"Cinta bukan hanya tentang rindu dan sentuhan. Tapi juga tentang luka yang diwariskan, dan rahasia yang dikuburkan."
Kael Julian Dreyson.
Satu pria, dua identitas.
Ia datang ke dalam hidup Elika Pierce bukan untuk mencintai ... tapi untuk menghancurkan.
Namun siapa sangka, justru ia sendiri yang hancur—oleh gadis yang berhasil membuatnya kehilangan kendali.
Elika hanya punya dua pilihan :
🌹 Menikmati rasa sakit yang manis
atau
🌑 Tersiksa dalam rindu yang tak kunjung padam.
“Kau berhasil membuatku kehilangan kendali, Mr Dreyson.” — Elika Pierce
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bicara Saja Dengan Tubuhmu
...❤︎...
..."Saat bibir tak bisa menjelaskan luka, tubuh menjadi satu-satunya bahasa cinta yang tersisa."...
...❤︎...
"Sial!" Conner mengumpat dengan penuh kekesalan. Ia sudah tak peduli dengan banyaknya mata yang sedang memperhatikan dia saat ini di lobi PG Auto Corp.
Emma menarik suaminya untuk keluar dari gedung itu. Kemudian, ia bergegas menghubungi Elika.
"Ma." Suara Elika terdengar di balik punggung Emma sebelum wanita itu menghubunginya.
Emma dan Conner menoleh ke belakang.
"Kau sudah tahu?" tanya Conner tiba-tiba pada anaknya.
Elika menatap Emma dengan tatapan tak mengerti. Namun, sesaat kemudian ia menangkap apa maksud pertanyaan ayahnya itu. Dan ... ia mengangguk pelan.
"Bajingan tengik! Sampah! Sudah meniduri anakku, menarik saham dari Jams Corp tak lama setelah memberikanku pinjam—" Conner terdiam. Ia menatap Elika dengan seksama.
Kemudian, Conner melangkah maju, memegang kedua bahu anak gadisnya. "Ternyata, kau targetnya."
"Pa," Emma memegang lengan suaminya. "Aku tahu kita terancam bangkrut, tapi Elika tak ada hubungannya dengan permasalahan ini."
Conner tak mengindahkan ucapan istrinya. Ia menatap Elika yang kebingungan.
"Terancam bangkrut?" tanya Elika penasaran.
"Bantu Papa, ya?" Conner memohon pada anaknya. "Papa yakin, hanya kamu yang bisa membuat bajingan itu berubah pikiran."
...❤︎...
Sore hari, saat jam pulang kerja, Elika duduk di salah satu bangku yang ada di jalan setapak di depan gedung PG Auto Corp. Matanya tak lepas dari lobi. Menanti-nanti sosok yang tak lain adalah Kael.
Gadis itu tahu, saat ini, harga dirinya sudah hilang. Tapi entah kenapa, jauh di lubuk hatinya, ia yakin ... bahwa Kael, sedang menyembunyikan sesuatu. Kepingan puzzle yang sedikit demi sedikit mulai ia satukan, menunjukkan adanya keterkaitan antara keluarganya dengan kehidupan Kael.
Mata yang bengkak karena menangis itu langsung terfokus pada satu tubuh. Pria itu terlihat di ambang lobi. Ia berlari, mendekat ke arah Kael tanpa peduli ada beberapa bodyguard di sisi Kael.
"Kael ... kita harus bicara."
Kael terpana saat melihat wajah Elika. Wajah yang sendu dan mata yang bengkak. Semua itu karena dia. Jika ia tak berkata kasar tadi pagi, apa gadis itu tak akan menangis? Tapi, jika ia tak menciptakan jarak, akan semakin sulit baginya mengontrol diri. Dan ... gadis itu akan lebih terluka karenanya.
Kael tak mengindahkan ucapan Elika. Ia malah pergi ke kursi kemudi dan menyuruh supirnya keluar dari mobil.
Supir tersebut mengerti. Majikannya sedang ingin membawa mobilnya sendiri.
Elika membuntuti Kael. Bahkan sampai pria itu masuk ke dalam mobil dan menurunkan kaca mobil.
"Kael, ku mohon. Aku ingin bicara seben—"
"Naiklah. Aku tak suka menunggu," potong Kael saat menatap wajah Elika.
Wajah memelas Elika berubah seketika. Dari ekspresi sendu, berubah menjadi cerah. Elika langsung berlari masuk ke dalam mobil.
Logan hanya menatap tindak-tanduk dua orang itu. Yang satu menampakkan perasaannya dengan jujur, yang satu menyimpan perasaannya dengan sekuat hati. Ia tak ingin melarang, hanya berharap yang terbaik bagi dua orang itu.
Sesaat kemudian, mobil melaju, meninggalkan lobi gedung megah itu.
Selama dalam perjalanan. Elika tak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap jalanan sekitar. Jalanan yang asing, di kota yang pertama kali ia datangi.
Kael sadar dengan kelakuan gadis itu melalui sudut matanya. Tapi ia berpura-pura tak tahu dan bertingkah seolah ia tak peduli. Padahal, hati kecilnya sedikit terobati, karena rasa rindu yang sudah sekian lama ia pendam sejak meninggalkan Elika waktu itu. Tanpa sadar, senyum muncul di bibirnya yang indah.
Sedan mewah itu berhenti di pekarangan rumah megah yang di tengah pekarangannya ada air mancur. Lalu, dua orang pria dengan jas hitam terlihat menghampiri mobil dan membukakan pintu untuk Kael dan Elika.
Kael melangkah masuk ke dalam rumahnya. Namun, di ambang pintu, langkahnya berhenti. Ia menoleh ke belakang karena menyadari, bahwa Elika masih terpaku dan tak bergerak masuk mengikutinya.
"Kenapa? Mau pulang?" tanya Kael dingin.
Elika menggeleng. Ragu. Tapi tidak takut.
"Kalau begitu, masuk," perintah Kael sambil kembali berbalik badan.
"Tapi—"
"Aku berubah pikiran. Kau pulang sa—"
"A—aku masuk!" potong Elika tak ingin kehilangan kesempatan.
Kael tersenyum saat mendengarkan derap langkah gadis itu sedang berlari ke arahnya. "That's my girl."
Saat melangkah masuk ke dalam kediaman Greyson, mata Elika berkeliling menatap interior yang modern dan berkelas. Meskipun rumahnya termasuk mewah, tapi kalah jauh jika dibandingkan dengan rumah yang dimiliki oleh Kael. Ia semakin sadar, bahwa ia tak bisa memiliki pria itu sesuai ekspetasinya.
"Kau benar, Kael. Kita sangat bertolak belakang," batin Elika pilu.
Elika menabrak punggung kekar Kael. Pasalnya pria itu tiba-tiba berhenti tepat di depannya.
"Es tut mir Leid," ucap Elika terkejut. (Es tut mir Leid \= maaf)
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Kael tanpa menjawab permohonan maaf gadis kecil itu.
Elika terdiam sesaat. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Sebenarnya, ia pun tak tahu apa yang ingin ia bicarakan langsung dengan Kael? Bertanya tentang bisnis antara pria itu dengan ayahnya? Menanyakan apa maksud identitas palsunya? Atau ... dia hanya rindu dengan pria itu?
Kael berbalik badan. Ia melangkah menaiki tangga untuk menuju ke lantai 2. "Sepertinya kau tak punya sesuatu untuk dibicarakan."
"Kael," Elika menapaki tangga, mengejar Kael tanpa memikirkan apa-apa. "Tunggu."
Kael terus melangkah hingga tiba di kamar utama kediaman Greyson. Saat di kamar, gadis itu pun ikut masuk ke dalam.
"Kau tak punya rasa takut ya," gumam Kael sambil melepaskan jasnya. Kemudian ia melepaskan kancing kemejanya satu per satu.
Elika menunduk saat menyadari bahwa Kael sedang mendekatinya sambil membuka kemeja. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Tubuhnya mendadak kaku. Kakinya seolah terpaku dan tak bisa bergerak.
Kael mendekatkan bibirnya ke telinga Elika. "Jadi, apa yang ingin kau katakan?"
Kael kembali berdiri dengan tegak, menatap Elika yang sedang berpikir untuk merangkai kata. Entah kenapa, hatinya merasa girang saat menggoda gadis kecilnya itu.
Lima detik berlalu. Kael tak tahan untuk tak menggoda gadis itu lagi. Ia memegang dagu Elika dan menyentuh bibir gadis itu menggunakan ibu jari. Ia mengangkat wajah Elika agar mendongak ke arahnya.
"Apa ... bibir ini tak bisa bicara? Kalau begitu ...," Kael mendekatkan wajahnya ke arah Elika. "Bicara saja dengan tubuhmu."
...❤︎❤︎❤︎...
...To be continued .......
But love can also be a disaster due to the hatred and resentment that lingers....
Lagian ku merasa hidup lu ga pantas utk bersanding dengan Kael bukan..
ditambah finansial orangtua lu udh ga menunjang utk hidup hadon, pergi jauh-jauh..
support dr anak satu-satunya akan lebih dibutuhkan untuk orangtuamu..
Dan tinggalkan Kael dengan seribu penyesalan terdalam karena terlalu sibuk dengan mendendam.
Indeed Love and hate have equal emotional intensity, but opposite directions, and one can swiftly turn into the other with betrayal or heartbreak