Jodoh Setelah Diselingkuhi

Siang hari dengan cuaca yang cukup panas telah mewakili isi hati Anggita yang hampir meledak. Impian pernikahannya yang sangat tidak sesuai, kini terjadi sekali untuk seumur hidup. Berbagai umpatan jelas ada, tapi itu hanya ada di dalam benaknya saja.

Setelah bunyi 'SAH' dari para saksi dan beberapa orang yang diundang, kini Gita dan Widi harus bersalaman dengan para tamu. Padahal pernikahan hasil perjodohan itu dilakukan dengan amat sederhana, bahkan tamu rata-rata adalah teman kantor ayahnya.

Shinta tidak terlihat sejak tadi, Anggita pun mendengkus kesal. Cukup terpaksa ia harus tetap full senyum di hadapan para tamu. Sampai ada seorang karyawati dari kantor ayahnya yang mengucapkan kata selamat untuk dirinya.

"Hai, Anggita. Ya ampun, bahagia selalu ya. Semoga langgeng pernikahannya, jangan kelamaan juga punya momongannya ya," ucap si karyawati tersebut.

Anggita mengangguk membalas ucapan itu dengan senyuman manis. "Ah, iya, Tante. Aamiin, aamiin ... semoga gak lama bisa pisah dan yah bakal punya momongan kecebong. Oke, makasih yaa udah dateng ke acara ini. Hati-hati pulangnya ya, semoga gak masuk rumah sakit jiwa."

Widi hanya mengusap pangkal hidungnya. Sementara sang tamu itu memicingkan matanya heran.

"Udah kan tamu nya? Gue males banget nikah berasa gak nikah," cerocos Anggita malas.

Baru ingin kabur, bukan dicegat oleh Widi melainkan oleh ayahnya sendiri. Helaan napas lelah itu terpaksa dikeluarkan dengan kasar.

"Sekarang ayah minta kamu serius menjadi keluarga bersama Widi. Ayah gak mau tahu, sekarang kamu harus mandiri dan dewasa menjadi seorang istri," tutur Anggara serius.

Sang anak malah tersenyum remeh. "Nikah hasil perjodohan ini harus banget belajar jadi istri? Ngapain aja? Orang aku pacaran sama Arya aja Ayah gak kasih restu."

Anggara menatap putrinya merasa tidak terima.

"Ya karena Arya itu hanya cinta dengan uang kamu, Anggita."

"Lagi-lagi soal Arya? Emangnya Ayah gak sadar? Ayah nyewa dia ini buat nikah sama aku juga ada bayarannya kan? Lalu, apa bedanya? Sama aja lah. Cuma bedanya Ayah suka sama Widi, sedangkan aku sama Mas Arya."

Pria itu tak mampu membalas ucapan anaknya. Ia hanya berharap Anggita bisa mengerti akan maksudnya. Tetapi Anggita justru menarik tangan Widi ke suatu taman belakang rumahnya.

Masih memakai baju pengantin, mereka berdua duduk dengan ekspresi dingin satu sama lain.

"Gue kira lo tuh cowok yang biasa tahu gak sih. Seseorang yang sekadar nganterin gue semalem, itu aja. Tapi kenyataannya? Lo masuk dalam kehidupan gue dan ngerusak hidup gue begitu cepat. Dan sampai lo mungkin gak tahu kalau gue cuma cinta sama Arya," ungkap Anggita terang-terangan.

Setelah mendengarkan kemudian Widi membuka mulutnya perlahan. Tatapannya lurus tanpa menatap ataupun melirik Anggita. "Apapun itu rasa berat di antara saya dengan kamu, itu sudah resiko masing-masing. Kalau untuk kamu, mungkin seperti itu masalahnya. Tapi untuk saya, semua akan saya lakukan demi kehidupan ibu saya menjadi jauh lebih baik," sahutnya dingin.

Anggita terkekeh. Lalu kepalanya menoleh, tubuhnya pun sedikit serong menatap sosok Widi yang tetap memandang lurus.

"Dan itu sama aja ngerusak hidup gue. Sama juga artinya lo lebih mementingkan urusan hidup lo sendiri."

"Terserah. Lagipula kita ini sudah terbentuk menjadi satu keluarga. Itu artinya kalau hidup kamu rusak, maka hidupku juga akan rusak."

"Alah, basi!"

Widi tersenyum tipis. Napasnya tenang. Namun, pandangannya kosong.

"Pernikahan itu sakral. Kalau kamu masih ingin main-main, maka bisa dikatakan kamu seperti anak masih kecil. Karena mereka hanya bermain praktik menikah tanpa adanya keseriusan."

"Udah lah, ceramah lo itu gak ngaruh buat gue. Jadi, mending lo diem aja dan jangan tinggal di rumah gue."

"Oke, kalau kamu mau seperti itu. Hubungan dengan orang seperti kamu ini ternyata cukup mudah. Tenang saja, kita akan masing-masing dan asing jika tidak ada ayahmu."

Dengan senyuman tipis Anggita diam-diam senang terhadap keputusannya Widi.

  ••••••

Pada lokasi lain ada sebuah tempat dimana Ridho dan Widi berkumpul. Sore hari yang hampir gelap, beberapa orang tertawa di sana.

Berbeda dengan Widi yang terus memikirkan bagaimana mencari keberadaan ayahnya. Meskipun Anggara tentu akan membantunya, akan tetapi dirinya tidak bisa hanya diam menunggu begitu saja.

Terlebih lagi saat melihat ibunya setiap kali ia berangkat bekerja selalu terlihat murung. Seakan merasa kesepian di rumah sederhananya.

Pikirannya yang terlalu fokus pada urusan keluarganya membuat baru sadar jika teman-temannya masih seru berbincang.

Awalnya ia turut menyimak dan sesekali tersenyum untuk menanggapi temannya.

Namun, bola matanya tak sengaja menatap ke arah sudut tembok markas dekat papan tulis kecil.

Detak jantungnya seolah berhenti beberapa detik. Kemudian Widi menatap satu per satu temannya yang tampak tidak merasa seperti dirinya.

Tidak mungkin berbicara dengan berucap sekalipun lirih, Widi diam-diam berkata di dalam hatinya.

"Kenapa ada nama dia diurutan itu? Apa maksudnya? Aku jadi semakin ingin tahu tentang kamu, inisial 'R'."