aku masih normal, Yuna," desisnya dengan nada getir. "Aku liat sendiri pake mata kepala aku. Aku yakin itu dia, nggak mungkin aku salah." Raut wajah Yuna melembut, menyiratkan kesungguhan. Ia bisa melihat ketakutan yang terpancar dari mata sahabatnya.

"Oke, oke, Tae." Yuna menggenggam tangan Taeri, mencoba menyalurkan ketenangan. "Kalo emang bener gitu, kita harus laporin ini sekarang juga ke polisi. Ini bahaya banget," ucap Yuna dengan nada khawatir.

Taeri mengusap rambutnya kasar, wajahnya pucat pasi. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah berusaha menghapus bayangan mengerikan yang baru saja dilihatnya. Yuna meraih tangannya yang gemetar, mengusapnya dengan lembut. "Tarik napas dulu, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Aku bakal bantuin kamu nyelesaiin ini semua. Kalo cowok itu emang bahaya kayak yang kamu ceritain, mulai sekarang kamu nginep di rumah aku dulu," bujuknya, merasa bersalah telah mengajak Taeri ke bar itu.

Taeri meringkuk di kursi, lengan kirinya mencengkram tangan Yuna erat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku... aku takut banget, Yun. Dia sekarang pasti nyariin aku. Dia... dia pasti dateng bawa pisau sambil senyum dingin buat bunuh aku," gumamnya terbata-bata. "Aku nggak mau mati konyol, Yun."

Yuna mendekat dan memeluknya erat, tersenyum tulus. Ia merasakan tubuh Taeri bergetar hebat. "Semuanya bakal baik-baik aja kalo kita gercep. Nggak ada yang bakal nyakitin kamu. Kita minta bantuan papa, pasti dia bisa bantu," bisiknya lembut. Taeri sedikit lebih tenang dalam pelukan Yuna.

"Makasih ya, Yun." Suara Taeri bergetar, tetapi ada sedikit kelegaan di sana. "Aku bener-bener nggak punya siapa-siapa di Roma, makanya aku takut banget," lirihnya.

"Kan ada aku di sini. Ada papa, ada mama," Yuna mengusap punggung sahabatnya dengan sayang. Ia akan melakukan apa saja untuk melindungi Taeri. Setelah Taeri merasa tenang Yuna mengajaknya untuk pulang kerumah, tidak mengizinkan gadis itu tidur di apartemen sendirian demi keselamatan nya.

Pukul dua belas dini hari, Taeri dan Yuna tiba di rumah. Mereka bergegas menuju kamar, tapi Taeri tiba-tiba berhenti di depan pintu, kakinya terasa berat untuk melangkah masuk. Yuna berbalik, melihat sahabatnya yang membeku di ambang pintu. "Kenapa, Tae? Ayo masuk, kita mandi dulu," katanya lembut sambil menarik lengan Taeri pelan.

Taeri menghela napas panjang, mengikuti Yuna masuk ke kamar. "Yun, gimana ya... Aku gak enak sama orang tua kamu. Besok pagi aku balik apartemen aja deh," ujarnya lesu dengan nada bersalah.

"Gak bisa! Gak bisa!" Yuna menggeleng cepat, tangannya menepuk bahu Taeri dengan tegas. "Kamu harus di sini sampai masalahmu selesai. Aku gak mau kamu kenapa-napa," tegasnya khawatir. "Ini Italia, bukan Korea. Kamu bukan Princess Taeri dari keluarga Kim lagi di sini. Udah, nurut aja, Mama sama Papa pasti gak keberatan," sambungnya dengan nada tak mau dibantah.

"Iya, iya, gak usah bawel deh," jawab Taeri pasrah, malas untuk berdebat dengan sahabatnya yang keras kepala.

Ini kali pertama Taeri menginap di rumah Yuna setelah satu tahun berteman. Setelah mandi dan melakukan perawatan kulit, keduanya langsung merangkak ke tempat tidur. Yuna menarik selimut hingga dagu, matanya terpejam rapat, mencoba untuk segera tidur. Tapi Taeri justru berguling-guling di sisi ranjang, tangannya memukul-mukul bantal dengan gelisah. "Ih, Tae, stop mikirin psikopat itu," rutuknya dalam hati, berusaha mengusir bayangan pria yang membunuh orang di bar dari benaknya.

Yuna membuka mata sedikit, melirik sahabatnya yang masih gelisah. "Kenapa sih, Tae? Masih kepikiran cowok ganteng itu?" tanya Yuna pelan, sambil menyikut lengan Taeri ringan dengan nada menggoda.

Taeri langsung duduk tegak, memukul bahu Yuna dengan bantal dengan kesal. "Siapa juga yang mikirin dia! Emang aku kurang kerjaan apa?" jawabnya dengan nada kesal. "Lagian dia itu psikopat, Yuna, kamu lupa? Udah deh, jangan sebut dia lagi di depan aku," suaranya sedikit meninggi karena kesal.

Kekesalan Taeri membuat Yuna tertawa lepas, sambil menutup mulutnya dengan tangannya. "Apaan sih, kesel gitu. Lagian mikirin dia juga gak apa-apa, kan?" godanya sambil mencolek paha Taeri dengan nakal. "Jujur, dia emang ganteng, kan? Walaupun dia psikopat, gak salah juga kalau kamu masih kebayang-bayang mukanya."

Taeri menghela napas panjang, melempar bantal ke sisi ranjang dan rebah kembali, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Terserah kamu aja deh, Yuna. Aku udah gak habis pikir sama otak kamu. Mendingan diem aja sekarang, aku mau tidur," ucapnya kesal, suaranya pelan tapi ketus.

Yuna cemberut, bibirnya maju ke depan dengan ekspresi merajuk, lalu menarik selimut lebih tinggi dan memejamkan mata, menyusul Taeri ke dunia mimpi dengan sedikit kesal.

Tentu, ini draf yang sudah direvisi dengan penambahan deskriptif yang halus:

 

Pagi hari di Seoul yang biasanya indah, tiba-tiba berubah mencekam. Kim Jongsu

dan istrinya sedang menikmati sarapan sederhana di balkon ketika ponselnya berdering nyaring. "sayang ponsel mu itu sepertinya dari yujin" ucap Sojin lembut sambil menyesap teh hangat nya. jongsu segera mengangkat panggilan itu, suaranya tenang tapi tegas. "Yujin, ada apa sepagi ini?"

"Tuan, semuanya sudah tidak terkendali," jelas Yujin dari seberang, suaranya gemetar, takut akan amukan bosnya. "Kebocoran pipa di pabrik kimia utama semakin parah. Gas beracun yang terlepas semakin banyak, tim darurat sudah datang, tapi... sudah lima puluh pekerja kita yang menjadi korban. Beberapa kritis, Tuan. Media lokal mulai mengendus."

Jongsu merasa dunia berputar sesaat. Tangannya mencengkeram ponsel hingga buku jarinya memutih. Ia berdiri dari kursi balkon. "Kalau begitu, tutup saja dulu pabriknya, Jin. Kita tidak bisa mengorbankan lebih banyak nyawa lagi," ucapnya, suaranya berusaha tenang meski hatinya hancur. Ia mencoba menerima kenyataan pahit ini.

"Tapi Tuan, kita akan menanggung kerugian yang sangat besar dengan menutup pabriknya sekarang," sahut Yujin keberatan. "Saham bisa anjlok, investor China dan Korea akan panik. Ini bisa merembet ke seluruh jaringan kita."

"Nyawa pekerja kita lebih berharga daripada uang, Jin. Jangan memaksakan kehendak kita, pikirkan dulu cara tutupi kerugiannya nanti," jelas Jongsu lebih tegas. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah di balkon. "Jadi, tutup saja dulu pabriknya. Jangan mencoba mempresentasikan kerugian dengan nyawa orang lain. Prioritaskan evakuasi dan bantuan medis. Laporkan update setiap jam."

"Baiklah, Tuan," sahut Yujin dari seberang.

Jongsu meletakkan ponsel di meja kaca balkon dengan tangan gemetar. Ia duduk kembali di sofa, di mana istrinya, Sojin, sudah menunggu dengan cemas. Tangannya meremas ujung kimono sutra paginya. Begitu Jongsu duduk, Sojin langsung memeluknya erat, kepalanya bersandar lemah di bahu suaminya. "Sayang, bagaimana ini? Beritanya sudah tersebar ke seluruh Korea, banyak orang yang mengecam keluarga kita di media sosial. Mereka bilang Kim Group ceroboh, bahwa kita lebih mementingkan profit daripada keselamatan," lirihnya khawatir, suaranya bergetar.

Jongsu mengusap kepala Sojin lembut, berusaha menenangkannya. "Mama tenang ya. Dalam dunia bisnis, pasti ada cobaan seperti ini. Kita akan coba atasi bersama, papa akan hubungi tim hukum dan pengacara segera," ucapnya lembut, meski pikirannya berputar kacau. Ia memeluknya erat.

Sojin mengangguk pelan, tapi matanya masih basah, dan ia segera teringat dengan putrinya yang jauh. "Bagaimana kalau beritanya sampai ke telinga Taeri? Sayang, pasti dia akan merasa khawatir. Mama tidak mau berita itu membuatnya sedih, dia sudah cukup stres dengan kuliah di Italia," tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran seorang ibu.

Jongsu menghela napas dalam, memeluk Sojin lebih erat sambil membisikkan kata-kata menenangkan. "Kalau begitu, Mama tidak usah memberitahukan apapun pada putri kita. Biarkan dia fokus dengan kuliahnya di Roma. Mama tidak usah panik begitu, Papa pasti bisa mengatasinya. Taeri sudah dewasa, dia butuh ruang untuk bernapas, jauh dari tekanan keluarga ini." Dalam hati, Jongsu bertanya-tanya, Apakah putriku aman di sana? Atau apakah dia juga mendengar rumornya? Tapi ia tutupi kekhawatirannya, mencium kening Sojin lembut.

"Iya, Mama tidak akan mengatakan apapun padanya, Pa," jawab Sojin pelan, meski hatinya masih gelisah.

Di luar, matahari Seoul terus naik, tapi pagi indah itu telah pudar, digantikan bayangan krisis yang mengintai. Sementara itu, di belahan dunia lain, Taeri tak tahu bahwa badai keluarga sedang mendekat, atau bahwa bayangan gelap di Italia mungkin lebih dekat dari yang ia kira.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!