"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."
Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.
Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.
Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Masa Lalu
Ketika cahaya biru dari lentera itu menelannya, Bell merasakan dirinya jatuh ke dalam kehampaan tanpa dasar. Udara, tanah, dan rasa dingin dari Umbra Realm menghilang—digantikan oleh suara lembut seorang wanita yang memanggilnya.
> “Bell… bangunlah.”
Matanya terbuka, dan ia mendapati dirinya berdiri di aula megah kerajaan Evenard. Karpet merah terhampar di bawah kakinya, pilar marmer menjulang, dan cahaya matahari masuk melalui jendela kaca patri. Tidak ada kehancuran, tidak ada darah—hanya kemegahan masa lalu.
Bell mengangkat tangannya… kulitnya masih utuh, hangat, dan bernapas. Bukan tulang kering, bukan tubuh dingin.
Dia kembali menjadi manusia.
---
Dari ujung aula, seorang wanita muda berjalan mendekat. Gaun putihnya berkilau, rambutnya panjang sebahu berwarna perak. Senyumnya lembut, namun di matanya tersimpan kesedihan yang mendalam.
> “Kau pulang… pangeranku.”
Bell mengenalnya. Lyanna, tunangannya—yang ia lihat tewas terbakar saat invasi iblis. Hatanya terasa berat, seolah ada sesuatu yang berusaha menariknya untuk mempercayai semua ini nyata.
> “Tidak… ini ilusi,” gumamnya pelan.
“Kau sudah… mati.”
Lyanna tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Bell, menuntunnya ke balkon. Dari sana, ia melihat kerajaan Evenard berdiri megah, langit biru membentang. Tidak ada iblis, tidak ada neraka. Semuanya sempurna.
> “Kau bisa tinggal di sini, Bell,” bisiknya. “Lupakan perburuan itu. Lupakan kutukanmu. Lupakan… kematian.”
---
Namun saat Bell menatap matanya, bayangan hitam merambat dari ujung gaunnya, merayap ke lantai, dan perlahan membentuk cakar. Wajah Lyanna mulai retak seperti porselen, dan dari celahnya mengalir darah hitam pekat.
> “Kau… bukan Lyanna,” suara Bell berubah dingin.
“Kau hanyalah jelmaan dari iblis yang ingin mengikatku.”
Bayangan itu tertawa—suara yang dalam dan bergema. Istana di sekeliling mereka mulai runtuh, langit menjadi merah kelam, dan sosok Lyanna berubah menjadi makhluk iblis bersayap dengan mata merah membara.
---
> “Jika kau menolak ilusi, maka terimalah kenyataan!” teriak makhluk itu sambil menyerang.
Bell menarik pedangnya—senjata yang tidak ada di tangannya beberapa detik lalu—dan menebas. Cahaya ungu dari matanya menyala, membelah kegelapan. Tubuh iblis itu terpisah menjadi kabut hitam yang menghilang.
Sekejap, Bell kembali berdiri di depan sosok berjubah abu-abu di Umbra Realm. Lentera itu kini redup.
Sosok itu mengangguk pelan.
> “Kemanusiaanmu… memang telah membeku. Tapi kau masih punya kehendak untuk memilih jalanmu sendiri. Masuklah, Pewaris Kutukan.”
Gerbang menuju Menara Umbra terbuka perlahan, memancarkan cahaya redup dari dalam.
Menara Umbra menjulang setinggi awan, puncaknya hilang ditelan kabut gelap. Batu-batu hitamnya memantulkan cahaya samar bulan merah yang tergantung di langit seperti mata iblis yang mengintai. Setiap dindingnya dipenuhi ukiran kuno—bahasa yang bahkan Bell tak lagi ingat, meskipun sebagian berasal dari masa kerajaan Evenard.
Angin dingin berputar di sekitar mereka, membawa bisikan yang terdengar seperti suara orang mati. Bell berdiri di depan pintu gerbang, diapit oleh dua rekan perjalanannya: Elvenra, peri penjaga kerajaan rahasia, dan Silvianne, penyihir kecil bertubuh mungil namun matanya menyimpan kebijaksanaan ratusan tahun.
---
> Elvenra menatap gerbang tinggi itu. “Aku bisa merasakan… aliran waktu di dalamnya tidak berjalan seperti dunia luar.”
Silvianne menambahkan, “Setiap lantai menara ini adalah ruang yang berdiri sendiri. Bisa jadi satu menit di sini berarti seratus tahun di dalam… atau sebaliknya.”
Bell hanya diam. Ia sudah terbiasa dengan tempat yang menentang logika. Namun hatinya tahu—setiap langkah di dalam Menara Umbra akan semakin dekat pada fragmen ketiga… dan semakin dekat pada ujung jalan kutukannya.
---
Ketika pintu gerbang terbuka, cahaya biru lembut keluar, mengundang mereka masuk. Namun begitu kaki mereka melangkah melewati ambang, dunia berubah.
Lantai pertama bukanlah ruang batu sempit, melainkan padang gurun luas di bawah langit berwarna tembaga. Pasirnya bergerak seperti gelombang, dan di kejauhan berdiri obelisk hitam dengan lambang yang sama seperti di fragmen pertama.
> Silvianne mengernyit. “Jadi… lantai ini adalah ujiannya.”
Bell menjawab dingin, “Kalau ini ujian, maka kita harus memecahkannya secepat mungkin.”
---
Namun ketika mereka berjalan, suara-suara mulai terdengar di telinga Bell—suara para ksatria Evenard yang memanggilnya, suara ayahnya yang memerintahkannya kembali, bahkan suara Lyanna dari ilusi sebelumnya.
> Elvenra memperingatkan, “Menara ini membaca hatimu, Bell. Ia akan memanggil bagian terlemah dari dirimu… dan memakannya.”
Di tengah padang pasir, butiran pasir mulai berputar membentuk sosok-sosok manusia. Mereka adalah prajurit Evenard—namun wajahnya kosong, matanya kosong, dan tubuhnya bergerak seperti boneka.
Bell menarik pedangnya.
> “Kalau ini hanya bayangan… maka akan kupecahkan satu per satu.”
---
Pertempuran pun pecah. Pasir menyembur setiap kali pedang Bell menghantam, dan tubuh boneka-boneka itu hancur menjadi butiran yang tersapu angin. Namun semakin banyak ia menghancurkan, semakin banyak pula yang muncul—seakan menara ini ingin menguji bukan kekuatan fisiknya, tapi keteguhan jiwanya.
Di tengah kekacauan, obelisk hitam di kejauhan mulai bergetar. Dari puncaknya, cahaya ungu melesat ke langit, membentuk gerbang menuju lantai berikutnya.
Bell menatapnya dengan dingin.
> “Menara ini ingin menguji waktu dan tekad? Baiklah… kita lihat siapa yang lebih sabar.”