Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3.
"Tuan! Tuan!" Teriak Kodasih.
Suara Kodasih memecah kesunyian pagi itu, panik dan nyaring, menggema di lorong panjang rumah besar bergaya kolonial itu.
"Tuan, di mana sekarang?" teriaknya lagi, sambil tergopoh gopoh keluar dari kamar.
Ia belum sempat merapikan diri. Rambut panjang nya hanya digelung asal saja. Kain batiknya longgar, belum terlilit rapi dengan setagen. Ujung kain hanya diselipkan terburu-buru di dada. Kebaya lusuhnya pun belum terkancing sempurna, terbuka oleh gerakannya yang tergesa.
"Mbok Piyah! Pak Karto!" panggilnya nyaring.
Mbok Piyah, yang sejak tadi berdiri gemetar di teras, sontak menoleh. Matanya nanar, tubuhnya lunglai, seolah tak kuat menopang beban pikiran.
"Itu… Nyi Kodasih sudah bangun," gumamnya , lalu buru-buru masuk ke dalam rumah.
Langkah Mbok Piyah terburu, namun tak mantap. Lantai yang licin karena tumpahan air dari ember nyaris membuatnya tergelincir.
"Awas, Mbok!" teriak Pono dan Arjo dari halaman loji, membuat Mbok Piyah terhuyung huyung menahan keseimbangan.
Ia menarik napas panjang dan melangkah lebih hati-hati menuju dalam, mengabaikan napasnya yang mulai tersengal.
"Nyi… Nyi Kodasih… apa sudah dengar beritanya?" suaranya parau, namun menggema di ruangan besar itu.
Kodasih kini berdiri di depan pintu ruang kerja Tuan Menir. Ia menoleh pelan ke arah suara Mbok Piyah. Matanya sipit menatap, seakan mencoba menembus kegaduhan yang mendadak menyelimuti pagi.
"Berita apa?" tanyanya dengan suara lantang, penuh tekanan, seolah siap mendengar sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Mbok Piyah segera melangkah mendekati Kodasih.
Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan matanya tampak sembab. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Berita apa? Apa kamu tahu di mana Tuan Menir berada?" tanya Kodasih cepat, suaranya menuntut. Tatapannya menusuk, tak sabar menunggu jawaban.
Mbok Piyah mengatupkan bibirnya, lalu menunduk. Tangannya yang keriput menggenggam ujung kainnya sendiri, berusaha meredakan gemetar.
"Itu, Nyi..." suaranya nyaris tak terdengar. "Kata Pono... kata Pono, Tuan Menir… dihukum mati..."
Kodasih terdiam. Kedua matanya membesar, seolah hendak meloncat keluar. Jantungnya berdebar begitu keras, sampai ia merasa dadanya sakit.
"Apa?! Di mana? Kapan? Mana mungkin?! Tadi malam Tuan tidur bersamaku! Apa tadi pagi? Sebelum subuh?!" Kodasih memberondong pertanyaan tanpa memberi jeda, suaranya meninggi, nyaris histeris.
Mbok Piyah menggigit bibir bawahnya, lalu menggeleng lemah.
"Saya tidak tahu, Nyi. Itu... itu Pono masih di halaman. Nyi bisa tanya langsung sama dia..."
Mata Kodasih menyipit. Napasnya memburu.
"Pono..." desisnya. "Dia pasti yang menyebarkan fitnah. Atau jangan jangan... dia dan teman temannya yang membunuh Tuan!"
Nada suaranya kini penuh amarah, tetapi ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Ia tahu benar: Kang Pono pernah memendam rasa padanya, jauh sebelum ia menjadi gundik Tuan Menir.
Tanpa berkata lagi, Kodasih menyingkap kainnya, melangkah cepat ke arah pintu depan, dadanya bergemuruh. Matanya mencari sosok Pono.
Sementara itu, Pono berdiri kaku di halaman loji, bersama Arjo. Keduanya tampak gelisah. Begitu melihat Kodasih mendekat dengan sorot mata membakar, mereka saling pandang.
"Kang Pono!" teriak Kodasih. Suaranya tajam. "Kau bilang apa tadi pada Mbok Piyah? Mana Tuan?!"
Pono menegakkan tubuhnya. Wajahnya tampak lebih tua pagi ini, seperti habis menanggung beban berat.
"Maaf, Nyi... Saya tidak berniat menyampaikan begitu saja. Tapi berita itu... dari orang-orang kota. Belanda sudah menyerah. Dan para penghianat dari pihak kolonial... dihukum mati. Termasuk Tuan Menir..."
"Tidak! Aku tidak percaya! Tuan pasti..."
"Tuan ditangkap pasukan rakyat , saat keluar kota Semarang. Mereka bilang dia terlibat penyiksaan tahanan. Kata Pak Wiro, dia dieksekusi di Semarang , kemarin sore."
“Kalau Nyi Kodasih tidak percaya bisa mencari berita di radio. Maaf .. saya memberi tahu kabar ini agar Nyi bersiap siap.. lebih baik Nyi pergi dari sini demi keselamatan Nyi.”
Kodasih menatap Pono lama. Napasnya terhenti sesaat.
"Tidak... tidak mungkin..." bisiknya. "Dia bilang... dia akan bawa aku pergi dari sini. Ke Batavia. Dia janji..."
Lututnya lemas. Dunia seperti memutar lebih lambat. Ia nyaris terjatuh jika Mbok Piyah tidak segera menahan tubuhnya.
“Sabar, Nyi... kita coba dengarkan berita di radio dulu, untuk kepastiannya,” Mbok Piyah berkata lembut sambil merangkul tubuh Kodasih yang gemetar.
“Tidak mungkin, Mbok... kalau dia dihukum mati kemarin sore,” jawab Kodasih dengan suara bergetar, air mata mulai membanjir di pipinya. “Tadi malam dia datang, dan tidur di sampingku... hu... hu... hu...” Ia terisak tersedu sedu, tenggelam dalam pelukan hangat Mbok Piyah.
“Aku bangun pagi ini, Tuan Menir sudah tidak ada. Mungkin dia sedang di ruang kerjanya... hu... hu...”
Mbok Piyah menghela napas, mencoba menenangkan Nyi Kodasih. “Sabar, Nyi. Kita harus cari berita yang benar. Tapi tadi saya baru saja membersihkan ruang kerja Tuan Menir, dan tidak ada beliau di sana.” Suaranya serius, sedikit gemetar.
Mbok Piyah menggandeng Kodasih dengan penuh perhatian, menuntunnya perlahan menuju kamar. Ia yakin, sosok Tuan Menir tidak mungkin ada di ruang kerja, karena baru saja selesai membersihkan ruangan itu sebelum mengepel teras.
Langkah mereka pelan, hati Mbok Piyah berdebar-debar tak menentu. Setibanya di depan pintu kamar Kodasih, Mbok Piyah membuka pintu dengan hati-hati. Hidungnya menghirup aroma cerutu khas Tuan Menir yang masih samar tercium di udara.
Matanya melebar saat melihat tempat tidur yang luas dan acak acakan, seolah baru saja ditinggalkan dengan terburu buru.
Kodasih berjalan lunglai menuju kursi jati berukir di sudut kamar. Ia duduk dengan lemas, menunduk lalu meraih tombol radio transistor di atas meja kecil di dekatnya.
Sementara itu, Mbok Piyah melangkah menuju tempat tidur, berniat merapikan selimut dan sprai putih yang berantakan.
Namun, saat tangannya menyentuh selimut itu, kedua matanya membulat lebar, jantungnya berdegup sangat kencang.
Ada sesuatu di bawah selimut yang membuat napas Mbok Piyah tercekat...
Mbok Piyah yang belum bisa berkata kata menoleh ke arah Kodasih. Tampak Kodasih masih memutar mutar tombol dan memutar mutar antena panjang radio transistor untuk mencari frekuensi yang jelas. Karena lokasi rumahnya di perbukitan agak susah untuk menangkap siaran.
“Nyi lihat ini...” suara parau Mbok Piyah kemudian.
Kodasih pun menoleh dan melihat ke arah tempat tidurnya. Kedua matanya pun langsung membulat, tubuh lemasnya semakin gemetar..
....
Ada apa ya di bawah selimut?
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk