NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Hari itu, Risa bangun lebih awal dari biasanya. Hatinya dipenuhi harapan.

Sudah hampir seminggu Aditya pergi, dan berdasarkan jadwal yang biasa ia tahu, hari ini seharusnya sang suami pulang.

Ia membersihkan rumah lebih rapi dari biasanya, menyiapkan makan malam spesial, sayur asem, ayam goreng kesukaan Aditya, dan sambal buatan

Kirana yang dulu sering ia tiru resepnya.

Ia bahkan mengenakan blus putih sederhana yang pernah dikatakan Aditya cocok untuknya meskipun itu hanya sekali, dan sudah lama sekali.

Sore datang. Risa mengecek ponsel.

Tidak ada pesan.

Tapi ia yakin Aditya lelah. Mungkin belum sempat memberi kabar.

Ia tetap menunggu di ruang tamu, duduk sambil memandangi jam dinding yang terasa berdetak terlalu lambat.

Pukul tujuh malam. Masih belum ada kabar. Ia mulai gelisah.

Tangannya membuka aplikasi penerbangan, melacak rute pesawat yang kemungkinan membawa Aditya kembali.

Tapi sesuatu terasa ganjil.

Aditya tidak ada dalam daftar penerbangan hari ini. Jantung Risa berdebar. Ia akhirnya mengirim pesan:

[Kamu jadi pulang hari ini?]

Tidak ada balasan dari Aditya yang sekarang entah berada dimana.

Setengah jam kemudian, akhirnya sebuah pesan masuk.

[Maaf. Gak bisa pulang minggu ini. Ada perubahan jadwal]

Satu kalimat. Tanpa penjelasan. Tanpa nada rindu. Tanpa tanya kabar.

Risa menatap layar cukup lama. Lalu meletakkan ponsel di meja.

Makan malam yang ia siapkan masih hangat. Tapi ia tak sanggup menyentuhnya.

Ia berjalan perlahan ke kamarnya, membuka laptop, dan kembali menulis.

Menulis tentang wanita yang menunggu. Tentang cinta yang terasa seperti menatap bandara kosong yang selalu berharap seseorang muncul, tapi tak pernah ada yang benar-benar datang.

Berikut kelanjutan dari cerita dalam novel Risa yang ia tulis di platform menulis:

Bab Baru Novel Risa: “Kecewa yang Tidak Pernah Didengar”

Aku menunggu dengan meja makan yang penuh, tapi hanya aku yang lapar. Lapar akan kepulangan, akan kabar, akan alasan. Tapi tak ada yang datang selain kenyataan bahwa aku selalu menjadi yang terakhir ia pikirkan.”

Katanya cinta bisa menerima segalanya. Tapi bagaimana kalau yang kita terima hanya sepi dan diam?”

Aku kecewa. Tapi tak bisa marah. Karena sejak awal, aku hanyalah bayangan dari perempuan yang ia cintai.

Bab baru itu hanya terdiri dari beberapa paragraf yang Aira ketik.

Namun dampaknya luar biasa.

Beberapa menit setelah dipublikasikan, kolom komentar mulai penuh:

@AirMataSenja: “Kenapa tulisan ini seperti hidupku? Aku nangis bacanya...”

@IstriYangMenunggu: “Aku juga pernah menyiapkan makan malam. Tapi yang datang malah alasan.”

@HampaDalamPernikahan: “Gak pernah nyangka ada yang bisa nulis rasa kecewa sedalam ini. Kak... tolong terus lanjutkan.”

@PenggemarRahasia: “Tiap malam aku tunggu update-nya. Rasanya lega tahu ada yang mewakili isi hati.”

Risa membaca komentar satu per satu. Matanya basah, tapi kali ini bukan hanya karena luka—melainkan karena ada kekuatan dalam kepedihan yang dibagikannya.

Tulisannya mungkin tentang dirinya sendiri, tapi ternyata itu juga tentang banyak orang lain.

Ia menutup laptop perlahan, menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia membiarkan dirinya menangis tanpa harus berpura-pura kuat.

Malam itu, ia tak sendirian. Ia ditemani ratusan hati yang juga kecewa, juga diam, juga mencoba bertahan.

*****

Pagi itu, langit tampak mendung. Udara lembap menusuk kulit, seolah ikut meresapi kesedihan yang disimpan Risa dalam diam.

Ia membawa sekeranjang bunga lili putih favorit Kirana dan langkahnya pelan menyusuri jalan setapak menuju makam sahabat yang dulu seperti saudara kandungnya sendiri.

Di hadapannya, batu nisan itu berdiri tenang. Sederhana, tapi bersih dan terawat. Seolah Kirana memang selalu menjaga kerapihan, bahkan dalam keabadian.

Risa berjongkok, meletakkan bunga satu per satu di atas pusara. Tangannya gemetar. Dadanya sesak.

“Maaf, Kirana…” bisiknya pelan.

“Aku mencoba kuat. Tapi aku lelah.”

Air mata mulai membasahi pipinya. Tangis yang sudah lama ditahan akhirnya pecah. Ia memeluk nisan itu, tubuhnya bergetar hebat, seperti anak kecil yang mencari pelukan ibu.

“Aku nggak tahu... ini yang kamu inginkan atau bukan. Aku nggak tahu harus terus bertahan atau berhenti.”

Tangisnya berubah jadi sesenggukan. Suaranya nyaris tak terdengar, teredam oleh rasa rindu dan kecewa yang menumpuk.

“Aku sayang kamu. Tapi aku hancur di sini sendirian.”

Hening.

Hanya angin yang menjawab. Daun-daun kering beterbangan pelan di sekitar makam.

Seolah semesta ikut diam, memberi ruang bagi duka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Risa akhirnya duduk bersandar di tanah. Wajahnya basah, matanya sembab.

Tapi untuk sesaat, ia merasa damai. Di tempat ini, ia bisa menangis tanpa ditanya kenapa.

Bisa mengeluh tanpa takut disalahkan. Bisa jujur, tanpa takut diabaikan.

Karena Kirana, bahkan setelah tiada, masih menjadi satu-satunya tempat ia merasa dilihat sepenuhnya.

Langkah Risa meninggalkan area makam begitu pelan, seolah setiap langkah adalah usaha melepaskan beban yang menempel di dadanya sejak pagi tadi.

Hatinya sedikit lebih ringan setelah meluapkan semua yang ia simpan di depan nisan Kirana.

Namun saat ia hendak memesan ojek untuk pulang, suara familiar memanggil dari arah belakang.

"Risa? Risa Maharani?”

Ia menoleh dan sedikit bingung saat ada seseorang lelaki yang memanggil namanya.

Seorang pria berdiri tak jauh darinya. Wajahnya tampak dewasa dan rapi, mengenakan kemeja santai dan celana jeans.

Namun ada sesuatu dari senyumnya yang membangkitkan kenangan lama.

“Stevanus?” Risa memicingkan mata, masih tak percaya.

Pria itu tersenyum lebar. “Akhirnya kita ketemu lagi.”

Stevanus teman masa kecilnya yang dulu tinggal di rumah seberang sebelum pindah ke luar kota saat SMP.

Mereka dulu sering bermain sepeda bersama, menulis puisi di buku lusuh, bahkan saling bertukar cerita tentang cita-cita.

Risa nyaris tak mengenalinya. Tapi sorot matanya tetap sama—hangat dan jujur.

“Udah lama ya...” kata Risa pelan.

"Dua belas tahun. Tapi kamu nggak banyak berubah,” jawab Stevanus.

Mereka pun berjalan beriringan keluar dari area pemakaman. Obrolan mereka mengalir pelan, ringan, tapi menyenangkan—seperti menyambung kembali benang yang sempat putus.

“Ngapain di sini?” tanya Risa.

“Nengok makam Ibu. Dan kamu?”

Risa tersenyum tipis. “Sahabat.”

Stevanus menatap Risa sejenak, seolah melihat lebih dalam dari sekadar permukaan.

“Kalau kamu butuh teman ngobrol... aku di kota ini beberapa minggu. Jangan ragu, ya.”

Risa hanya mengangguk. Tak menyangka ada pertemuan hangat di tengah hari yang ia kira hanya akan dipenuhi duka.

Dan saat ia naik ojek untuk pulang, ada perasaan asing yang tumbuh di hatinya bukan cinta, bukan pula rindu... tapi mungkin, harapan.

Pukul dua dini hari.

Risa kembali duduk di depan laptopnya, mencoba melanjutkan bab terbaru novelnya.

Malam-malam seperti ini selalu jadi waktu paling tenang untuk menulis, saat semua suara dunia menghilang dan hanya pikiran yang bicara.

Namun, ketenangan itu mendadak pecah oleh suara berisik dari jendela dapur.

Risa mendongak. Awalnya ia mengira itu hanya suara kucing atau angin.

Tapi saat ia mendengar suara logam bergesekan, tubuhnya langsung kaku.

Ia berdiri pelan, langkahnya tertahan di lorong menuju dapur.

Telinganya semakin awas. Ada bayangan bergerak di luar jendela.

Risa panik.

“Tolong! Tolong! Ada pencuri!” teriaknya sekuat tenaga sambil berlari ke depan pintu.

Jeritannya membangunkan warga sekitar. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, beberapa tetangga berlari keluar sambil membawa senter dan tongkat kayu.

Pencuri yang menyadari rumah mulai ramai langsung kabur sebelum berhasil masuk.

Tak lama kemudian, suara sirine terdengar dan sebuah mobil patroli berhenti di depan rumah Risa.

Dari dalamnya turun seorang polisi...

"Stevanus,"

“Risa?! Kamu nggak apa-apa?” ucapnya cemas, berjalan cepat menghampirinya.

Risa, yang masih gemetar, hanya menggeleng sambil menahan air mata.

“Aku... aku dengar suara. Aku takut...”

Stevanus memeriksa sekitar rumah bersama beberapa anggota polisi lainnya, memastikan semuanya aman.

Setelah semuanya terkendali, Stevanus kembali ke Risa.

“Untung kamu cepat teriak. Kalau telat sedikit...”

“Terima kasih, Van,” bisik Risa. Matanya berkaca-kaca.

Stevanus tersenyum, menatapnya dengan lembut. “Kalau kamu butuh aku, kapan pun, jangan ragu, ya.”

Dan malam itu, meski masih syok, Risa merasa sedikit lebih aman. Ada seseorang yang benar-benar peduli. Dan kali ini, bukan hanya lewat kata tapi lewat kehadiran nyata.

Setelah polisi memastikan bahwa rumah sudah aman dan pencuri berhasil melarikan diri tanpa sempat masuk, Risa masih duduk di ruang tamu dengan tubuh gemetar.

Matanya terus menerawang ke arah jendela, seolah bayangan pencuri itu masih ada di sana.

Ketukan pelan di pintu mengejutkannya.

“Risa, boleh aku masuk?” suara lembut itu datang dari Bu Ratmi, tetangga sebelah yang sudah seperti ibu sendiri sejak Risa dan Kirana pindah ke rumah itu.

Risa buru-buru membukakan pintu.

Bu Ratmi masuk sambil membawa termos berisi teh hangat dan selimut.

Tanpa banyak tanya, ia langsung duduk di samping Risa dan memeluknya dengan hangat.

“Namanya juga kejadian malam-malam, pasti bikin syok. Tapi kamu nggak sendiri, Nak.”

Pelukan itu terasa seperti dinding yang menahan Risa agar tidak runtuh.

Ia menunduk, air matanya jatuh lagi, kali ini bukan karena takut, tapi karena merasa diperhatikan.

"Terima kasih, Bu... aku benar-benar ketakutan tadi...”

Bu Ratmi menyodorkan teh. “Minum ini dulu. Biar badan kamu tenang.”

Malam itu, Bu Ratmi menemani Risa di ruang tamu. Mereka mengobrol pelan tentang Kirana, tentang rumah yang kini terlalu sunyi, dan tentang ketidakpastian yang Risa rasakan sejak menikah.

Tak ada nasihat panjang. Hanya kehadiran yang hangat. Dan kadang, itu lebih dari cukup.

Risa akhirnya bisa tertidur sebentar di sofa, berselimutkan perhatian tetangga yang seperti keluarga, sementara jam di dinding terus berdetak perlahan menuju pagi.

1
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!