NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 3

..."Hidup itu ajaib. Saat kita benci, Tuhan malah mendekatkan. Saat kita suka, Tuhan malah menjauhkan. Tapi di balik itu ada rencana indah Tuhan yang sudah menanti."...

****

Artha dan Naira hanya bisa pasrah ketika digiring oleh warga ke balai pertemuan. Keduanya menunduk, tangan saling terjalin sambil terus berjalan. Mereka didudukkan dengan banyak saksi yang menanti hukuman yang diberikan Pak RT terkait aksi mesum dua remaja itu. Kedua kartu identitas sudah berada di tangan Pak Ilham selaku ketua RT.

"Apa benar kalian mesum di tempat umum?" Pria berkumis menggenakan kemeja batik itu bertanya sembari duduk di bangku kayu, menatap lekat-lekat ke arah Naira dan Artha secara bergantian.

Sontak keduanya menggeleng.

"Tidak, Pak. Gimana bisa mesum, kenal aja enggak!" Artha memberi alasan, sementara Naira hanya manggut-manggut.

"Bohong. Kalau tidak kenal kenapa bisa tumpang tindih gitu? Kenapa bisa peluk-pelukan di semak-semak tanpa pakai baju?" seloroh salah

seorang warga yang tadi sempat memergoki mereka.

"Beneran. Saya tidak kenal sama dia. Sumpah!" Naira angkat bicara. Dia takut dikira cewek enggak bener karena terjebak situasi seperti ini.

Pak Ilham hanya menggelengkan kepala. Sepertinya mulai termakan omongan warganya.

"Sebaiknya hubungi orang tua kalian. Saya tidak mau kalau lingkungan sini jadi tempat mesum. Apalagi kalian masih pelajar. Ini bisa mengajarkan para pemuda sini berbuat asusila seperti apa yang kalian lakukan."

"Tapi, Pak!" Naira menyela.

"Ini semua salah paham."

"Bukti ada di depan mata. Bukan seorang yang memergoki kalian. Tapi dua orang dan kemudian disusul yang lain. Kalian mau mengelak apa lagi?" Pak Ilham mengesah, menggeleng kemudian.

"Tapi...." Naira tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia takut jika masalah kesalahpahaman ini akan menjadi serius saat mamanya mengetahui. Apalagi pria di sampingnya tampak santai, seakanakan apa yang terjadi adalah hal enteng dan mudah diselesaikan.

"Lo, sih, pake buka baju segala. Kan jadi pada

salah paham." Naira mengerucutkan bibir. Pipinya mengembung, lebih besar dari bakpao.

Menurut Artha.

"Lo yang nyari kesempatan. Lo sebenarnya pengen kan deket-deket sama cowok ganteng kayak gue. Ngaku aja deh lo!"

"Idiih!"

"Apa kalian sudah menghubungi orang tua kalian?" Suara Pak Ilham membuyarkan pertikaian Artha dan Naira.

"Papaakan segera datang. Bapak tenang saja. Papa akan menyelesaikan semuanya," jawab Artha tampak meyakinkan. Beruntung Julian meminjaminya motor plus ponsel. Kadang Artha memang setidak tahu diri itu, memanfaatkan kebaikan teman sampai luar dalam. Dia menegakkan punggung yang masih belum

mengenakan pakaian.

"Lalu, bagaimana dengan perwakilan keluargamu?" Pak Ilham mengarahkan tatapan ke Naira. Gadis itu diam, hanya menunduk. Mamanya masih bekerja, tidak mungkin dihubungi mengingat peraturan perusahaan yang melarang karyawan produksi mengaktifkan ponsel ketika jam kerja berlangsung.

"Tidak ada, Pak. Mama masih kerja."

"Kamu tidak bisa menghubunginya?"

Naira menggeleng lemas. Setelah ini dia hanya pasrah karena tidak ada yang akan membelanya. Melihat betapa tatapan semua orang memandangnya dengan risih, seakan-akan dirinya benar melakukan perbuatan asusila di tempat umum.

Hampir sepuluh menit menunggu, seorang pria matang berperawakan tegap datang ke balai pertemuan. Mata tajamnya menatap langsung pada Artha. Pria itu teramat geram, seakan-akan sudah habis kesabaran.

"Apa yang sudah terjadi?"

Artha melebarkan senyum. Walaupun papanya meradang, itu tak jadi soal. Yang penting permasalahan ini cepat berlalu. Dia sudah tidak

betah dikerubungi massa seperti saat ini.

"Mereka ketahuan mesum di tempat umum," jawab salah seorang di antara warga yang sedang berkerumun.

"Apa?" Ravindra memijit kepalanya. Putra sulungnya ini sudah kelewatan. Dan lihatlah sekarang, wajah Artha tampak tenang, seakan tidak melakukan kesalahan sama sekali.

"Ini pasti kesalahpahaman. Anak saya bukan anak yang seperti itu."

"Siapa yang anak Bapak? Yang laki-laki atau

perempuan?" Pak Ilham berdiri.

"Silakan duduk terlebih dahulu," ucapnya sopan kepada Ravindra.

Ravindra mengangguk. Bibirnya mengesah kasar, menatap Artha dan Naira secara bergantian. Dalam hati dia sempat menyetujui pilihan Artha. Gadis itu tampak cantik, postur tubuh ideal. Selera Artha memang patut diacungi jempol.

"Dia Artha. Anak saya. Bagaimana bisa terjadi? Alka adalah anak baikbaik. Tidak mungkin melakukan hal bejad seperti itu"

Mana mungkin sebagai orang tua Ravindra menjelek-jelekkan anaknya sendiri? Apalagi di depan calon mantu. Dia juga pernah muda, sangat pantang dirinya dipermalukan di depan banyak orang asing.

"Tapi beberapa warga memergoki mereka. Ini sudah di luar batas. Jika mereka dibiarkan saja, pasti akan muncul anak-anak remaja yang mengikuti gaya pacaran mereka. Sebagai efek jera, kami ingin mereka segera dinikahkan!"

"Apa? Menikah?" Sontak Naira dan Artha berteriak hampir bersamaan. Keduanya saling melempar pandang. Sorot mata permusuhan terlihat di antara keduanya. Saling menyalahkan dan saling tuduh bahwa ada yang sengaja melakukan itu.

"Tidak-tidak-tidak!" Artha langsung mengambil

alih pembicaraan.

"Ini semua salah paham. Pa, dengerin Artha. Ini semua tidak benar!"

Ravindra mengembuskan napas kasar. Sotot mata yang tajam mengarah pada Artha.

"Mana bajumu? Bagaimana Papa bisa percaya kalau kamu sendiri tidak pake baju begitu?"

"Tapi, Pa. Ini tidak seperti apa yang Papa pikirkan. Aku hanya melepas kaus yang basah. Tidak lebih!"

"Saya sempat memotretnya, Pak." Suara ibu-ibu yang tadi terdengar lagi.

"Kalau ada masalah seperti ini, yang benar adalah menunjukkan barang bukti. Untung saya terbiasa mengabadikan semuanya di ponsel. Tadinya mau saya bikin story di sosmed, tapi enggak jadi. Saya masih menjaga nama baik putra Bapak," kata ibu itu sembari menunjukkan hasil tangkapan gambar di galeri smartphone-nya.

Ada sebanyak lima foto. Foto mereka yang masih saling memeluk, sampai terlihat kaget setelah dipergoki warga. Ravindra hanya menggeleng gelengkan kepala. Ini sudah tidak bisa diselamatkan.

"Jadi gimana, Pak? Jika mereka dibiarkan, apa Bapak yakin mereka berdua tidak melakukannya secara sembunyi-sembunyi?" Pak IlIlham lagi-lagi

mendesak. Ravindra semakin geram dibuatnya.

"Saya akan menikahkan mereka. Malam ini."

Ravindra akhirnya memutuskan.

"Apa?" teriak Naira dan Artha yang nyaris bersamaan.

****

"Pa, pertimbangkan sekali lagi? Aku tidak mau nikah muda. Papa pikir masa depanku akan bagaimana jika punya anak di usia seperti ini?" Artha masih merengek, berharap Ravindra mengubah keputusan.

"Seharusnya kamu memikirkan ini sebelum kabur dari rumah seperti tadi."

"Lah, apa hubungannya nikah dengan kabur dari rumah, Pa?" Artha bertanya tak mengerti. Apa

yang dibicarakan Ravindra sama sekali tidak ada saling keterkaitan.

"Mama sebentar lagi datang membawakanmu baju. Setelah ini kalian harus menikah." Ravindra

berkata tegas dan tak ingin dibantah.

"Tapi, Om?" Naira yang merasa tidak memiliki wali menjawab ragu.

"Mama belum tahu masalah ini. Saya dan anak Om tidak saling kenal."

"Kalau tidak saling kenal, ya, kenalan!" jawab Ravindra enteng.

"Apa?" Artha dan Naira mendadak bodoh. Jika Ravindra tahu mereka tak saling mengenal, lantas

nengapa harus menikah?

"Ini terpaksa. Papa tidak bisa membungkam

mulut warga. Masalah ke depannya, itu urusan kalian. Untuk saat ini kalian harus bertanggung jawab akan apa yang kalian berdua lakukan. Jangan sampai foto-foto kalian tersebar di internet. Kalian bisa dikeluarkan dari sekolah."

Naira menunduk. Ini bukanlah pernikahan sesungguhnya. Tapi apa itu artinya dia akan jadi

janda di usia muda? Tidak, tidak! Naomi menggeleng. Sudah miskin, janda pula. Aaah, betapa rumit dan menyedihkannya hidup.

"Om, Mama masih kerja. Gimana jika Mama marah. Saya anak satu-satunya.” Naira masih takut memberi tahu ibunya.

"Saya juga tidak mau putus sekolah."

"Kamu tenang saja. Mama Artha yang akan menyampaikan pada mamamu. Sekarang kalian bersiaplah, malam ini acara ijab kabul akan

dilangsungkan."

Ravindra berlalu meninggalkan Artha dan Naira. Dia masih berurusan dengan pihak kepala desa dan warga yang masih penasaran dengan kelanjutan proses penggerebekan. Memang terkadang mereka berpikiran sekolot itu, terpancing perkataan ibu-ibu yang memang terkenal jago menggosip, menguping, dan mengintip. Lebih canggih daripada CCTV.

Di keheningan, Artha dan Naira duduk di satu

sofa panjang yang sama. Keduanya ditinggal berdua. Merasa bosan karena saling diam, Artha

memutuskan mengajak Naira bicara.

"Siapa nama lo?"

Naira hanya diam. Pikirannya masih kacau mengingat adegan demi adegan yang terjadi begitu cepat.

"Lo budeg, ya? Gue nanya. Nama lo siapa?" Suara Artha meninggi, berteriak di telinga Naira.

Refleks tangan Naira memukul kepala Artha.

"Gue enggak budeg. Gosah teriak-teriak!"

"Ya, kali aja. Lo kan dari tadi ditanyai enggak

nyahut-nyahut. Siapa tahu telinga lo bermasalah."

Naira melirik kesal. Bagaimana bisa cowok menyebalkan seperti Artha akan menjadi suaminya. Duduk berdua begini saja rasanya dia malas. Telinganya panas karena mendengar ocehan Artha yang menjengkelkan.

"Naira." Naira akhirnya mengulurkan tangan. Sepertinya mereka memang harus saling kenal sebelum memikirkan apa yang harus dilakukan

setelah ini.

"Artha!"

Uluran tangan Naira disambut. Mereka berjabat tangan. Namun, saat tangan masih saling terpaut pada detik berikutnya seekor cicak jatuh di sisi sofa belakang Naira.

"Awas cicak!" Artha berteriak mengingatkan, sontak Naira ikut terkejut dibuatnya. Cicak adalah binatang yang menggelikan. Memang tidak menakutkan, tetapi Naira sangat benci dengan

cicak yang memiliki tubuh lembek.

Tanpa sadar Artha menarik tangan Naira sehingga tubuh gadis itu terhuyung ke depan menimpanya. Posisi mereka tampak intim. Artha terlentang dengan satu tangan memeluk Naira

yang sedang menindihnya.

Belum sempat keduanya membenarkan posisi, Ravindra dan Pak Ilham masuk ke ruangan itu dan langsung membelalakkan mata melihat

pemandangan yang ada.

"Arthaa!" teriak Ravindra geram.

Tidak ada yang bisa menghalangi pernikahan tersebut. Tadinya Ravindra sudah berunding dengan Pak Ilham, berharap membebaskan putranya. Ini hanya soal kesalahpahaman. Keduanya tidak saling kenal. Namun, setelah Pak Ilham melihat kelakuan Artha dan Naira di depan mata kepala sendiri, beliau tidak mau bernegoisasi lagi.

"Mereka lama-lama bisa zina jika dibiarkan terus-menerus. Bapak mau menanggung dosa jika mereka sampai berzina?" Itulah yang Pak Ilham ucapkan pada Ravindra.

Setelah mendapat keterangan lengkap dari identitas Naira, Ravindra memutuskan menikahkan Artha dan Naira menggunakan wali hakim. Naira menjelaskan jika papanya sudah meninggal dan tidak memiliki kerabat lain.

Pernikahan cukup sederhana. Dihadiri oleh Ravindra dan istrinya juga para saksi yang sejak tadi berkerumunan.

Seumur hidup, Artha baru menyaksikan pernikahan aneh dengan pasangan suami istri yang tidak pernah saling kenal, dan baru tahu namanya sepuluh menit sebelum akad berlangsung.

****

Hari-hari terlewati seperti biasa. Pernikahan itu tetap menjadi rahasia. Toh tidak ada bedanya karena mereka tetap tinggal terpisah. Maya yang awalnya tidak terima hanya bisa pasrah. Sudah terjadi juga, dan setelah melihat siapa Artha sebenarnya, dia pun merasa pernikahan Naira

tidak terlalu buruk.

"Mertuamu baik, ya, Nai." Maya menyuapkan

nasi ke mulutnya setelah mengucapkan hal itu.

"Mertua siapa?" Naira menjawab malas malasan. Dia masih berkutat pada buku tulis dengan serentetan soal matematika yang menguras isi kepala.

"Ya, mertua kamu, Nai. Mama tadi diajak jalan jalan ke mal. Dia belikan banyak baju buat Mama

sama kamu."

"Ma, lupakan pernikahan itu. Naira bahkan lupa kalau punya suami. Naira masih sekolah juga." Naira mengeluh. Kepalanya semakin pusing mendengar setiap kalimat yang mamanya ucapkan. Mertua, suami, pernikahan. Aaaargghhh! Semua membuat kepala Naira semakin pusing.

"Eh, enggak boleh gitu, Nai. Itu namanya kalian sudah jodoh. Tuhan ngasih jodoh dengan cara yang berbeda-beda. Lagian, apa kurangnya si Artha? Dia cakep, tajir. Kamu sendiri bilang benci kemiskinan, pengen kaya. Ya, itu, Nai. Caranya ya dengan kawin sama pria kaya. Dan kamu udah ngelakuin itu. Bentar lagi kamu enggak perlu masukin air ke dalam botol sampo biar bisa keramas. Pasti di sana stok sampo banyak banget, Nai." Maya terkikik geli. Kepalanya menggeleng kemudian.

"Aih, Mama. Masak ukuran kaya cuma sebatas

stok sampo."

"Itu hanya perumpamaan, Nai. Setidaknya setelah melihat kedua mertuamu adalah orang yang tepat, Mama enggak cemas lagi memikirkan masa depanmu. Andai Artha macam-macam, mereka mau tanggung jawab."

Suara Maya terdengar sendu. Naira memperhatikan mamanya yang terlihat tak biasa.

"Mama kok ngomongnya gitu? Udah bosan, ya,

ngidupin Naira."

"Bukan gitu. Hanya suatu saat kamu pasti hidup bersama suamimu. Tidak terus-menerus sama

Mama."

"Tapi Naira ingin hidup sama Mama. Kalau Artha enggak mau tinggal sama Mama, ya biar aja dia

tinggal sendiri."

"Hussh!" Maya memukul kepala Naira menggunakan sendok bekas makannya.

"Auuh!" lenguh Naira, mengusap kepalanya

bekas getokan Maya.

"Sungguh teganya!"

"Lagian kamu, Bai. Enggak baik ngomong gitu. Pokoknya Mama ingin kamu jadi istri yang baik buat Artha, dan menantu yang baik buat mama dan papanya Artha. Buktikan sama mereka kalau Mama mendidik kamu dengan benar." Maya tampak serius ketika menasihati putri semata wayangnya. Mungkin ini semua terlalu dini. Dia cukup paham akan hal itu. Namun, sebelum semua terlambat, Naira harus mengerti.

"Iya, Ma. Beres!"

Maya membersihkan perlengkapan makannya. Dia beranjak dari duduk, masuk ke dalam, membiarkan Naira kembali larut dengan buku

buku pelajarannya. Saat Maya melewati tirai

pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, dia menoleh lagi ke arah putrinya.

"Setidaknya Mama enggak cemas lagi saat meninggalkanmu," ucapnya seraya berlalu masuk guna membersihkan sendok dan piring bekas makan malamnya.

****

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!