Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTUNANGAN BATAL
Malam itu, di kamar hotel bernomor 308, Raisa masih terbaring di tempat tidur dengan wajah puas. Ia memainkan rambutnya sambil menatap Roni yang duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponselnya yang kosong dari pesan masuk.
“Kamu masih mikirin Febi?” suara Raisa terdengar malas.
Ronimendesah. “Aku nggak nyangka kita ketahuan Sa.”
Raisatertawa kecil, tanpa rasa bersalah. “Yah, cepat atau lambat, dia pasti tahu juga. Lagian kamu yang selalu bilang dia membosankan, terlalu polos, nggak nyambung sama kamu.”
Ronimenoleh dengan wajah tak pasti. “Tapi... mau bagaimana pun dia tunanganku.”
Raisamengangkat bahu. “Ck bukan urusan aku. Kamu yang bikin pilihan.” Ia lalu merebahkan diri kembali. “Kalo kamu nyesel, itu juga bukan salah aku.”
Ronimenatap langit-langit kamar. Hatinya kacau. Antara rasa bersalah, takut kehilangan, dan kebodohan yang baru saja ia lakukan. Tapi segalanya sudah terlambat.
**
Pagi harinya, rumah Febi dipenuhi keheningan yang berat. Febi duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Wajahnya masih sembab, namun tekadnya bulat. Dengan suara lirih tapi mantap, ia menceritakan kejadian semalam, tentang Roni, tentang Raisa dan pengkhianatan yang ia saksikan sendiri.
Ayah Febi terdiam lama, rahangnya mengeras. Ibu Febi menangis pelan sambil memegangi dada. Vania berdiri, matanya memerah, marah membara.
“Astaga, Kak... Astaga! Mereka berdua, ya Allah, tega banget!” Vania memekik. “Roni brengsek! Raisa juga! Aku sumpahin hidup mereka nggak bakal tenang! Biar karma cepet dateng!”
“Vania!” Ayah Febi menegur, tapi suaranya serak.
“Biarin, Yah! Aku nggak tahan! Kak Febi diperlakukan kayak gini?! Mereka main belakang di hotel?! Sahabat dan tunangan sendiri?! HINA!”
Ibu Febi hanya bisa menangis dan menggenggam tangan putrinya. “Nak, kamu kuat? Ibu nggak tahu harus gimana, tapi kamu nggak sendirian...Kami ada disini untuk kamu”
Febimengangguk perlahan. “Aku udah mutusin, Bu. Aku nggak mau lanjut lagi sama dia. Cukup sampai di sini.”
**
Di kantor PT FORTUNE, Febi duduk termenung di depan komputernya. Air matanya sudah kering, tapi rasa sesaknya masih tinggal. Wina mendekat sambil membawa dua gelas kopi.
“Hey,” sapanya lembut. “Ini, kopi spesial buat penyintas patah hati.”
Febitersenyum lemah. “Thanks, Win.”
Di kantin pun, saat jam makan siang, Febi hanya mengaduk makanannya tanpa selera. Wina terus berusaha mengajak ngobrol, melempar lelucon tapi Febi hanya membalas seadanya.
“Kalau kamu terus kayak gini, aku bisa-bisa ngerasa gagal jadi teman kantor paling gokil, lho,” goda Wina.
Febitertawa kecil, tapi matanya tetap murung.
Saat kembali bekerja, langkah Febi yang melamun tak sengaja menabrak seseorang di lorong. Benda di tangan orang itu hampir terjatuh.
“Maaf, maaf...” Febi buru-buru menunduk.
“Jalan hati-hati, jangan melamun” tegur suara berat itu.
Febimenatap ke atas dan langsung mengenali pria yang ia tabrak. Arkan. CEO tempatnya bekerja. Lagi.
“Sa-saya minta maaf, Pak.”
Arkanmengangguk singkat, tapi matanya menatap Febi lekat-lekat. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, meski nadanya tetap tenang.
Febiterdiam. “Saya... akan baik-baik saja.”
Arkanmenatapnya sebentar sebelum kembali berjalan. Tapi ia tahu, ekspresi itu, mata Febi yang berkabut luka masih sama seperti semalam.
**
Malam harinya, rumah Febi kembali diterpa badai.
Ronidatang.
Vaniayang membuka pintu langsung membelalak. “KAMU?! MASIH PUNYA MUKA DATANG KE SINI?!”
“Vania, tolong... Aku cuma mau bicara sama Febi.” ujar Roni pelan.
“BICARA? Setelah kamu tidur sama si Raisa di hotel?! KAMU GA TAU MALU YA?!” Vania hampir mendorong Roni keluar dari halaman rumah.
Keributan itu menarik perhatian ayah dan ibu Febi.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya ayahnya dengan nada tegas.
Ronimenunduk. “Om, Tante... saya minta maaf. Saya mau bicara sama Febi. Tolong beri saya kesempatan.”
Ayah Febi mendesah berat. “Tunggu di luar. Biar Febi yang tentukan.”
Beberapa menit kemudian, Febi keluar. Ia berdiri di hadapan Roni, matanya sudah tak seteduh dulu, sekarang hanya tersisa dingin dan kecewa.
“Aku cuma mau minta maaf, Feb,” Roni berkata lirih. “Aku khilaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu.”
“Kamu nggak bermaksud?” suara Febi pelan, tapi tajam. “Kamu selingkuh. Di hotel. Sama sahabatku sendiri. Dan kamu sebut itu khilaf?”
Ronimencoba meraih tangan Febi, tapi ditampik.
“Feb, aku nyesel. Tapi aku nggak bisa kehilangan kamu. Kita sudah tunangan. Nikah kita tinggal beberapa bulan lagi. Masa kamu mau nyerah karena satu kesalahan?”
“Satu?” Mata Febi berkaca-kaca. “Kamu nggak cuma mengkhianati aku, Ron. Kamu hancurin semuanya. Kepercayaan, hubungan, harga diriku.”
“Aku janji akan berubah.”
“Terlambat,” Febi menggeleng. “Aku nggak mau lanjut. Pertunangan ini selesai.”
Ronitampak panik. “Jangan gitu, Feb! Aku serius mau nikahin kamu. Aku sayang kamu!”
Febimenatapnya dengan getir. “Tapi aku nggak percaya lagi.”
“Aku nggak bisa terima Feb!” Roni mendekat, hampir memaksa.
Namun ayah Febi berdiri di depan putrinya, wajahnya tegas.
“Cukup. Kalau Febi bilang selesai, maka selesai. Pergi sekarang, sebelum saya benar-benar marah.”
Ronimasih berdiri di sana, bingung, tak percaya. Tapi tak ada lagi yang memihaknya. Ia pun akhirnya melangkah pergi dengan kepala tertunduk.
Febiberdiri mematung dan ketika pintu tertutup kembali, air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini, ada sedikit kelegaan di dalam hatinya. Ia tahu, ia sudah membuat keputusan yang tepat.
Ia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Ibu memeluknya dengan erat, menahan tangis. Ayah hanya mengangguk pelan, memberikan restu tanpa kata. Vania masih berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh amarah yang belum sepenuhnya reda.
“Maaf ya, Kak. Tadi aku nggak bisa tahan diri.” gumam Vania.
Febimenggeleng sambil tersenyum tipis. “Aku malah bersyukur kamu ada hadapin dia dek.”
Malam itu mereka duduk berempat di ruang tengah dalam keheningan yang penuh makna. Tak ada televisi menyala, tak ada suara musik. Hanya bunyi detik jam dinding dan desah napas yang berat. Namun di balik keheningan itu, Febi merasa tenang untuk pertama kalinya setelah semalam.
Di kamarnya, Febi memandangi cincin pertunangannya yang masih tergeletak di meja rias. Ia mengambilnya perlahan, menatap kilau dinginnya. Lalu tanpa ragu, ia memasukkan cincin itu ke dalam kotak kecil, menutupnya rapat dan menyimpannya di dalam laci terkunci.
“Selamat tinggal,” bisiknya lirih.
Hatinya masih sakit, masih ada bekas luka yang belum kering. Tapi ia tahu, luka ini akan sembuh karena ia memilih menyembuhkan dirinya sendiri, bukan menunggu orang lain memperbaiki kerusakan yang mereka buat.
Ia menatap langit malam dari balik jendela. Bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya. Mungkin karena ia telah melepaskan sesuatu yang selama ini membebani langkahnya. Dan besok, ia akan kembali bekerja... melanjutkan hidup... dan perlahan menyusun ulang potongan dirinya yang sempat hancur.