‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3 dan Series #4
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Berdiri Untuknya
...•••Selamat Membaca•••...
Maula memutar tubuhnya pelan. Tatapannya bertemu dengan mata ibu Sofia, wanita yang seharusnya melindungi Sofia, tapi justru membungkamnya. Sunyi menyelinap di sela helaan napas yang mulai berat, menciptakan jarak di antara mereka yang berdiri di ruang tamu berpendingin udara itu, namun terasa begitu panas dan pengap.
“Bu,” suara Maula pelan, hampir seperti bisikan. “Apa yang Ibu pilihkan ini benar-benar untuk masa depan Sofia atau demi kenyamanan Ibu sendiri?”
Ibu Sofia mengerjapkan mata. Wajahnya mulai tegang dan menatap sang suami.
“Karena kalau masa depan yang Ibu maksud adalah kehidupan bersama pria yang mencium perempuan lain hanya beberapa hari sebelum akad... maka saya bersumpah, saya lebih rela melihat Sofia menjadi perawan tua daripada menjadi istri dari Haidar yang menjijikkan itu.”
“Maula, kumohon,” bisik Sofia lirih, tapi cukup menusuk. “Jangan lanjutkan, Maula...”
“Lalu aku harus diam, ya?” Maula bergetar, jemarinya terkepal di sisi tubuhnya. “Kamu sahabatku, Sof. Kamu adalah seseorang yang telah menjadi hidup kedua bagiku. Dan kamu duduk di situ seperti... seperti budak. Seperti seseorang yang tidak layak punya suara sendiri. Padahal kamu perempuan yang pintar. Kamu cerdas, kamu lembut, tapi kamu dibungkam oleh mereka semua yang bahkan kedua orang tuamu tidak melawan atau pun membelamu. Dan sekarang kamu bilang 'aku tahu siapa Haidar'. Lalu kenapa kamu tetap mau?” Rayden mendekat pada istrinya dan mengusap punggung Maula pelan, takut jika emosi Maula semakin naik.
Sofia menggigit bibirnya, bahunya gemetar. “Karena aku tidak punya pilihan lain...”
Rayden kini menoleh tajam. “Tidak punya pilihan lain? Apa maksudmu?”
Ayah Sofia yang masih berdiri di ambang pintu luar, kini kembali masuk. “Karena dia berutang budi pada kami. Sudah cukup... ini keputusan keluarga. Dan Sofia, sebagai anak, tahu diri.”
Maula menahan napas. “Tahu diri? Maaf, Pak... tapi 'tahu diri' itu bukan berarti menyingkirkan hak seseorang untuk bahagia. Bukan berarti menyerahkan tubuh dan jiwa anak perempuan sendiri pada pria yang sudah jelas tidak layak.”
Kini suara Maula mulai bergetar. Ia merasa sesak. Sorot matanya seperti menyimpan lautan luka karena melihat orang yang disayanginya berjalan ke arah kehancuran, dan ia tak mampu menghentikannya.
“Sofia... aku tidak peduli siapa yang kau utamakan. Tapi dengarkan aku baik-baik. Pernikahan bukan sekedar acara mewah dan prosesi adat. Itu adalah hidupmu. Hidupmu, Sofia. Dan laki-laki yang menyentuh adik iparnya sebelum akad, tidak pantas memegang tanganmu di pelaminan,” tegas Rayden.
Sofia menunduk lebih dalam. Tangisnya tumpah diam-diam, menetes ke gaun panjang pastel yang ia kenakan hari itu. Tapi tak ada suara. Tak ada pembelaan dan dia terjebak dalam sistem keluarga yang tidak memihak.
“Aku menerima Haidar sepenuhnya, semua kekurangannya akan aku terima.” Jawaban Sofia benar-benar membuat Maula tersulut emosi. Dia berdiri dan menghampiri ayah Sofia, berdiri tegas di depan sang ayah dengan sorot mata yang tajam.
“Anda paham agama bukan? Anda tentu tahu kalau di dalam islam, ada hal yang perlu diperhatikan dalam memilih calon.”
“Saya tahu, kamu tidak perlu mengajarkan saya masalah ini. Kami berhutang budi pada keluarga Haidar dan saya sudah berjanji akan menjodohkan anak saya dengan Haidar.”
“Hutang budi? Anak anda?” Maula melirik anak perempuan yang berdiri di belakang ayah Sofia. “Bukankah dia juga anak anda? Kenapa bukan dia yang anda jodohkan? Oh saya lupa, Pak. Sofia hanyalah anak yang anda angkat karena orang tuanya meninggal di Gaza. Sekarang saya mengerti, kenapa anda dan istri anda mengambil dia, ternyata untuk membalas hutang budi anda.”
“Stop Maula,” bentak ayah Sofia.
“Jangan bentak istriku,” balas Rayden lalu berdiri di belakang Maula.
“Kami menyayangi Sofia layaknya anak sendiri, kami membesarkan dia dan memberikan pendidikan yang layak untuknya. Bahkan kami tidak membeda-bedakan dia dengan anak-anak kami,” jelas ayah Sofia dengan tenang.
“Selama di Madrid, Sofia selalu kekurangan uang jajan, dia jualan online untuk memenuhi kehidupannya. Dia bahkan mencari tempat tinggal yang sederhana, bahkan itu sangat tidak layak karena anda orang berada, Pak. Sekarang saya mengerti, kondisi Sofia begini karena memang kalian hanya membesarkan Sofia untuk membalas budi keluarga Haidar. Kenapa? Karena kalian tidak ingin anak kandung kalian yang menikah dengan pria bajingan itu. Benar kan?” cerca Maula, kedua orang tua Sofia tidak bisa menjawab lagi, mereka menunduk, begitu pun dengan Sofia.
Seakan Sofia benar-benar mendapat perlindungan dan perwakilan suara hatinya.
Ayah Sofia duduk dengan kepala tertunduk, diikuti oleh istrinya.
“Iya. Kami memang mengambil Sofia untuk membalas hutang budi pada keluarga Haidar. Saya tidak mau menjodohkan anak kandung saya dengan dia, keluarga kami sudah lama berhubungan dengan keluarga Haidar dan tidak bisa lepas begitu saja. Haidar memiliki kelainan seks dan mereka butuh gadis yang bisa mengendalikan pria itu, makanya kami memberikan Sofia. Karena Sofia pun berhutang budi pada kami.” Penjelasan dari ayah Sofia benar-benar membuat Maula murka. Maula menatap Sofia yang juga kaget mendengar pengakuan ayahnya sendiri.
“Hutang budi? Sofia tidak berhutang apapun pada kalian. Dia tidak meminta untuk diangkat menjadi anak, kalau pun dia tahu semua ini akan terjadi, mungkin dia akan memilih mati syahid di tanah kelahirannya daripada ikut dengan keluarga ini. Kalian sudah merebut hak hidup Sofia sepenuhnya dan berlindung dibalik kata hutang budi? Kalian sama brengseknya dengan keluarga Haidar.” Tak ada yang bisa melawan perkataan Maula, selain basic-nya yang penuh kekuasaan, Maula juga orang yang pantang disela.
“Tidak ada pernikahan dengan Haidar, jika itu terjadi, saya akan pastikan keluarga anda dan juga Haidar tidak berkutik. Camkan itu. Ayo sayang, kita pulang.” Maula menarik lengan suaminya.
“Kamu tidak berhak memonopoli kehidupan kamu, Maula. Sofia saja tidak keberatan dengan perjodohan ini dan kami menjalankan semua sesuai dengan syariat agama kami, dan kau tidak mengerti apapun mengenai agama kami,” balas ibu Sofia yang tidak terima dengan sikap Maula.
Maula kembali memutar tubuhnya, berdiri tegak di depan kedua orang tua Sofia yang ikut berdiri. Wibawa yang mengalir dari sorot matanya membuat seisi ruangan sejenak terdiam. Rayden sedikit mundur, memberinya ruang agar hati istrinya puas.
Suasana hening, sampai Maula membuka suara dengan nada yang tidak lagi emosional, tapi penuh keyakinan. Matanya lurus menatap ayah Sofia.
“Maafkan saya kalau suara saya terdengar terlalu berani, Pak. Tapi izinkan saya mengingatkan. Pernikahan bukan hanya perjanjian antar keluarga. Ini mitsaqan ghaliza —ikatan yang agung, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an. Ini bukan tentang menutup utang budi, bukan soal harga diri orang tua, tetapi ini soal masa depan seorang anak perempuan.”
Ayah Sofia hendak menyela, tapi Maula lebih dulu mengangkat tangannya dengan tenang dan lembut.
“Nabi ﷺ bersabda:
‘تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ’
‘Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya kamu beruntung.’
(HR. Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Maula menarik napas, menahan air matanya sendiri karena menyadari betapa sunyinya Sofia dalam semua ini.
“Apa agama Haidar benar-benar kuat, Pak, Bu? Apa akhlaknya mencerminkan iman? Karena Islam tidak hanya melihat status, kekayaan, atau gelar bahkan tidak melihat yang namanya utang budi. Islam menimbang akhlak dan tanggung jawab.”
Ayah Sofia menatap Maula sedikit goyah, tapi masih terdiam.
“Dan Rasulullah ﷺ juga bersabda:
‘إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ’
‘Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.’
(HR. Tirmidzi no. 1084)
Anda tentu tahu hadist itu bukan?”
Maula kembali menatap wajah Sofia yang semakin tertunduk.
“Kalau Sofia menikah dengan laki-laki yang menyentuh perempuan lain sebelum akad, yang memperlakukan adik iparnya sebagai pemuas nafsu... lalu kita biarkan demi gengsi dan utang budi, maka kerusakan itu bukan hanya pada Sofia, Pak. Tapi pada anak-anak mereka kelak, pada kehidupan yang hampa kepercayaan dan doa yang tidak akan naik ke langit. Itu jelas Zina dan agama kalian sangat mengutuk perbuatan tersebut. Zina merupakan dosa besar dan kalian malah memakluminya. Apa begitu pemeluk agama yang baik?”
Wajah ibu Sofia kini mulai memucat. Ayah Sofia terlihat menarik napas dalam-dalam.
“Saya tidak bicara sebagai perempuan yang sempurna. Tapi saya bicara karena saya cinta pada sahabat saya ini. Dan cinta berarti mengatakan yang benar, walau pun pahit. Jika Anda tetap memilih untuk menjerumuskan dia, setidaknya jangan atas nama agama. Karena Allah tidak pernah merestui ketidakadilan dibungkus dengan ikatan suci.”
Maula menunduk sejenak, sebagai bentuk adab, lalu mengakhiri. “Saya tahu saya bukan siapa-siapa. Tapi saya yakin, kelak di hadapan Tuhan saya, saya tidak ingin diam saat seseorang yang saya cintai diseret dalam penderitaan atas nama pernikahan.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Tak ada yang bergerak. Hanya suara napas berat dan pandangan yang saling menghindar. Sofia menangis dalam diam, untuk pertama kalinya hari itu bukan karena terpaksa menikah, tapi karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar berdiri untuknya.
“Aku memang bukan seagama dengan kalian, tapi sedikit banyak, aku tahu bagaimana islam mengatur semuanya. Jodoh cerminan diri, Sofia yang baik tidak layak untuk pria bobrok seperti Haidar. Apa kalian tidak malu bicara agama padaku? Bahkan pengamalan kalian dalam ajaran agama yang kalian pegang sangat sangat goyah. Saya permisi.”
“Dan satu hal lagi, Sofia. Mungkin hutan kanibal jauh lebih baik untuk kamu daripada mengabdikan diri pada pria jahanam seperti Haidar.”
Maula dan Rayden melangkahkan kakinya keluar dari rumah Sofia. Hatinya teriris dengan penderitaan yang akan Sofia hadapi ke depannya.
...•••Bersambung•••...