Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 — Entitas Nonfisik
SUASANA pagi di sekolah tampak ceria dan penuh semangat seperti biasa. Gerbang besar berwarna biru tua terbuka lebar—menyambut kehadiran para siswa yang kelihatan rapi, bersih dan wangi dalam seragam putih-abu-abu. Puluhan sepeda motor berjajar rapi di halaman parkir. Mobil para guru dan siswa memenuhi halaman depan.
Davin menaruh motor bebeknya di sudut yang kosong, lalu berjalan santai menuju kelasnya. Dia tadi membeli sebotol kopi instan untuk mengusir rasa kantuknya. Tak seorang pun tahu kalau dia tadi malam tidur hanya selama tiga jam gara-gara keasyikan meneliti Umbral. Tapi paling tidak, dia tidak terlambat.
Dia melihat Sasha, Tari dan Naya melambaikan tangan dari koridor atas. Dia hanya sekilas memandang ke arah mereka—dan mengangkat sebelah tangannya.
Seperti biasa Rayan muncul pada detik-detik terakhir sebelum satpam mengunci gerbang sekolah. Hampir setiap hari dia datang terlambat. Padahal dia sudah menyetel dua buah alarm. Lalu ditambah dengan dering telepon ibunya dari BSD untuk membangunkannya. Tapi suara berisik di sekitarnya tetap tak berhasil mengusik kenyamanan tidurnya. Setelah setengah jam “orkestra” alarm memenuhi ruang kamarnya, dia baru terjaga. Dia berlari ke kamar mandi sambil tak henti-hentinya bergumam, “Oh, shit!” Kadang dia tak sempat mandi. Apalagi sarapan, tidak perlu ditanya lagi.
Tapi kecuali doyan terlambat, Rayan termasuk salah satu content creator paling populer di sekolah. Wajah tampan dan pembawaannya yang supel juga membuat dia disukai banyak cewek. Terbukti Sasha pun sempat terpikat padanya. Meskipun sekarang kadarnya sudah berkurang, namun hal itu tetap dianggap sebagai prestasi bagi cowok mana pun di sekolah.
“Bro, visual efeknya keren banget!” celetuk seorang siswa, sambil setengah berlari di koridor.
“Bro, lo mau bikin video horor—atau aksi akrobat?” seru siswa lain.
Rayan hanya menyeringai masam. Dia sudah kebal dengan semua ejekan siswa di sekolah. Tapi setidaknya, mereka sudah menonton vlog-nya. Dan, faktanya, dalam beberapa jam viewers-nya sudah ribuan. Video horornya selalu ditunggu para siswa setiap Friday night. Bahkan guru-guru pun sampai geleng-geleng kepala karena aksi nekatnya.
Dari gedung utama, terdengar bunyi bel masuk yang nyaring. Para siswa bergegas masuk kelas masing-masing. Tapi Rayan tidak. Dia tetap melangkah tenang melintasi koridor yang perlahan menyepi. Sesekali di kanan-kirinya melintas siswa dengan langkah tergesa.
Dia baru sedikit mempercepat langkahnya ketika melihat sosok Susi di kejauhan. Hmm, kalau dia ngebut, dia lebih cepat dari Bu Guru cantik itu tiba di kelas. Tapi tidak. Dia seolah menyerah pada nasib.
“Alhamdulillah, gue hari ini telat cuma dua puluh tiga detik,” ujarnya dramatis sambil menunda langkah sejenak di depan kelas.
“Satu menit lebih, Bro!” celetuk seorang siswa.
“Betul. Tapi karena Bu Susi telat tiga puluh delapan detik, jadi gue cuma telat dua puluh tiga detik.”
“Rayan,” tegur Susi datar, “bisa kelas dimulai sekarang?”
“Tentu saja, Bu. Saya cuma ngerasa bangga karena saya lebih cepat ketimbang minggu lalu.”
“Nah, ini fact, Bro. Tapi video lo fake!”
Seisi kelas tertawa.
Ruang kelas hening ketika pelajaran Matematika dimulai. Hanya suara kapur yang sesekali berderit di papan tulis terdengar. Davin, Rayan dan Naya tampak memperhatikan pelajaran dengan tenang—setidaknya, terlihat begitu dari luar. Davin sibuk mencatat, tapi pikirannya berulang kali melayang ke selusin simbol yang memenuhi buku catatan rahasia ayahnya.
Rayan tampak mencatat santai, tapi di sela-sela coretan dia menulis memo kecil untuk memeriksa rekaman video lagi.
Naya memandang papan tulis, tapi garis-garis pada grafik fungsi kuadrat terlihat seperti lingkaran tak sempurna yang tergambar jelas di lantai kolam renang semalam.
Di kelas sebelah, suasana sama heningnya. Sasha duduk di bangku kedua dari depan, Tari di bangku dekat jendela, dan Elisa di sudut dekat pintu. Guru mereka, Johan, berdiri di depan papan tulis—menjelaskan deretan rumus panjang Fisika.
Tulisan-tulisan itu mengalir mulus, tapi suara Johan seperti gema yang memantul di kepala Tari—gema yang entah mengapa membuatnya ingat kembali pada desiran aneh yang semalam terus berdengung di telinganya.
Sasha berusaha fokus pada rumus-rumus Fisika. Tapi sesekali dia melirik ke arah Tari—dan bayangan rasa takut di kolam renang menggeser konsentrasinya.
Elisa terus menatap papan tulis, tapi pikirannya melayang ke suara-suara aneh yang terasa muncul dari semua penjuru kolam. Setiap kali Johan menggoreskan kapur di papan tulis, dia merasa pintu besi ruang pompa air tergambar di kepalanya.
--
Bel istirahat berdentang panjang. Para siswa menghambur keluar kelas. Tanpa tergesa Sasha menyimpan buku catatannya ke dalam tas.
“Teman-teman ke taman,” ujar Tari nyaris dengan nada sambil lalu. “Aku juga mau ke sana.”
Sasha menghela napas. Dia tahu bahwa Tari bukan mengajak. Tapi Tari sekedar memberi tahu.
“Aku tahu hidupku pasti nggak normal lagi sejak tadi malam,” gumamnya.
Tari menatapnya sebentar. “Kamu boleh nggak ikut, kalau nggak mau.”
“Tari,” desis Sasha tegas, “kalau kamu sekali lagi ngomong kayak gitu, kamu akan aku musuhin sampai tahun depan.”
Tari hanya tersenyum kecil. Ucapan Sasha seperti itu selalu terdengar menakutkan bagi Elisa. Tapi tidak bagi Tari. Dia melangkah duluan meninggalkan kelas. Sasha dan Elisa ikut beranjak ke taman sekolah.
Padahal Elisa sudah merasa lapar. Dia tadi nyaris tak bisa sarapan di rumah. Tapi sekarang dia justru harus melupakan kantin. Dia terpaksa mengambil apa saja yang ada di tas sahabatnya, tanpa peduli delikan gemas Sasha.
“Pengen ngomongin apa lagi kita?” tanya Elisa, sambil mengunyah biskuit yang diambilnya dari tas Sasha. “Gue nggak pengen lagi ikutan kalau pergi ke lokasi serem. Cukup sekali aja gue kayak pengen semaput.”
Sasha tersenyum kalem. “Harusnya kamu semaput tadi malam, biar lenganku nggak terus-terusan dipegangin.”
“Jujur aja, agenda lo makin nggak jelas,” ujar Elisa setengah berbisik, meskipun Tari cukup jauh di depan mereka. “Lo sebenarnya naksir siapa, sih?”
Sasha mendelik gemas. “Lis, pamali ngomong begituan di sekolah. Nanti kamu kualat.”
Elisa nyengir minta maaf. “Sori. Paling nggak, jangan Davin.”
“Why not?”
“Apa lo buta? Naya dan Tari juga naksir dia. Jangan-jangan mereka secara diam-diam udah jadi rival.”
Sasha melirik sahabatnya. “Are you sure?”
“Sha, kalau buat soal satu ini, gue ahlinya. Lebih peka dari lo.”
“Ssst, stop. Jangan di sekolah. Nanti kita lanjutin diskusinya di rumah, oke?”
--
--
Mereka duduk melingkar di taman. Taman biasanya hanya dipenuhi oleh siswa-siswi dari klub sains atau klub matematika. Mereka lebih suka membawa bekal dari rumah, dan menyantapnya di taman sambil berdiskusi. Kehadiran Davin dan kelima temannya cukup menarik perhatian di situ.
“Aku udah mempelajari tentang Umbral tadi malam,” ujar Davin sambil menghidupkan laptopnya.
“Dari buku rahasia Prof A,” gumam Rayan. “I knew it.”
“Apa yang kamu pelajarin?” tanya Sasha dengan rasa ingin tahu yang jujur.
“Sama kayak aku bilang tadi malam, Umbral adalah entitas nonfisik yang hidup. Tapi paling tidak, sekarang aku udah lebih paham tentang dia.”
Davin memperlihat sebuah simbol di laptopnya.
“Itu persis kayak simbol di kolam renang tadi malam,” gumam Tari. "Berarti dia memang kenal kamu.”
“Aku nggak bisa membantah asumsi itu. Tapi aku juga nggak bisa setuju seratus persen.”
“Apa… di kolam renang semalam emang Umbral?” tanya Naya.
“Semua indikator yang kita liat semalam memang merupakan ciri-ciri Umbral. Ada perubahan suhu yang ekstrem dalam radius beberapa ratus meter—bahkan sampai tujuh belas derajat Celsius. Wujud Umbral nggak bisa dipahami dengan mata telanjang layaknya makhluk berjasad. Dia terbentuk dari kumpulan energi liar yang beresonansi dalam pola gelombang bunyi, seolah suara-suara yang terputus dan terdistorsi menemukan bentuknya sendiri. Makanya Tari hanya mendengar kayak dengungan—atau desiran angin.”
“Jadi, Umbral nggak kayak monster menakutkan?” tanya Sasha lagi.
Sesaat Davin menatapnya—dan dia merasa itu satu kesalahan kecil. “Menurutku, justru lebih buruk dari itu.”
Mereka terdiam.
Keheningan di antara mereka tiba-tiba diinterupsi oleh kehadiran seorang cowok bertubuh tinggi kurus. Mereka semua kenal dengan wajah Parlan. Dia membawa nampan berisi gado-gado, sepiring penuh gorengan, dan segelas es teh. Tanpa sadar Sasha mengangkat alisnya.
Elisa memamerkan senyum sumringah pada Parlan. Sementara teman-temannya sibuk menyimak “kuliah gratis” Davin tadi, dia asyik merayu Parlan lewat WhatsApp untuk membawakan sarapan untuk dirinya.
“Aduh, lo baik banget,” ujarnya dengan nada hangat. “Tapi ketimbang gue semaput, mendingan gue ngerepotin lo.”
Parlan balas tersenyum. “Nggak papa. Aku senang, kok. Aku mau balik ke kantin lagi.”
Elisa sedikit mendekatkan wajahnya ke Parlan, sambil berujar dengan nada jemu, “Ya, diskusi kami agak privat, sih. Cuma bikin lo mumet. Tapi jangan lupa nanti malam VC gue, ya.”
“Oke.”
Dan, ketika dia berpaling, isi piring gorengan sudah ludes.
“Ya Tuhan,” ujarnya. Tapi nadanya lebih banyak kagetnya ketimbang kesalnya. “Tolong telur gado-gadonya jangan diambil.”
“Oh, makasih banyak, Lis,” ujar Rayan sambil menyambar telur rebus di piring Elisa—dan hanya dengan sekali telan, telur itu lenyap dalam mulutnya. “You are the best.”
Elisa menarik napas panjang. Sekejap pun tak ada kesan marah pada sikapnya. Dia justru seperti prihatin.
“Kalian beneran kayak pengungsi banjir,” gumamnya. Dia mulai menikmati sarapannya. Dan dengan senang hati dia membaginya pada Sasha, Tari dan Naya.
“Oke, cukup intermezzo-nya,” ujar Rayan.
Elisa mengunyah gado-gadonya. “Ya, silakan aja lanjutin diskusinya. Dari tadi gue juga nggak ikut campur.”
“Gue nggak ngerti istilah-istilah kerennya,” ujar Rayan lagi. “Tapi gue yakin Prof A pasti tahu cara buka portalnya. Dan kalau bokap lo tau, lo juga pasti tau.”
Davin menggeleng pelan. “Aku nggak tau.”
Elisa mendesah lega. “Alhamdulillah.”
Davin membuka file lain. “Coba kalian baca ini.”
Secara bergantian mereka membaca catatan kaki Adrian dengan seksama.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia harus tetap terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Mereka saling bertukar pandang.
“Well, sekarang aku beneran takut, Dev,” ujar Sasha kecut. “Dia lebih mengerikan dari yang aku bayangin. Dan pokoknya thanks a lot. Aku nggak pengen mati sekarang. Dan aku nggak pengen kiamat sekarang. Paling nggak, dia harus sabar sampai aku ultah ke-80.”
Tak seorang pun tertawa ketika mendengar kelakarnya.