Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama Dingin
Langit malam menggantung tanpa bintang. Rumah keluarga Elvaro sunyi seperti kuburan, hanya suara angin dan denting jam dinding tua yang sesekali terdengar. Setiap detiknya terasa seperti ketukan pelan di dada, mengingatkan mereka bahwa waktu berjalan tapi luka belum sembuh.
Di dalam kamar pengantin yang luas dan mewah, dua manusia duduk dalam diam. Tak ada tawa. Tak ada percakapan ringan seperti sepasang suami istri yang baru saja sah. Hanya dingin. Hanya canggung. Hanya bayang-bayang masa lalu yang merayap di dinding kamar.
Xandrian duduk di sisi jendela. Kemeja putih yang dikenakannya terbuka dua kancing atas, memperlihatkan sedikit dada bidangnya. Tapi tak ada kesan menggoda dari sosok itu malam ini. Ia tampak letih. Mata tajamnya menatap kosong ke luar jendela, ke arah taman yang diterangi lampu temaram. Gelas kristal di tangannya hanya setengah terisi bourbon, namun ia belum menyesapnya lagi sejak sepuluh menit lalu.
Di sisi lain ruangan, Nadiara duduk di ujung ranjang. Diam. Gaun tidur berwarna krem yang menempel di tubuhnya dipilihkan oleh pelayan, ringan dan tipis. Tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Udara di kamar ini seolah membeku. Seperti ada sesuatu yang tertahan. Meledak, tapi tak pecah.
"Aku bisa tidur di sofa kalau kamu tak nyaman," kata Xandrian pelan, akhirnya memecah kesunyian. Suaranya serak, nyaris berbisik, tapi terdengar jelas.
Nadiara tidak menoleh. Ia hanya menggeleng, pelan namun tegas. “Aku tak ingin berhutang apa pun padamu,” jawabnya datar.
Xandrian mengalihkan pandangan, menatapnya. Ada sorot terluka yang singkat melintas di matanya. Tapi segera ia kembali seperti semuladingin, tak terbaca.
“Aku tidak menginginkan tubuhmu, Nadiara. Setidaknya… bukan malam ini.”
Nadiara akhirnya menoleh. Mata mereka bertemu. Ada kemarahan samar di wajahnya, tapi lebih banyak luka.
“Bukan malam ini?” katanya. “Tapi akan ada malam berikutnya? Begitu maksudmu”
Xandrian tidak menjawab. Ia hanya meneguk bourbonnya, lalu meletakkan gelas di meja kaca dengan suara pelan yang justru terdengar mengganggu keheningan. Hening kembali mengisi ruangan, lebih menyesakkan dari sebelumnya.
Beberapa menit kemudian, Nadiara bangkit. Ia berjalan ke sisi ranjang, menarik selimut dengan tangan gemetar lalu berbaring membelakangi Xandrian. Bahunya naik-turun menahan napas yang berat. Ia terlihat kuat, tapi suara yang keluar dari bibirnya retak, nyaris seperti doa yang dikutuk
“Kalau memang harus terjadi aku harap kamu tak membuatnya menyakitkan.”
Xandrian berdiri perlahan. Suara lantai kayu berderit samar di bawah pijakannya. Ia mendekat. Tapi bukan untuk berbaring. Ia hanya berdiri di sisi ranjang, menatap tubuh mungil Nadiara yang terbungkus selimut. Tubuh itu menggigil, bukan karena dingin tapi karena takut.
Ia tidak menyentuhnya.
“Kamu pikir aku pria macam apa?” tanyanya, datar namun lirih.
“Pria yang menikahi adik tirinya demi warisan,” jawab Nadiara tajam, tanpa menoleh.
Ada jeda. Panjang. Sangat panjang.
“Dan kamu wanita yang menandatangani pernikahan demi amanah ayahmu,” balas Xandrian. Suaranya tidak menyindir. Tidak menyakiti. Hanya mencerminkan kenyataan.
“Kita berdua sama buruknya, Nad.”
Kemudian, ia perlahan duduk di tepi ranjang. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup dekat untuk melihat bagaimana tubuh Nadiara mencoba menahan isak yang tak mau keluar.
Ia menghela napas pelan. Tangannya menarik selimut itu sedikit lebih naik, menutupi bahu wanita yang pernah ia tolak bertahun lalu wanita yang sekarang menjadi istrinya, tanpa ia tahu bagaimana cara memperlakukannya.
Kemudian, tanpa menyentuh kulitnya, tanpa mencoba mencium, ia hanya berbisik
“Istirahatlah. Malam ini tak akan ada yang menyakitkan. Kecuali kenangan.”
Ia berdiri. Pelan-pelan. Lalu melangkah pergi.
Pintu kamar tertutup pelan.
Nadiara menangis diam-diam di bawah selimut. Tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir perlahan ke bantal satin. Ia tak tahu kenapa hatinya justru lebih sakit oleh kelembutan lelaki itu, daripada jika ia dipaksa. Ia berharap ia bisa membenci Xandrian sepenuhnya. Tapi kenyataannya hatinya mengkhianatinya.
Dan di balik pintu yang tertutup, Xandrian berdiri lama. Menatap gagang pintu seperti menatap dosa sendiri. Ia tak tahu kenapa ia begitu takut untuk masuk ke ranjang itu. Bukan karena nafsu yang ditahan. Tapi karena rasa bersalah yang tak bisa ditebus.
Ia memejamkan mata. Di luar, hujan mulai turun. Tetesan air membasahi kaca jendela.
Malam pertama itu berakhir tanpa sentuhan. Tapi bukan berarti tanpa luka.
Dan di sisi lain rumah, di ruang baca pribadi yang tertutup rapat, Tante Mirana membuka kembali kotak tua yang berisi surat, dokumen, dan... rahasia masa lalu.
“Selamat datang di rumah Elvaro, Nadiara,” gumamnya pelan, sinis.
“Semoga kamu kuat. Karena malam ini hanyalah permulaan.”