Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Jhonatan hanya bisa terdiam. Matanya terpaku pada pintu kamar yang baru saja tertutup. Pikirannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Perasaannya campur aduk antara keterkejutan, kelegaan, dan rasa ingin tahu yang tajam. Ia masih tak percaya—gadis yang ia cari selama bertahun-tahun, yang ia kira hanya bayangan masa lalu, kini ada di hadapannya.
Alvino yang melihat tatapan Jhonatan mengikuti langkah Aresa hanya bisa tersenyum. Ia tahu Jhonatan sedang kebingungan.
“Jo, maafkan dia. Dia memang begitu,” katanya.
Jhonatan menoleh pada Alvino, matanya penuh pertanyaan.
“Jadi, dia… adikmu?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Iya, Jo,” Alvino tersenyum samar, lalu buru-buru mengurai ketegangan. “Dia sepupuku. Namanya Aresa.”
Dunia Jhonatan seolah kembali berputar. Sebuah kelegaan besar membanjiri hatinya. Jadi, dia adik Alvino—berarti masih ada kesempatan baginya.
“Aresa,” gumamnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang jarang terlihat. “Namanya Aresa.”
****
Mereka berdua duduk di ruang tamu. Alvino mengeluarkan beberapa berkas dan meletakkannya di meja.
“Ini, Jo. Sudah aku siapkan semua data yang kita butuhkan untuk pembangunan bisnis kita,” ucap Alvino, kembali ke mode profesional.
Jhonatan mengambil berkas itu, tapi matanya terus-menerus melirik ke arah pintu kamar Aresa. Pikirannya tidak fokus pada data atau angka. Otaknya seolah hanya berisi satu nama, satu wajah.
“Jo!” panggil Alvino, menyadarkannya dari lamunan.
“Ya, Vin. Teruskan,” kata Jhonatan, berusaha fokus.
“Aku sudah dapat info lahan di Banjarnegara, Jo. Tanah milik keluargaku. Ayahku sudah setuju, tinggal tunggu persetujuan terakhir dari Bapaknya Aresa,” jelas Alvino.
“Kenapa kamu milih Banjarnegara? Bukannya itu daerah tertinggal dan jauh dari pusat kota?” tanya Jhonatan.
“Jangan salah, Bro. Justru karena masih daerah tertinggal, kita bisa bangun usaha di sana dengan mudah. Kalau kita bangun tempat-tempat yang hits dan estetik, pasti bakal ramai,” jelas Alvino.
“Kamu ada kenalan di sana yang bisa diajak kerja sama?” tanya Jhonatan lagi.
“Tenang aja. Bapaknya Resa udah menetap di sana sama kakak pertamanya Resa. Lagi pula, di sana banyak santri Om ku yang bisa dipercaya,” jawab Alvino.
“Kamu yakin, Vin?”
“Yakin. Lagi pula, Resa nanti juga bisa bantu-bantu kalau lagi di kampung. Biasanya dia pulang ke Indonesia pas liburan musim panas atau akhir tahun. Bisa lah nanti disuruh-suruh,” ucap Alvino santai.
“Memangnya dia tinggal di mana?" tanya Jhonatan penasaran.
"Oh Aresa sejak usia 15 tahun, udah pindah ke Spanyol." pungkasnya
*****
Nama Aresa lagi-lagi membuat Jhonatan tersentak. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya.
“Kenapa dia di Spanyol? Apa pekerjaannya?” tanyanya. Suaranya terdengar sangat tertarik, bahkan sedikit mendesak.
Alvino yang sudah terbiasa dengan sikap dingin sahabatnya agak heran melihat perubahan drastis itu. Ia akhirnya menjelaskan.
“Dia ahli telemetri, Jo. Kerja di tim balap motor internasional. Kontraknya lima belas tahun, dan otaknya dibayar puluhan miliar,” jelas Alvino dengan nada bangga. “Kalau kamu mau bikin bisnis otomotif, dia orang yang paling tepat.”
Jhonatan tertegun. Jadi, bukan hanya wajahnya yang mempesona, tapi juga otaknya. Sempurna.
“Jadi dia... juga anak seorang kiai?”
“Betul, Jo. Bapaknya kiai, meneruskan pesantren milik mertuanya di Banjarnegara. Selain itu, Bapaknya juga purnawirawan polisi, pangkat terakhirnya Kombespol kalau nggak salah,” jawab Alvino.
Jhonatan mengangguk pelan. Sekarang ia mengerti kenapa ia tak pernah menemukan gadis itu. Dunia mereka memang berbeda.
Jhonatan yang selama ini dikenal dingin dan irit bicara, tiba-tiba jadi lebih cerewet dari biasanya. Ia terus bertanya tentang Aresa—tentang pekerjaannya, kehidupannya, bahkan kebiasaannya. Ia seolah tak ingin obrolan itu berakhir.
Alvino akhirnya tertawa.
“Jo, aku tahu kamu tertarik sama Resa. Tapi kita fokus dulu ke bisnis kita, ya. Kalau nanti berhasil, baru deh kita ajak dia gabung,” canda Alvino.
Jhonatan hanya tersenyum tipis. Tapi dalam hatinya, ia sudah punya rencana. Ia tidak akan membiarkan kesempatan itu hilang begitu saja.
*****
Di dalam kamar, Aresa masih dilanda rasa malu yang luar biasa. Ia memeluk guling, wajahnya memerah.
“Bodoh! Kenapa aku lari?” gumamnya kesal.
Ia marah pada dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa bersikap santai. Lagi pula, itu hanya pria biasa. Tapi tatapan pria itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Ada sesuatu yang dalam dan penuh makna di matanya—sesuatu yang membuatnya merasa seperti sedang ditelanjangi oleh pandangan.
“Tante Resa, ada apa?”
Aresa menoleh. Di sudut kasur, ada anak kecil yang sedang berbaring, menatapnya dengan penasaran. Anak itu adalah Gio, putra Alvino.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Aresa singkat.
“Kamu dari tadi di sini?”
“Iya, Tan. Ayah bilang ada komandan datang. Aku nggak mau ketemu, jadi lari ke kamar Tan,” jawab Gio polos.
“Memangnya kenapa, takut sama komandan?” tanya Aresa sambil tersenyum.
“Katanya galak, suka marah-marah,” bisik Gio, membuat Aresa terkekeh.
“Memangnya kamu pernah lihat dia marah?”
“Belum, sih. Tapi Ayah sama Bunda suka bilang, Komandan Jhonatan galak kalau di lapangan. Kalau nggak disiplin, pasti kena marah,” ucap Gio lirih.
Aresa hanya tersenyum kecil. Jadi, pria itu namanya Jhonatan. Ia mendengus pelan. Pria berseragam memang begitu, pikirnya. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ada sesuatu di tatapan pria itu yang membuat dadanya bergetar.
Ia berusaha mengenyahkan perasaan itu. Ia tidak butuh drama. Ia hanya ingin tenang. Ia memejamkan mata, berharap bisa tidur dan melupakan kejadian memalukan tadi. Namun, bayangan mata Jhonatan terus muncul di benaknya. Perasaan aneh itu masih tertinggal—perasaan yang mengatakan bahwa pertemuan ini... bukan sekadar kebetulan.
“Ih, kenapa kebayang muka dia terus, sih. Ganggu banget,” gumam Aresa kesal.
“Tante ngomong apa?” tanya Gio penasaran.
“Eh, nggak. Tante nggak ngomong apa-apa kok,” jawab Aresa buru-buru.
“Tante suka ya sama Kapten Jhonatan? Hihi,” tebak Gio polos.
“Eh, sembarangan! Tante udah punya pacar, ya. Pacar Tante bule, lebih ganteng dari dia,” jawab Aresa sewot.
“Tapi kata Ayah, pacar Tante nggak bisa diajak nikah,” ujar Gio lirih.
“Ih, kok kamu tahu sih, Gi. Tante galau banget tahu. Tante pengin nikah, tapi benteng kita terlalu tinggi,” jawab Aresa dengan nada sedih.
“Bentengnya di robohin aja kan bisa, Tan,” jawab Gio enteng.
“Enteng banget ngomongnya, Gi. Masih kecil kok udah ngomongin masalah orang dewasa,” ujar Aresa sambil mencubit pipi Gio.
“Kata Mbah, Tante juga masih anak kecil. Suka marah-marah lagi,” balas Gio sebal.
“Sembarangan kamu, Gi. Tante udah dewasa, ya. Yang masih kecil itu kamu,” sahut Aresa sambil berbaring lagi, sebelum akhirnya tertidur.