Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Gang senggol membuat bahu Dima sesekali terbentur dengan dinding gang. Harusnya itu tidak terjadi kalau dia berjalan pelan, tapi kalau dia berjalan pelan bisa-bisa Givan pergi duluan mengejar preman yang katanya mengambil motornya hari minggu lalu.
Givan, temannya yang kurus, tinggi, dan cepak itu, memang yang paling tidak sabaran. Namun dia adalah yang paling bisa diandalkan, kedua setelah Danu. Setidaknya dia bisa diandalkan untuk hal-hal seperti ini. Lahir di keluarga yang tidak harmonis, Givan hanya tahu kalau menjadi laki-laki itu harus berani maju, tegas, dan tidak perlu pikir panjang yang penting aksi. Memang sering kali Givan membuat Dima dan yang lainnya terjebak situasi berbahaya, seperti tawuran setahun yang lalu. Untungnya, Dima dan yang lainnya berhasil sembunyi di gerobak sampah milik tukang sampah, sehingga aman dari kejaran lawan dan polisi. Walau pulangnya, ibunya Dima langsung menyuruh Dima mencuci semua bajunya yang bau pisang busuk.
Ketika Dima keluar dari gang senggol, Givan langsung menyalakan motornya dan melemparkan helm. Dima berhasil menangkapnya, lalu memakainya dan langsung naik ke boncengan motor.
“Di mana motornya?” Dima sebetulnya tidak percaya kalau semudah itu motornya ketemu, tapi dia penasaran juga. Mungkin saja motornya masih rejeki keluarganya.
“Nggak tau di mana. Tapi Bang Toyib tahu orang yang begal di Rawa Belong minggu kemarin,” Givan menjalankan motornya, sebelum Dima berpegangan. Hampir saja Dima jatuh kejengkang ke belakang.
Motornya Givan meliuk-liuk mencari jalan di sela-sela mobil yang lalu-lalang di jalanan ramai. Jalanan Jakarta itu aneh, setiap hari macet, tapi ada saja kalanya tiba-tiba jalanan sepi. Bukan sepi seperti ketika hari lebaran, tapi sepi seperti ketika di waktu jumatan. Ramai tapi lancar.
“Awas!”teriak Dima yang memejamkan mata khawatir bahunya kali ini berbenturan dengan badan truk, ketika Givan melintas di sela-sela dua truk.
“Tenang, aman!”teriak Givan yang kemudian kepalanya kena ranting, ketika dia belok ke sebuah perumahan tua.
“Nggak usah ngebut!”kata Dima yang bisa merasakan angin menusuk pupil matanya.
“Kalau nggak ngebut, orangnya keburu pergi!”teriak Givan membuat angin masuk ke mulutnya dan membuat perutnya kembung.
“Emang udah yakin?”
“Iya!”
“Iya apa?”
“Apa?”
Dima terdiam, sadar kalau ternyata Givan tidak mendengar apa yang dibicarakannya. Percuma melanjutkan diskusi, karena mereka berada di motor yang sedang melaju kencang. Tiba-tiba Dima berhenti mendadak. Helm Dima berbenturan dengan helm Givan.
“Aduh!” kata Givan memicingkan mata menatap Dima, kesal karena jadi ada suara bergema di kepalanya seperti tong kosong dipukul dari luarnya.
“Harusnya gue yang aduh!” Dima memukul helm Givan. “Kenapa berenti mendadak?”
“Aduh! Itu tempatnya. Tadi kata Bang Toyib dia di sini!” kata Givan melihat warteg kecil di sebelah tempat fotokopian.
Dima melongok ke arah pintu dan memperhatikan sekeliling. Tidak ada siapapun. Hanya ada pelayan warteg yang duduk serius memperhatikan hapenya. “Yang mana?”
“Mana gua tau, udah pergi kali!” Givan menggaruk helmnya.
“Ah!” Dima kesal dan memukul kepala Givan lagi.
“Woi! Napa mukul kepala gua mulu sih!” Givan teriak kesal sambil menoleh ke arah Dima dan ingin membalasnya.
Dima hanya nyengir, “Sori, anterin gua pulang yok!”
–
Notifikasi di hapenya Quin tiba-tiba muncul berlebihan. Quin terpaku melihat layar hapenya, membaca pengumuman yang ada di media sosial IF TV. Dia dan Arka masuk 20 besar.
“Quiiin!” mamanya teriak dari lantai bawah memanggil dengan nada seperti seseorang sedang bertemu dengan artis kesukaannya.
Dibalasnya satu persatu pesan yang masuk di hapenya.
Derap langkah mamanya terdengar semakin keras. “Quin!” mamanya berdiri di depan pintu sambil membawa hapenya yang terlihat masih terhubung dengan seseorang. “Kata Tante Mimi, kamu lolos YAMI!”
Quin yang dari tadi duduk di kursi meja belajarnya, berpaling ke mamanya yang lalu memeluk dan mencium kepalanya.
“Aduh, Mama senang banget! Mama tau kamu pasti bisa! Nenek kamu pasti seneng kamu kepilih!”
Mendengar neneknya disebut, Quin tidak jadi senang. Dia langsung murung.
“Kenapa, Quin?” tanya mamanya memperhatikan raut wajah Quin yang berubah.
“Nggak apa-apa,”
“Harus gimana kalau udah lolos gini. Prosesnya gimana?” mamanya Quin melihat isi email di layar laptopnya Quin.
“Hari sabtu besok disuruh ke stasiun IF TV. Ada briefing,” jelas Quin walau sudah tahu mamanya bisa membacanya sendiri.
“Oke. Berarti nanti mama sama papa yang anter ya?” mamanya Quin menatap kedua mata Quin yang malah melihat tembok, menghindari tatapan matanya.
Mamanya duduk di kasur, “Kamu nggak suka?”
Quin terdiam.
“Kamu nggak mau lanjut?” tanya mamanya lagi.
“Boleh nggak aku minta waktu sendiri dulu, Ma?”
Mamanya mengangguk mengerti, lalu bangkit. Dia tahu bahwa anak seumuran Quin sudah punya privasi sendiri. Meski Quin menceritakan apapun dan semuanya pada mamanya, tapi mamanya akan membiarkan Quin punya privasi. Karena dulu waktu mamanya masih kecil, tidak mendapatkan privasi dari neneknya Quin. Mamanya Quin tidak ingin Quin mengalami hal yang sama dengan apa yang dialaminya dulu. Ditutup pintu kamar Quin perlahan oleh Mamanya.
Quin menatap email yang ada di layar laptopnya. Dia mencari informasi apakah dia bisa mundur?
Muncul notifikasi chat dari Dima.
Dima : Gue tau elu emang pasti kepilih! Jadi kapan kita bisa latihan?
Bersambung.
queen Bima
mantep sih