Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 12
Widya tersenyum bengis, ini yang dia suka dari suaminya. Selalu bisa diandalkan dan tak segan-segan membabat habis siapa saja yang berani mengusik kebahagiaan putri mereka.
“Terima kasih Sayang, selama puluhan tahun sikapmu tak pernah berubah. Begitu menyayangi ku dan juga Arimbi.” Widya menyandarkan kepalanya pada lengan atas suaminya.
Sigit Wiguna mengecup pucuk kepala sang istri sambil berbisik lirih. “Kalian segalanya untuk ku.”
Kemudian pasangan suami istri seumuran itu saling bergandengan tangan menaiki tangga, masuk ke dalam kamar mereka.
Malam ini Arimbi dapat terlelap, dikarenakan merasa tenang setelah mendengar pernyataan sang ayah yang berjanji akan menggagalkan rencana pernikahan kedua suaminya. Tanpa dia tahu, bila seseorang sudah melakukan pencegahan jauh-jauh hari, sedia payung sebelum hujan.
.
.
Keesokan harinya, Arimbi sudah tidak lagi bermuram durja. Wajahnya sumringah, dia telah menyusun rencana menjerat suaminya.
“Ma, Pa. Setelah sarapan, aku mau berangkat ke butik! Adisty sudah mengabari kalau telah selesai mengerjakan gaun untuk peragaan busana minggu depan.” Arimbi menarik kursi, mulai menggigit sepotong roti tawar selai coklat.
“Malam ini sepertinya aku bakalan menginap di sini lagi. Malas di rumah Thariq, semakin hari Mustika sangat tak sopan. Rasanya ingin ku robek mulutnya itu,” sungutnya.
“Sabar Sayang. Yang terpenting statusmu istri Thariq, ingat ini baik-baik! Membuatnya setuju untuk menikahi mu bukanlah perkara mudah, kita tak ubahnya pengemis yang merayu almarhum Alamsyah agar mau menjodohkan kalian. Jadi, tahan dirimu! Jangan sampai bertindak gegabah. Thariq sangat mencintai adik dan ibunya.” Widya memberikan wejangan yang ditanggapi cebikan oleh Arimbi.
“Iya, iya. Sudahlah, membicarakan dua orang menyebalkan itu hanya membuat ku kehilangan nafsu makan saja.” Ia memundurkan kursi lalu berdiri dan melengos pergi.
“Anak mu, Pa. Tak pernah berubah, sifat manja dan sesuka hati begitu melekat padanya.” Widya menggeleng kepala sambil tersenyum.
Sigit Wiguna terkekeh, dia terlihat begitu bahagia. Tuhan sangat baik kepadanya, memberikan istri dan anak perempuan cantik paras, pekerja keras, cerdas … sehingga dirinya dipandang sebagai laki-laki yang beruntung di muka bumi.
.
.
Pada sebuah butik mewah berseberangan dengan plaza terbesar di pusat kota. Terdapat seorang wanita berwajah tegas, mengenakan setelan kantor, kemeja dan rok span ketat. Dia tengah sibuk memberikan sentuhan terakhir pada gaun pengantin rancangannya.
Begitu melihat pemilik butik membuka pintu kaca, langsung saja dia membungkuk hormat. “Pagi, Nyonya.”
Tanpa membalas sapaan, Arimbi mengulurkan tas tangan, yang langsung diraih asistennya. “Adisty, ikut aku ke atas!”
“Baik, Nyonya.” Langkahnya terlihat tenang, meskipun barang bawaannya cukup berat dan lumayan banyak. Bukan cuma tas tangan, tapi juga paper bag berisi contoh bakal kain.
.
.
“Aku butuh bantuanmu. Carikan obat perangsang paling manjur,” titahnya tanpa basa-basi.
“Baik, Nyonya. Apa ini untuk Tuan Thariq?” tanyanya.
Arimbi mengangguk, memperhatikan sosok yang sebenarnya sangat berjasa pada karirnya sebagai seorang desainer. Dirinya tak sehebat orang pikirkan, dibelakangnya ada Adisty yang ahli membuat sketsa gaun-gaun indah.
“Kalau memang Anda ingin membuatnya bertekuk lutut, pastikan lakukan di wilayah aman, bebas dari gangguan Mustika, Ibu Ayda, dan juga asistennya, Damar. Agar rencana Nyonya berjalan sempurna.”
“Kau selalu bisa ku andalkan Dis.” Arimbi menghempaskan bokongnya pada kursi kebesaran. “Thariq berencana menikah lagi dengan wanita yang dulu tak sengaja dia tiduri.”
Adisty maju satu langkah, dia sudah tau tentang kisah malam panas itu. Arimbi hampir selalu berkeluh kesah kepadanya. “Bisa jadi dia mencoba mendekati, merayu, memainkan peran seorang wanita malang yang berhasil membuat Tuan Thariq merasa bersalah, lalu memutuskan untuk menikahinya.”
“Sangat janggal rasanya, setelah sekian tahun mengapa dia muncul lagi. Kenapa tak dari dulu sebelum Tuan Thariq menikahi Nyonya. Dari sana kita bisa mengambil kesimpulan kalau si wanita asing itu memiliki niat terselubung,” sambungnya tenang.
Pupil mata Arimbi membesar, dia menumpukan tangan di atas meja. “Kau benar, mengapa aku tak kepikiran sampai ke sana. Lantas, aku harus apa?”
“Saran saya, bila tak berhasil menggagalkan rencana pernikahan itu, biarkan saja mereka menikah. Bukankah akan lebih leluasa memberikan pelajaran kepada seseorang bila keberadaannya begitu dekat dengan kita.” Adisty tersenyum penuh maksud.
“Dia pintar memainkan peran, maka Anda juga harus cerdas membalas dengan elegan. Jangan sampai lepas kendali, berakhir kehilangan simpati Tuan Thariq, Nyonya,” sambungnya.
Arimbi menyeringai culas, di dalam otaknya sudah tergambar jelas bagaimana caranya menyiksa wanita murahan yang berencana merebut suaminya.
“Bila cara halus tak mempan, lebih baik siram saja wajahnya menggunakan air keras! Saya jamin, tuan Thariq takkan lagi tertarik dengannya, ataupun dia sendiri yang menghilang bak ditelan bumi, lantaran tak tahan menanggung malu.” Bibir berwarna pink itu tersenyum, pancaran matanya menajam.
Gelak tawa Arimbi membahana. Asistennya ini memang luar biasa cerdik, terkenal tak punya hati. Seringkali memberikan saran kejam tapi manjur.
***
Tiga hari kemudian, untuk pertama kalinya setelah tiga minggu berdiam diri di dalam apartemen, Sahira pergi bersama Thariq Alamsyah. Menuju suatu tempat nan jauh dari pusat perkotaan.
“Kalau ngantuk, tidurlah! Tak perlu menemani saya menyetir.” Sangat ringan tangannya mengelus lengan calon istrinya yang tertutup cardigan.
Kali ini Sahira tampil feminim, mengenakan dress motif bunga Daisy yang panjangnya selutut, lalu dipadupadankan dengan cardigan polos berwarna putih, rambutnya dibiarkan tergerai.
Senyum hangat Sahira, merasuk ke relung hati Thariq, tatapan sayu itu membuat si pria mengecup jemari yang ia genggam, lalu melepaskan pelan agar wanitanya dapat beristirahat sejenak.
Di Belakang mobil yang dikendarai oleh Thariq, ada dua motor sport mengikuti dari jarak aman, mereka para orang kepercayaan Thariq Alamsyah dibawah kepemimpinan Damar. Menguasai ilmu bela diri mumpuni, keberadaannya tak mencolok mata, tapi begitu gesit bila sang tuan terancam bahaya.
Sahira menurunkan sedikit posisi jok, lalu memiringkan badan memunggungi Thariq. Tentu saja dirinya tidak tertidur, hanya sekadar memejamkan mata. Perjalanan ini bukan hal mudah baginya, apalagi melewati suatu tempat yang selalu berhasil membuatnya menangis tersedu-sedu. Demi menutupi nya, ia memilih berpura-pura tertidur.
Setelah kurang lebih menempuh perjalanan tiga jam lamanya, mobil jenis Fortuner berwarna putih mulai memasuki kawasan komplek villa Berastagi.
Begitu sampai pada bangunan tidak terlalu besar tapi terlihat nyaman, Thariq mematikan mesin mobil. Menoleh seraya tersenyum kala melihat mulut terbuka Sahira yang posisi tidurnya terlentang.
‘Apa benar sudah ada cinta dihatiku untuk mu Hira? Bila tidak, lantas apa namanya ini? Melihat kau tersenyum, tertawa … aku ikut bahagia. Namun, saat dirimu murung, seperti menyimpan kesedihan mendalam … aku langsung kelimpungan mencari cara agar kau kembali ceria.’
“Hira ….” Jemarinya menyusuri pipi lembut yang bebas dari make-up. Sahira hanya minta dibelikan skincare yang biasa dipakainya, tapi tidak dengan produk kosmetik, cuma pelembab bibir.
“Hem … sudah sampai?” tanyanya dengan suara parau khas orang bangun tidur, begitu natural membuka mata.
“Kita sudah tiba di depan villa ibu panti mu. Perlahan saja!” Thariq menyelipkan tangan pada belakang punggung Sahira, membantunya bangun.
Sahira menatap lama netra coklat Thariq, lalu menggeleng kepala sambil tersenyum hampa.
“Kenapa?”
“Abang, tampan.”
“Apa?” Thariq sampai mencondongkan tubuhnya, tapi sayang Sahira begitu gesit membuka pintu mobil.
“SAHIRA!”
“Bunda!” Langkahnya melebar, ia berlari masuk ke dalam pelukan ibu Panti.
“Apa kabar, Tante Selina Pangestu?”
"Bunda kenal Bang Thariq? Bang Thariq kenal Bunda? Kok bisa ...?"
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔