Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Mobil yang melaju kencang itu akhirnya melambat dan berhenti di tengah hutan yang sangat terpencil, jauh dari jalan utama dan hingar-bingar kota.
Udara di sini terasa dingin, sunyi, dan dipenuhi aroma dedaunan basah.
Cahaya matahari pagi hanya mampu menembus samar-samar kanopi pepohonan yang rapat.
Bima mematikan mesin. Mereka telah menempuh perjalanan selama berjam-jam tanpa henti.
Keheningan yang tiba-tiba terasa seperti beban berat setelah ketegangan yang panjang.
Bima dan Sania turun. Bima, dengan langkah pincang, membuka pintu bagasi.
Sisil meringkuk di sudut, masih terikat dan kini terengah-engah karena ketakutan, terpisah dari jenazah Adam hanya oleh beberapa sentimeter.
"Diam," desis Bima pelan pada Sisil, memastikan wanita itu tidak menimbulkan suara, lalu ia memfokuskan perhatiannya pada jenazah Adam.
Sania berjalan ke belakang mobil. Ketika ia melihat jenazah Adam terbaring di samping Sisil yang pucat, air matanya menetes. Dia adalah mantan tunangannya, orang yang pernah sangat berarti.
Bima dan Sania menarik tubuh Adam keluar dari bagasi dengan hati-hati. Mereka membaringkannya di tanah yang ditutupi lumut, lalu menutupinya dengan jas dokter Bima.
Sania berlutut di samping tubuh Adam, mengusap kain kafan yang menutupi wajahnya.
"Kita harus memakamkannya, Bi," bisik Sania, suaranya serak. "Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja di sini."
Bima ikut berlutut, menatap wajah Adam yang tertutup kain.
Ia tahu Adam adalah penyebab semua masalah mereka, pengkhianat di balik layar. Namun, Bima juga ingat persahabatan mereka di masa lalu, sebelum obsesi dan keserakahan merusak segalanya.
"Ya," Bima mengangguk. "Dia pantas mendapatkan perpisahan yang layak. Terlepas dari apa yang dia lakukan, sebelum semua ini, Adam lelaki yang sangat baik."
Bima merasakan kepedihan Sania. Ia meraih tangan istrinya dan meremasnya.
"Kita tidak punya peralatan, tapi kita akan melakukannya. Kita akan memberinya peristirahatan terakhir yang damai, jauh dari jangkauan Salvatore."
Menggunakan sekop kecil yang Bima simpan di mobil untuk keadaan darurat, Bima dan Sania mulai menggali tanah. Itu adalah pekerjaan yang lambat dan menyakitkan, terutama dengan kaki Bima yang cedera.
Namun, setiap ayunan sekop adalah penebusan dan upaya terakhir untuk memberikan kedamaian pada jiwa yang tersesat, sekaligus menutup babak kehidupan mereka bersama Adam.
Di dalam bagasi, Sisil menyaksikan seluruh proses itu, terikat dan ngeri, menyadari betapa jauh Bima dan Sania akan pergi untuk membalas dendam dan mencari keadilan.
Selesai memakamkan jenazah Adam, Bima dan Sania berdiri sejenak di samping gundukan tanah yang masih baru.
Rasa lelah bercampur kesedihan dan sedikit kelegaan karena telah menuntaskan kewajiban terakhir mereka.
"Ayo, Bi. Kita harus segera pergi," bisik Sania, menarik Bima menjauh.
Mereka kembali ke mobil. Bima membuka bagasi untuk terakhir kalinya sebelum berangkat.
Sisil, yang baru saja menyaksikan pemakaman Adam, kini terlihat semakin rapuh.
"Bima, kumohon. Aku janji akan diam. Tapi tolong, jangan di sini. Aku tidak mau di sini," pinta Sisil, suaranya lemah.
Ia berusaha menggerakkan badannya yang terikat.
"Biarkan aku duduk di kursi belakang. Aku janji tidak akan berteriak."
Bima menatap Sisil. Matanya dingin, tidak tersentuh oleh permohonan itu.
Ia menggelengkan kepalanya perlahan.
"Tidak, Sisil. Aku tidak bisa mengambil risiko. Dan setelah apa yang kau lihat, aku tahu betapa paniknya kau sekarang. Kau akan tetap di sini, di mana kau tidak bisa membuat masalah."
Sisil mencoba memohon lagi, air mata kembali membasahi pipinya.
"Aku mohon, Bima..."
Bima mengabaikan tangisan itu. Ia tahu Sisil adalah mata-mata Salvatore yang sangat berbahaya, dan rasa paniknya bisa menjadi ancaman bagi keamanan mereka.
Dengan cepat, Bima meraih sehelai kain yang ia temukan di gudang losmen tadi.
"Ini demi keamanan kita semua," ucap Bima tanpa emosi.
Ia mendekat dan dengan gerakan tegas namun cepat, Bima kembali menutup mulut Sisil dengan kain itu, mengikatnya erat. Sisil hanya bisa mengeluarkan erangan teredam.
Bima menutup bagasi mobil rapat-rapat. Kali ini, ia menguncinya.
Ia kembali ke kursi kemudi, menatap Sania yang diam tanpa berkomentar.
Sania hanya mengangguk, mendukung keputusan suaminya.
Mereka berdua tahu, dalam pelarian ini, tidak ada ruang untuk kebaikan hati yang salah sasaran.
Mesin mobil kembali menderu. Mobil itu melaju menjauh, menembus hutan lebat, membawa mereka ke tempat yang lebih aman.
Di dalam bagasi, Sisil hanya bisa terisak dalam kegelapan, terikat dengan mayat yang baru saja ia saksikan pemakamannya.
Mobil Bima melaju di jalanan pinggiran kota yang lengang, menjauh dari hutan.
Bima merasa sedikit lega, tetapi firasat buruk terus menghantuinya. Tiba-tiba, ia menyadari ada yang salah.
Di depan, sebuah truk pengangkut besar tiba-tiba melintang, memblokir jalan.
Bima refleks menginjak rem, membuat mobilnya berdecit keras. Belum sempat Bima bereaksi, dari belakang dan samping, ia mendengar suara yang paling ia takuti: deru sirene polisi.
Jantung Sania langsung mencelos. "Bim, jebakan!"
Dalam hitungan detik, tiga mobil polisi sudah mengepung mereka.
Beberapa petugas berseragam lengkap dengan senjata laras panjang keluar, mengarahkan moncong senjata ke arah mobil Bima.
"Keluar dari mobil! Angkat tangan kalian!" teriak salah satu petugas dengan pengeras suara.
"Sial!" Bima menggeram. Ia tahu ini bukan penangkapan biasa. Ini pasti ulah Salvatore.
Tubuh Sisil yang terikat di bagasi membuatnya tidak punya kesempatan untuk membela diri.
Bima mengangkat tangannya dan keluar dari mobil.
Sania mengikutinya, tangannya gemetar.
Tepat saat Bima berlutut di aspal, pintu belakang salah satu mobil polisi terbuka. Dan yang keluar bukanlah seorang perwira tinggi, melainkan Salvatore yang mengenakan setelan mahal, dengan senyum kemenangan yang dingin dan memuakkan.
"Permainan selesai, Bima," ujar Salvatore, melangkah maju dengan angkuh. Ia menoleh ke arah petugas polisi.
"Tangkap dia atas tuduhan pembunuhan berantai dan penculikan. Buktinya ada di bagasi mobilnya."
Petugas polisi segera mendekati Bima. Dua orang memborgol Bima dengan kasar, mengabaikan erangan sakit dari kakinya yang terluka.
"Apa-apaan ini?! Kamu menjebakku!" raung Bima, berusaha meronta.
Salvatore mengabaikannya, matanya hanya tertuju pada Sania.
Sania melihat suaminya ditarik menjauh.
Sebelum ia sempat bereaksi, Salvatore sudah berada di depannya, mencengkeram lengan Sania dengan kuat.
"Kamu tidak akan ke mana-mana, Sayang," bisik Salvatore ke telinga Sania, suaranya penuh kepemilikan yang menjijikkan.
"Kamu milikku. Dan sekarang, kamu akan kembali ke rumah."
Sania melawan, menendang dan memukul, namun cengkeraman Salvatore terlalu kuat.
"Lepaskan aku, brengsek!" teriak Sania.
Saat Sania diseret oleh Salvatore menuju mobilnya, meninggalkan Bima yang sedang dipaksa masuk ke mobil polis.
Ia berteriak dengan keputusasaan terakhir, air mata membanjiri wajahnya.
"BIMA!! TOLONG AKU!!"
Bima yang berada di dalam mobil polisi mendengar teriakan itu.
Ia memukul kaca mobil dengan kepala dan bahunya, matanya memancarkan kemarahan dan rasa sakit karena tidak berdaya.
Ia hanya bisa melihat Sania dibawa pergi oleh monster itu.
"Sania!" raung Bima, suaranya tenggelam oleh deru mesin mobil yang membawa mereka ke arah yang berlawanan.