"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Romantisme Palsu
Langkahnya terasa ringan saat setiap orang melemparkan setangkai senyum padanya. Dea sedikit menaikan dagunya karena sejak tadi wajahnya hanya tertunduk, seakan gravitasi bumi lebih berat menarik wajahnya ke bawah.
Laras mendekatinya dengan wajah panik. "De, gawat!" Laras menarik napas terburu-buru hingga suaranya nyaris tercekat. Dea merespon dengan mimik di wajahnya, ia menunggu Laras bicara lebih jelas.
"Mas Eko, minta tarian di tambah. Ini kesempatan kita, diantara ratusan sanggar yang di rekomendasikan, mas Eko minta sanggar kita menyiapkan penari Dayak Kenyah. Aku harus jawab apa Dee...?! Lima belas menit lagi aku technical meeting dengan panitia," ucap Laras dengan wajah panik sehingga keringat membanjiri keningnya.
"Aku bisa mba, tinggal mba pikirkan aja darimana kita mendapatkan kostum tarinya." Dea menggenggam pergelangan tangan Laras dengan lembut.
"Ma-maksud kamu... Dea kamu bisa? Serius?!" Laras membulatkan bola matanya.
Dea mengangguk yakin diiringi senyuman yang terasa ringan di bibirnya, "mba lupa ya, aku lulusan fakultas seni dari Kalimantan." Kedipan mata dari Dea membuat Laras melompat kegirangan.
"Ya Tuhan... Terima kasih Dee, terima kasih sayang," sambut Laras dengan gembira. Seketika hati Dea menghangat, bahwa ia masih dibutuhkan dan dihargai di dunia kecilnya, dunia yang bisa menerima dirinya seutuhnya.
Laras segera mengatur team untuk membuat rekaman video presentasi tarian yang Dea bawakan untuk bahan meeting, Dea merasakan dilibatkan menjadi bagian penting dalam sebuah upaya mempertahankan nama baik sebuah sanggar. Inilah saatnya, dia menyingkirkan satu persatu duri yang menancap kuat di dadanya.
Bahan presentasi selesai, Laras melongo menonton hasil rekaman tarian yang Dea bawakan. Bukan karena kamera mahal yang digunakan, namun tarian artistik dibawakan dengan lemah gemulai oleh Dea seperti ada sentuhan kekuatan magis yang menarik penonton untuk berdecak kagum saat menonton video tersebut, Laras dibuat terkesima oleh muridnya sendiri. Laras terus menggelengkan kepalanya dengan takjub.
"Aku gak salah memilih kamu, Dee... Kamu, komplit!" pujinya tidak berlebihan, tapi penuturan sebuah fakta. "Oke, kamu istirahat sekarang. Aku harus meeting lagi dengan mas Eko dan panitia. Sampai ketemu di hotel ya, bye!" Laras melambaikan tangannya lalu berlalu meninggalkan Dea dan beberapa anak buahnya.
Prok Prok Prok
Suara tepukan terdengar tidak jauh dari Dea berdiri. Nawang bertepuk tangan lalu melangkah perlahan mendekati Dea. "Kereenn... " Nawang mengacungkan kedua jempolnya di depan dea. "Gue tahu lo spesial, please jangan redup." Nawang menyodorkan sebuah kartu nama, "Lo bisa hubungin gue kapan pun, gue berharap lo mau gabung dalam sanggar gue suatu hari nanti."
"Kamu melamar aku?" tanya Dea sedikit ragu dengan orang asing di depannya.
"Anggaplah begitu!" jawabnya dengan gaya stecu, Nawang mengusap rambutnya yang bergaya pixie cut. "Gue rasa kita punya kesamaan dan latar belakang trauma yang sama, gue nggak pernah seyakin ini ketika bertemu orang asing, selain lo. Gue tunggu Lo bergabung." Nawang menepuk bahu Dea dengan lembut lalu meninggalkan Dea dengan kebingungan yang menggantung di benaknya.
Dea menimbang kartu nama yang bertuliskan nama sebuah sanggar dan tiga buah nomer telepon. Lalu ia masukan ke dalam tas selempangnya yang terbuat dari rotan.
Dea kembali ke hotel dengan beberapa team yang tidak ikut technical meeting. Saat akan masuk ke kamar, seorang petugas hotel mendekatinya dengan membawa lima kantong dengan merk restoran coffe ternama.
"Mba Dea? Pesanan atas nama sanggar Ladoya Nusantara diantarkan cafe Starbucek ke meja resepsionis. Mohon di terima." Petugas hotel menyerahkan tas yang terbuat dari spun bon bag.
"Terima kasih pak," ucap Dea sambil membungkukkan badannya sedikit.
'Apa pesanan mba Laras ya?' Pikir Dea.
Di sebuah Acara Bakti Sosial
Di bawah tenda biru, kursi-kursi yang tertata rapi sudah terisi penuh oleh para pejabat wilayah, pejabat dari sebuah kesatuan Militer dan warga korban longsor. Cuaca di luar tenda cukup panas. Namun, beberapa anak TK dan SD dengan semangat menampilkan tarian juga pertunjukan drama dongeng si kancil.
Devan di dampingi istrinya, Kasandra, duduk dengan tenang sesekali mengulas senyuman ke arah anak-anak TK yang lucu. Seketika perhatiannya tertuju pada notif ponsel yang berbunyi terus menerus, Devan mengulas senyuman saat mendapatkan laporan jika pesanan kopi untuk Dea sudah di terima Dea langsung.
Beberapa foto dan video yang dikirim anak buah Yusron menambah tenang hati dan pikirannya, gadis itu mulai tersenyum kembali dengan sedikit binar cahaya di wajahnya, meski tidak terlalu berkilauan seperti biasanya, bagi Devan itu sebuah kemajuan setelah laporan yang ia terima dari Yusron tentang kejadian di rumah Dea beberapa waktu lalu.
Ya, Devan baru saja tahu tragedi yang menimpa Dea setelah anak buah Yusron berhasil mengorek pembantu rumah tangga di kediaman dokter Syam dan Dini. Devan geram dengan kejadian itu, mereka merampas cahaya gadisnya yang baru saja mekar tanpa mengenal ampun. Hasrat untuk membalaskan dendam Dea pun sedang ia rencanakan.
Sementara, cara inilah yang bisa Devan lakukan untuk melindungi wanita pujaannya.
"Papa!" teriak Kasandra karena Devan tidak menanggapi obrolannya.
"Eh, iya." Devan menarik tubuhnya lebih tegak. "Ada apa?" jawabnya pelan.
"huh! Kamu tuh mikirin apa sih! Mama dari tadi ngomong ga ada yang papa jawab!" sungut Kasandra.
"Apa ca? Aku tadi lagi mikir kerjaan." Dustanya.
"Bilang sama warga nggak ada sessi salam-salaman dan photo bersama. Mama ngga mau ya tangan kotor mereka menyentuh perhiasan mama," bisik Kasandra.
Devan melotot melihat istrinya memakai cincin berlian dan keempat jari kirinya dihiasi cincin berantai, "Kamu ini gimana sih?! Ini acara Bakti Sosial bukannya sedang pameran perhiasan. Kita kesini memberi dukungan untuk warga yang terkena musibah, kamu harus empati untuk mendengarkan keluhan warga dan dekat dengan korban longsor. Kamu sendiri kan yang minta lokasinya di sini karena ini wilayah Dapil papa kamu!" gerutu Devan.
"Iya, ini juga saran papaku. Tapi aku ngga mau mereka dekat-dekat denganku. Aku jijik jika tangan kotor mereka menyentuhku, Pa." Kasandra bergidik membayangkan tangan-tangan kotor dari warga menyalami tangan indahnya.
"Ma, kita manusia mereka juga manusia, sama-sama terbuat dari tanah. Jangan merasa lebih tinggi dan lebih suci dari siapapun," cetus Devan dengan wajah kesal. Kasandra membuang muka dari suaminya, namun segera mengulas senyuman palsu di depan seluruh anak buah suaminya.
Seakan tidak ada perdebatan di antara mereka.
Master of ceremony membacakan point acara selanjutnya, yaitu pemberian sembako dan uang secara simbolis bantuan dari kesatuan yang Devan pimpin. "Kepada komandan kesatuan, kami persilahkan."
Devan berdiri sambil membetulkan baju dinas dan membawa tongkat komando, tangan lainnya menggenggam tangan Kasandra, seakan sang pimpinan membanjirinya dengan kelembutan dan kasih sayang. Sebuah pemandangan romantis yang orang lain tidak tahu kedalaman hubungan di antara pasangan yang 'terlihat' romantis itu.
Sebuah hubungan hambar tanpa kasih sayang. Di balik layar hubungan mereka bagaikan sebuah gunung es yang siap longsor kapan saja. Sandiwara terus berlangsung bertahun-tahun di depan publik yang mengelu-elukan keromantisan sang pimpinan dengan ibu ratu sebagai pendamping hidup yang setia dan penuh kasih sayang.
Mereka berdua menjadi aktor dan aktris yang handal, memerankan drama keluarga harmonis dan bahagia. Kepiawaian mereka terlatih dari waktu ke waktu.
Devan melepas kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di hidung mancungnya, ia menerima sebuah box berisi bahan-bahan sembako dan satu lembar amplop berisi uang bantuan yang telah disiapkan anak buahnya, keningnya mengernyit dalam saat mendapati box itu bertuliskan nama Papa mertuanya juga slogan sebuah partai dan nomer pilihan untuk Pilkada nanti.
"Kenapa seperti ini, Akbar?" tanyanya dengan tatapan tajam dan wajah mengeras ke arah anak buahnya.
"Ijin, Dan. Ini arahan ibu, semua sudah ibu yang mengatur kami hanya menjalankan perintah," bisik Letda Akbar.
"Cabut semua tulisan itu, saya tidak akan menyerahkan pada warga jika masih ada gambar mertua saya di sana. Atau ganti box nya sekarang juga!" hardik Devan pada seluruh anak buahnya.
Dengan kasar ia tarik pergelangan tangan istrinya untuk masuk ke mobil. Kasandra meronta dan terus berupaya mengulas senyuman manis di depan anak buahnya.
Di dalam mobil Kasandra membuka topengnya dengan tidak sabaran, "Devan! Kamu berani mempermalukan aku di depan anak buahmu!" jerit Kasandra seraya menunjuk wajah suaminya dengan tanpa rasa hormat.
"Harusnya aku yang mengatakan itu, kamu mempermalukan aku, Ca! Aku ini abdi negara bukan jongos partai politik! Apalagi kacung papa kamu! Apa maksud kamu menempelkan photo papa kamu di kotak sembako itu, hah!?" bentak Devan.
"Apa salahnya? Lagian di sini jauh dari pemberitaan media. Kamu juga harusnya malu, Vin. Kamu sudah menerima semua fasilitas dari papaku tapi usahamu membantu papaku nihil, nol besar!" serang Kasandra.
"Fasilitas apa yang aku terima dari papa kamu, hah? sebutkan! Semua yang lekat di tubuhku adalah hasil jerih payahku sendiri. Mobil, rumah, semua hasil usahaku memperjuangkan rumahtangga palsu ini," balas Davin.
"Heh! Dasar tidak tahu diri, kamu wajib menafkahi anak istri, Vin. Tapi untuk membayar arisan sosialita aku saja gajimu tidak cukup!" ejek Kasandra
"Seharusnya kamu yang tahu diri, siapa lelaki yang kamu nikahi ini, aku hanya prajurit. Kalau kamu bisa hidup sederhana gajiku bisa menafkahi mu dengan cukup!" bentak Devan.
"Sudah sejak awal kubilang pernikahan kita adalah kesalahan, kesalahan!!" jerit Kasandra, matanya melotot menatap Devan dengan nyalang.
"Jadi apa maumu? Cerai? Minta papamu melepaskan ku, aku selalu siap jika kamu ingin bercerai, aku sudah tidak sanggup hidup dalam kepura-puraan sepanjang hidupku, Ca!" tantang Devan.
Kasandra seketika surut, tatapan matanya yang sejak tadi nyalang dan berapi-api kini menunduk, ia menatap ke arah dada Devan yang tersemat deretan tanda jasa dan papan nama di baju dinas suaminya. Hatinya menciut jika di tantang perceraian.
Prestasi terbesar Kasandra yang bisa dibanggakan papanya selama ini adalah karena menikahi Devano Anggoro. Lelaki berprestasi di semua bidang yang kini sudah mencuri hati papanya, Menantu yang menjadi anak kesayangan dan selalu di agung-agungkan sang papa.
"Maafkan aku, Van. Jangan katakan perceraian lagi." Kasandra menutup wajahnya yang kini sudah basah airmata.
"Entah sampai kapan aku sanggup hidup bersamamu dalam kepalsuan, Ca! Aku capek... " lirih Devan, ia memijit pelipisnya yang mulai berdenyut.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban