"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ⁹ - clay house
Clay tidak bisa melakukan perlawanan karena harus fokus menyetir. Matanya tajam menatap ke depan, sementara kedua tangannya mencengkeram kuat setir mobil yang sedikit bergetar. Jalanan berliku, dipenuhi sisa-sisa bangkai kendaraan yang terbakar. Satu-satunya orang yang bisa menghalau zombie di jendela hanyalah Britney.
Britney menatap makhluk itu dengan napas tersengal. Wajahnya sudah pucat pasi, keringat bercucuran dari pelipis, sementara pedang di tangannya berlumur darah kering. Saat zombie menyorongkan kepala menjijikkan ke dalam jendela, Britney langsung menghunus pedang itu dengan sekuat tenaga.
Suara logam menembus tengkorak terdengar jelas. Pedang itu menancap tepat di kepala zombie. Seketika darah kental mengucur deras, menyembur sebagian ke kaca depan. Bau anyir bercampur dengan aroma busuk tubuh membusuk segera menyeruak ke seluruh kabin. Britney tersentak mundur, hampir terbatuk. Perutnya bergejolak keras. Ia ingin muntah.
Clay menoleh sekilas dan berteriak, “Dorong dia! Kau tak punya waktu untuk muntah!”
Britney menahan napas. Ia tahu Clay benar, tidak ada waktu untuk lemah. Dengan gemetar, ia memalingkan wajah, lalu menendang keras tubuh zombie itu. Suara retakan tulang terdengar, dan tubuh zombie pun terlempar keluar dari jendela mobil, terguling di aspal berlumur darah.
Begitu zombie itu jatuh, Britney menatap sisa darah yang menetes di tangannya. Perutnya tak sanggup menahan lagi. Ia membungkuk dan memuntahkan isi perutnya ke lantai mobil yang penuh pecahan kaca. Suaranya menggema samar di antara deru mesin dan desiran angin.
Clay hanya bisa menggeleng pelan tanpa berkata apa-apa. Ia tahu Britney tidak salah. Tidak semua orang bisa menatap kematian dari jarak sedekat itu tanpa kehilangan kendali.
Mobil terus melaju menembus jalanan kota yang porak-poranda. Cahaya senja yang redup membuat langit tampak muram, seperti dunia sedang sekarat. Bangunan-bangunan menjulang di sisi jalan terbakar sebagian, jendela-jendela pecah, dan bayangan mayat berjalan terlihat dari kejauhan. Namun, anehnya, jalan menuju rumah Clay cukup sepi. Hanya ada beberapa zombie yang berkeluyuran tanpa arah. Clay bisa menjalankan mobilnya tanpa banyak hambatan.
Sepuluh menit berlalu dengan keheningan menegangkan. Britney duduk bersandar di kursi belakang. Kepalanya terkulai lemas, matanya sayu. Napasnya masih berat, seolah paru-parunya terbakar oleh ketakutan dan bau busuk darah yang menyelimuti kabin mobil. Sesekali ia memalingkan wajah ke luar jendela, berusaha menenangkan diri, tetapi setiap kali matanya menangkap pemandangan jalanan yang dipenuhi bangkai manusia, tubuhnya kembali menegang.
Kadang, tanpa sengaja, ia kembali muntah sedikit karena aroma darah dan busuk yang masih mengendap di udara. Clay sempat melirik dari kaca spion.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya serak, tapi lembut.
Britney menjawab di sela napas yang belum teratur, “Apa... aku... terlihat baik-baik saja? Aku merasa sebagian nyawaku melayang...”
Clay menarik napas panjang. “Sebentar lagi kita sampai. Setelah memeriksa rumahku, kita akan cari mobil lain.”
Britney tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke luar jendela. Di sana, dunia yang dulu penuh kehidupan kini berubah menjadi neraka sunyi. Rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan tampak seperti bangkai raksasa. Beberapa pintunya terbuka, ada bercak darah di dinding. Sisa suara-suara samar, angin, gesekan daun, atau mungkin langkah zombie, menyelinap di antara kesunyian itu.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai yang tampak utuh tapi suram. Itulah rumah Clay.
Tanpa banyak bicara, Clay mematikan mesin dan segera keluar dari mobil. Britney, meski tubuhnya masih gemetar, mengikuti dari belakang. Udara sore terasa dingin, menampar wajah mereka dengan getir.
Begitu sampai di depan pintu, Clay langsung mendorongnya masuk. Suara engsel pintu berderit keras. “Mom! Lucy!” teriaknya sambil melangkah cepat ke dalam rumah. Setiap ruangan ia periksa dengan cemas, ruang tamu, dapur, kamar.
Britney mengikuti dari belakang, langkahnya pelan, matanya awas. Suasana rumah itu begitu hening, terlalu hening. Tidak ada suara manusia. Tidak ada tawa, tidak ada tangisan. Hanya kesunyian yang menusuk.
Clay berhenti di ruang keluarga. Pandangannya kosong. Ia menatap sekeliling rumahnya, foto keluarga di dinding, sofa yang masih rapi, dan mainan kecil milik adiknya di lantai. Tapi tak ada siapa pun di sana. “Mom... Lucy...” panggilnya lagi, suaranya nyaris pecah.
Sementara itu, Britney berjalan ke dapur. Ia menyalakan keran dan membasuh wajahnya di wastafel. Air dingin itu membuatnya sedikit segar. Namun ketika hendak beranjak, matanya menangkap sesuatu di pintu kulkas, selembar catatan yang menempel dengan magnet berbentuk hati.
“Clay! Aku rasa aku tahu di mana keluargamu sekarang!” seru Britney, suaranya sedikit bergetar.
Clay segera berlari menghampiri. Ia menarik catatan itu dan membacanya cepat.
‘Clay, kami pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Bibimu. Mungkin akan pulang malam. Kau bisa memesan pizza kalau kelaparan. Aku sudah meninggalkan uangnya di atas meja.’
Clay terpaku. Matanya menatap tulisan tangan ibunya yang rapi. “Apa mereka masih di rumah sakit?” gumamnya pelan.
“Mungkin saja. Masalahnya, apa kau tahu Bibimu dirawat di rumah sakit mana?” tanya Britney hati-hati.
“Aku tahu,” jawab Clay sambil menatap lurus ke dinding, seolah menembus waktu. “Rumah sakit di pusat kota. Itu cukup jauh.”
Britney menatapnya serius. “Kalau begitu, ayo kita ke sana.”
“Iya,” jawab Clay cepat, lalu menambahkan, “Tapi setelah kita pergi ke rumahmu dulu.”
“Baiklah.” Britney mengangguk mantap. Meski lelah, ada tekad di matanya.
“Tunggulah dulu. Aku ingin mengambil beberapa barang,” ujar Clay kemudian, sebelum beranjak menaiki tangga menuju lantai dua. Langkahnya berat tapi tegas, seolah setiap anak tangga membawa beban harapan.
Britney memanfaatkan waktu itu untuk mengisi perutnya. Ia berjalan ke dapur lagi dan membuka kulkas. Di dalamnya, meski sebagian bahan makanan sudah membusuk, ada satu wadah lasagna yang masih tertutup rapat. Britney mengambilnya dan memasukkannya ke microwave. Sementara makanan itu dipanaskan, ia menemukan sebotol cola di lemari pendingin.
Beberapa menit kemudian, aroma lasagna hangat mengisi udara. Perut Britney langsung bereaksi. Ia mengambil piring dan duduk di meja makan. Saat pertama kali suapan masuk ke mulutnya, ia hampir meneteskan air mata, karena baru sadar, mungkin ini bisa jadi makanan “normal” terakhir yang akan ia makan dalam hidupnya.
Tak lama, Clay turun membawa ransel. Wajahnya sendu. Di tangannya ada foto keluarga dan beberapa kaleng makanan. Ia duduk di hadapan Britney tanpa berkata apa-apa.
“Kau mau?” tanya Britney sambil menawarkan lasagna.
Clay menggeleng. “Tidak.”
Suasana tiba-tiba terasa berat. Britney menatap Clay yang menunduk. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Jangan merasa pesimis lebih dulu. Yakinlah kalau keluargamu selamat. Kalau itu benar, mereka pasti sekarang sedang menunggumu.”
Clay mendongak, menatap Britney dengan mata yang lelah. “Bukan begitu,” katanya lirih. “Apa kau tidak merasa aneh? Sejak kita dari sekolah, kita tidak pernah sekali pun melihat orang lain yang masih hidup selain kita.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan keheningan panjang. Britney terdiam. Ujung jarinya bergetar di atas meja. Di luar, angin bertiup pelan, membawa aroma debu dan kematian. Untuk sesaat, keduanya tidak berbicara apa pun. Hanya suara detik jam dinding dan gelegar samar dari kejauhan yang menemani mereka.
Clay menatap jendela yang pecah sebagian, memperhatikan matahari yang tenggelam perlahan di balik reruntuhan kota. Dunia mereka kini tidak sama lagi. Tak ada polisi, tak ada guru, tak ada teman. Hanya mereka berdua yang masih berjuang di tengah akhir dunia.
Dan di tengah kesunyian itu, di rumah yang dulu penuh kenangan hangat, mereka berdua hanya bisa duduk berhadapan, menatap kegelapan yang semakin pekat, bertanya-tanya, apakah masih ada manusia lain yang tersisa di luar sana?
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰