kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Malam Penguncian
Desa Karangjati tenggelam dalam keheningan yang tak biasa. Bulan menggantung rendah di langit, bulat dan pucat, seolah menjadi saksi bisu akan malam yang telah lama diramalkan oleh Mbah Tejo: malam penguncian, malam saat seluruh desa bersatu menjaga batas antara dunia nyata dan dunia gaib.
Sejak pagi, warga sudah diberitahu agar menyiapkan segala sesuatu. Pintu dan jendela harus ditutup rapat. Cermin ditutup dengan kain putih. Anak-anak dilarang bermain di luar selepas asar. Bahkan ayam-ayam pun tampak gelisah, sesekali berkokok walau matahari masih terang.
—
Persiapan di Langgar
Pak Lutfi berdiri di serambi langgar, mengenakan gamis putih dan sorban hijau yang jarang ia pakai. Di hadapannya, beberapa kendi tanah liat telah diisi air doa, diletakkan mengelilingi kitab tua yang diwarisi dari kakeknya. Di sebelahnya, Mbah Tejo duduk bersila, matanya terpejam sambil menggenggam tasbih akar bahar yang katanya sudah menemaninya menangani puluhan gangguan gaib.
Pak Lutfi: “Sudah siap, Mbah?”
Mbah Tejo: “Secara lahir, iya. Tapi batin… malam ini bukan hanya tentang jin dan setan. Tapi juga hati manusia.”
Pak Lutfi mengangguk dalam-dalam.
—
Warga Bersiap
Di rumah-rumah warga, suasana mencekam. Lilin sudah disiapkan. Sesajen kecil seperti bunga melati, kembang kantil, dan daun sirih diletakkan di pojok-pojok rumah atas anjuran Mbah Tejo.
Bu Warti: berbisik ke suaminya “Pak, ini beneran ora boleh buka pintu ya? Meski ada yang ngetuk?”
Pak Warti: “Iya, Bu. Mbah Tejo bilang... makhluk-makhluk itu suka menyamar. Bisa suara anak kecil, bisa suara tetangga.”
Bu Warti: bergidik “Astaghfirullah…”
—
Di Rumah Udin dan Pedot
Udin tampak pucat, tangannya gemetar saat menempelkan daun kelor di setiap sudut rumah. Sementara Pedot duduk di kursi dengan sarung menutupi kepala.
Udin: “Tot, kalau ada yang ngetuk, jangan dibukain ya.”
Pedot: “Iya, aku tau. Tapi... kalau suara mak tua ku? Dia biasa nginep sini kalau malam Jumat…”
Udin: melotot “Tot! Nek jenenge mak tua mu ketok jam segini baru datang, berarti itu bukan mak tua mu!”
Pedot: meringkuk makin dalam “Iyo, iyo… gusti paring perlindungan…”
—
Menjelang Tengah Malam
Langit mulai gelap total. Angin bertiup kencang. Kabut tipis mulai menyusup dari arah hutan di belakang desa. Mbah Tejo berdiri di perempatan desa, mengangkat kendi tanah dan menumpahkannya ke tanah sambil mengucapkan doa-doa dalam bahasa Jawa kuno.
Mbah Tejo: “Bumi, langit, nggerahna wesi, balekno niat ala, tutup lawang kang mbukak…”
Pak Lutfi mengumandangkan adzan. Tapi anehnya, gema adzannya seperti tertelan kabut. Suaranya tidak merambat jauh.
Dan tepat saat jam menunjuk pukul 00:00, desa Karangjati berubah sunyi senyap.
—
Teror Dimulai
Di rumah Pak Wardi, suara tangisan bayi terdengar samar dari belakang dapur.
Istrinya: “Pak… kita gak punya bayi…”
Pak Wardi: “Jangan diladeni. Tutup telinga. Fokus dzikir.”
Di rumah Udin, suara ketukan terdengar pelan.
Tok... tok... tok...
Suara perempuan: “Udin… bukain… ini ibu…”
Udin: gemetar, berbisik “Ibuku… wis mati setahun lalu…”
Pedot yang mendengar suara itu langsung pingsan di tempat.
—
Wujud-Wujud Muncul
Di beberapa titik desa, makhluk-makhluk mulai menampakkan diri. Ada yang berjalan tertatih-tatih tanpa kepala, ada perempuan berambut panjang dengan mata bolong, dan ada pula yang hanya bayangan tanpa bentuk, melayang-layang di sekitar rumah warga.
Pak Bolot yang diam-diam ngintip dari celah jendela malah teriak-teriak.
Pak Bolot: “Wooo… ono banci ngambang! Rambute nglibet pager! Kayak jemuran ketabrak angin!”
Istrinya: “Pak! Dibilangin ojo ndelok jendela! Tutup!”
Pak Bolot: menutup jendela dengan kain pel
—
Kekuatan Asli Terkuak
Sementara di langgar, Pak Lutfi dan Mbah Tejo dikejutkan oleh sosok yang muncul dari dalam asap dupa.
Sosok itu: “Sudah kubilang… ini bukan sekadar gangguan. Tapi warisan. Dan kalian tahu… siapa pewarisnya.”
Pak Lutfi menggertakkan gigi.
Pak Lutfi: “Orang yang menyewa rumah kontrakan itu… keturunan Pak Wiryo…”
Mbah Tejo: “Dan dia… sudah menyerahkan dirinya pada perjanjian lama. Untuk membalaskan dendam keluarganya.”
Sosok itu: “Dan kalian… akan menerima ganjarannya malam ini.”
Tiba-tiba, petir menyambar langit. Asap membumbung tinggi, dan sekelebat bayangan hitam masuk ke langgar.
—
Ujian Terakhir
Pak Lutfi memegang tasbih, membaca ayat-ayat perlindungan. Mbah Tejo berdiri, membuka bungkusan kain tua yang berisi keris pusaka.
Mbah Tejo: “Keris ini dulu digunakan untuk mengunci ilmu Pak Wiryo. Sekarang saatnya digunakan kembali.”
Dalam cahaya remang, keris itu tampak bergetar. Dan dari arah selatan, terdengar jeritan panjang yang menyayat hati. Suara itu bukan suara hantu biasa. Tapi suara nenek bisu yang dulu tak bisa bicara—kini menangis sekeras-kerasnya.
—
Fajar Menyingsing
Saat ayam jantan berkokok, makhluk-makhluk itu lenyap perlahan. Kabut surut. Angin berhenti.
Desa Karangjati kembali tenang. Tapi tak semuanya selamat. Ada warga yang ditemukan pingsan, beberapa kehilangan suara, bahkan Pak Jarwo sempat kerasukan dan kini dirawat.
Namun satu hal pasti: penguncian berhasil.
Pak Lutfi berdiri di ujung jalan desa, menatap langit yang mulai memerah.
Pak Lutfi: “Malam ini… kita menang. Tapi perang belum usai.”
—
Siapa Pewaris Kutukan?
Pagi di Desa Karangjati tak seperti biasanya. Meskipun fajar telah menyingsing dan ayam jantan berkokok nyaring dari setiap penjuru, rasa lega belum sepenuhnya meresap di hati warga. Beberapa masih memilih tinggal di dalam rumah, menyalakan dupa dan memperbanyak doa, sementara yang lain pelan-pelan mulai keluar untuk memastikan bahwa dunia yang mereka kenal masih ada.
Mbah Tejo duduk di balai desa, matanya merah menahan kantuk dan lelah. Pak Lutfi menemaninya, menyeduh teh manis yang sudah mulai dingin. Mereka berdua menatap satu sama lain dalam diam, seolah memikirkan hal yang sama.
Pak Lutfi: “Tadi malam... bukan sekadar gangguan. Ini bukan akhir.”
Mbah Tejo: (mengangguk perlahan) “Kutukan itu belum lepas, Pak Ustad. Dan aku curiga, ada darah lama yang terbangun kembali…”
—
Geger di Rumah Kontrakan
Pagi itu, rumah kontrakan yang berada di ujung jalan, yang sempat disewakan kepada keluarga muda bernama Mas Ragil dan istrinya, Bu Desi, menjadi pusat perhatian. Beberapa warga mengaku melihat sinar aneh dari dalam rumah itu semalam. Ada pula yang mendengar suara orang tertawa… lalu menangis.
Udin dan Pedot yang kebetulan lewat, memutuskan untuk intip-intip dari balik pagar.
Udin: “Tot, menurutmu mereka ikut ngalamin gangguan semalem?”
Pedot: “Gak tau, Din. Tapi pas aku pulang ronda, kok rumahnya masih terang. Padahal warga lain pada matiin lampu semua.”
Udin: “Wah… jangan-jangan… mereka yang bawa malapetaka itu…”
Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Mas Ragil muncul, wajahnya pucat. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Udin dan Pedot… lalu menutup pintu kembali dengan perlahan.
Pedot: (menelan ludah) “Din… matane Mas Ragil tadi… kayak kosong…”
Udin: “Kita harus bilang Pak Lutfi.”
—
Kabar yang Mengusik
Siang harinya, di langgar, Pak Lutfi membuka kitab warisan leluhur yang selama ini disimpan rapat. Di sana tertulis silsilah panjang orang-orang yang pernah terlibat dengan ilmu hitam di masa lalu. Salah satu nama membuatnya terdiam.
Pak Lutfi: “Ragil… cucunya Pak Wiryo. Dulu sempat pergi merantau setelah keluarganya hancur karena pengusiran besar-besaran.”
Mbah Tejo: “Dan sekarang dia kembali, seolah hanya menyewa rumah. Tapi nyatanya… dia bawa warisan kelam itu ke sini lagi.”
Pak Lutfi: “Kalau benar begitu… kita harus bicara langsung dengannya.”
—
Konfrontasi di Petang Hari
Sore harinya, Pak Lutfi dan Mbah Tejo datang ke rumah kontrakan. Pintu dibuka oleh Bu Desi yang tampak lesu.
Pak Lutfi: “Kami ingin bicara dengan Mas Ragil.”
Bu Desi: (berbisik pelan) “Mas Ragil... sekarang sering berubah, Pak. Kadang bicara sendiri. Kadang duduk diam di kamar. Saya takut.”
Mas Ragil akhirnya keluar juga, mengenakan kain sarung dan kaus lusuh. Tatapannya kosong.
Mbah Tejo: “Kamu tahu siapa kakekmu, Nak?”
Mas Ragil: “Pak Wiryo. Dia dikhianati. Diusir. Malam ini… darahnya menagih balas.”
Pak Lutfi: “Tapi dendam takkan menenangkan arwah. Ini hanya akan membuka luka yang tak kunjung sembuh.”
Mas Ragil tertawa kecil, suaranya serak.
Mas Ragil: “Saya cuma pewaris. Yang membuka pintu itu… bukan saya.”
Tiba-tiba ia menggigil, lalu terjatuh. Dari mulutnya keluar darah hitam pekat. Pak Lutfi segera membacakan doa perlindungan, sementara Mbah Tejo menorehkan jari telunjuknya ke kening Mas Ragil dengan minyak samin wangi.
—
Rahasia yang Terbongkar
Malam itu, ketika Mas Ragil siuman, ia mulai bicara terbata.
Mas Ragil: “Saya nemuin buku tua milik kakek di lemari... istri saya gak tahu. Saya penasaran. Katanya ada cara buat ‘mendengar’ dunia lain. Saya coba ritualnya. Tapi yang datang bukan kakek... melainkan… sesuatu yang lain.”
Pak Lutfi: “Itu bukan sesuatu, Nak. Itu gerbang. Gerbang untuk makhluk-makhluk yang selama ini dikurung oleh para leluhur kita.”
Mas Ragil: “Saya gak bisa nutupnya. Mereka sudah keluar…”
Mbah Tejo: “Tapi kita bisa kunci lagi. Tapi kamu harus bantu.”
—
Peringatan untuk Warga
Pak Lutfi mengumumkan di langgar malam itu:
Pak Lutfi: “Warga semua harus berhati-hati. Malam-malam ke depan, kita akan adakan dzikir dan penjagaan. Jangan tinggalkan rumah selepas maghrib. Dan jangan biarkan anak-anak keluar tanpa pendamping.”
Warga mengangguk patuh. Pak Bolot sempat nyeletuk:
Pak Bolot: “Kalo udah tua boleh keluar gak, Pak Ustad? Saya kan gak bisa ndenger, jadi kalo ada suara aneh ya aman-aman aja toh!”
Bu Bolot: (nimpuk bantal) “Aman apanya, Pak! Kalo kesurupan trus diem aja, nanti dikira lagi ngelamun malah gak ditolongin!”
Tawa kecil meredakan suasana tegang malam itu.
—
Kembalinya Sesuatu
Namun, di tempat lain, tepat di sudut kebun tempat nenek bisu dulu dibunuh, tanah mulai merekah. Aroma amis tercium kuat.
Seekor anjing milik Pak Salim mendekat, menggonggong ke arah tanah itu… lalu tiba-tiba menjerit dan lari terbirit-birit.
Sesuatu bangkit dari tanah. Tak terlihat sepenuhnya, tapi jelas: bukan manusia.
—
Di Balik Layar
Di tempat persembunyian, si dukun pembuat onar — yang dikenal dengan nama Mbah Gentho — sedang mempersiapkan sesajen baru.
Mbah Gentho: “Kalian pikir bisa mengunci gerbang tanpa bayarannya? Kukorbankan satu… dua… dan sebentar lagi, kutemui pewarisnya.”
Ia menaburkan darah ayam ke dalam kendi, lalu tertawa pelan. Di belakangnya, bayangan tinggi menjulang… dan bernafas.
—
Desa Karangjati memang berhasil melewati malam penguncian. Tapi bayangan baru telah muncul. Kini bukan hanya dendam masa lalu yang mengancam, tapi juga kekuatan-kekuatan yang selama ini tertidur.
Dan satu pertanyaan besar kini menggantung di udara:
Siapa pewaris kutukan sebenarnya?
Bayangan di Balik Gentong
Malam kembali menyelimuti Desa Karangjati. Langit mendung, bulan tersembunyi di balik awan kelabu, dan suara jangkrik terdengar tak seharmoni biasanya. Warga desa mulai mematuhi peringatan Pak Lutfi: selepas Maghrib, semua menutup pintu rapat-rapat, mematikan lampu luar, dan melantunkan ayat suci dalam hati, semoga saja cukup jadi perisai.
Namun, di balik dinding sunyi desa itu, ada sesuatu yang tak tidur. Sesuatu yang mengendap, mengincar… dan menunggu waktu.
—
Rapat Rahasia
Di rumah Pak Lurah, malam itu diadakan pertemuan kecil. Hadir di sana Pak Lutfi, Mbah Tejo, Lurah Parmin, Redo, serta tiga orang pemuda tangguh pilihan desa: Andri, Deki, dan Indra.
Pak Lutfi: “Kita harus punya lingkaran penjaga. Anak-anak muda yang siap siaga di sekitar lokasi-lokasi rawan. Bukan buat berkelahi, tapi sebagai mata dan telinga.”
Mbah Tejo: “Kebun belakang rumah kosong Bu Samirah, sumur tua di belakang musala lama, sama satu lagi... gentong tua di rumah Mbah Gentho. Tempat-tempat itu mengeluarkan aura aneh sejak semalam.”
Pak Lurah: “Tapi Mbah Gentho itu orang lama di sini. Dulu malah sering bantu warga, meski caranya rada nyeleneh.”
Redo: (dengan suara tegas) “Orang yang tahu soal dunia lain, Pak, bisa jadi penyelamat. Tapi juga bisa jadi pemanggil maut. Tergantung niatnya.”
Pak Lutfi menatap Redo, lalu mengangguk pelan. Dalam sorot mata anak muda itu, ia tahu ada tekad besar, dan mungkin… sesuatu yang sudah disembunyikan lama.
—
Gentong yang Tak Wajar
Esok paginya, Redo dan Deki diam-diam menyelinap ke pekarangan rumah Mbah Gentho. Rumah itu tampak sepi, seperti tak berpenghuni. Cat dinding sudah mengelupas, pohon pisang tumbuh liar di halaman, dan suara burung gagak terdengar dari arah belakang rumah.
Di sana, berdiri sebuah gentong besar dari tanah liat tua. Retak di sana-sini, tapi masih tegak. Yang aneh, gentong itu mengeluarkan suara seperti desahan… seolah ada yang bernafas di dalamnya.
Deki: (berbisik) “Do, aku ngrasain ini bukan gentong biasa. Kayak… ada yang ngawasi kita.”
Redo: “Kita buka tutupnya. Tapi jangan disentuh langsung.”
Redo mengeluarkan selembar kain putih yang dibasahi air ruqyah dari kantong kecil di balik jaketnya. Perlahan, ia pegang tutup gentong itu dengan kain, lalu mengangkatnya pelan.
Hwaaaaaakkkk!
Asap hitam langsung menyembur keluar. Bau amis menyengat. Deki mundur sambil menutup hidung, sedangkan Redo langsung menutup gentong lagi dengan cepat. Dari dalam terdengar suara cekikikan perempuan… dan tangis anak kecil.
Redo: (mendesah) “Ini bukan tempat menyimpan jin. Ini tempat mengurung dendam…”
—
Pengakuan Istri Mbah Gentho
Tak lama kemudian, Bu Nyai, istri Mbah Gentho, mendatangi rumah Pak Lutfi. Wajahnya penuh ketakutan, tangannya gemetar.
Bu Nyai: “Pak Ustad… saya harus jujur. Mbah Gentho sudah lama berubah. Sejak anak kami meninggal… dia mulai melakukan hal-hal aneh.”
Pak Lutfi: “Apa yang dilakukan suamimu?”
Bu Nyai: (menangis) “Dia bilang ingin membangkitkan arwah anak kami. Tapi yang datang… bukan anak kami, Pak. Sejak itu dia mulai bicara sendiri, menyimpan benda-benda aneh di gentong itu. Katanya, itu ‘wadah penampung sakit hati dunia lain’…”
Pak Lutfi: “Dan dia tak berhenti, bahkan saat tahu apa yang dia panggil adalah kegelapan…”
—
Gerbang Kedua: Tanda di Langit
Malam itu, langit Karangjati berubah kemerahan. Petir menyambar tak beraturan, namun tak terdengar suara guntur. Beberapa warga yang tak kuat dengan tekanan batin mulai meracau. Salah satunya adalah Pak Joyo, ketua RT yang tiba-tiba berlari ke jalan sambil berteriak:
Pak Joyo: “Kalian gak lihat?! Wanita itu berdiri di atas langit-langit! Rambutnya menjuntai, mukanya hitam, matanya... bakar rumahku! BAKAAAR!!”
Warga menahannya. Tapi tak sedikit yang mulai bertanya-tanya: ini hanya teror dari dunia halus, atau ada seseorang yang sengaja membuka semua gerbang ini?
—
Pak Bolot dan Gentong Misterius
Sementara itu, di rumah Pak Bolot, terjadi hal tak terduga. Saat malam tiba, ia bermaksud mengambil air dari gentong belakang rumah. Tapi sesaat setelah membuka tutupnya…
Pak Bolot: “Waduh… kok ada suara orang nangis… ini air gentong, apa radio rusak?”
Ia coba angkat gayung, tapi airnya berubah hitam, lalu menyembur ke atas. Pak Bolot terkejut, terpental jatuh ke belakang.
Pak Bolot: “Lhooo! Kenapa malah muncrat kayak cola dikocok?!”
Istrinya, Bu Bolot, datang membawa sapu lidi, menghajar gentong sambil berteriak:
Bu Bolot: “Kamu tu gentong atau jin ngumpet, ha?! Sini kalau berani, kita tabokin bareng!”
Anehnya, air gentong langsung berhenti muncrat. Sejak saat itu, gentong mereka tidak lagi aneh. Mungkin… takut sama Bu Bolot.
—
Bayangan Terakhir
Di ujung desa, Mbah Gentho terlihat berdiri menatap langit. Matanya putih semua, mulutnya tersenyum simpul. Di tangannya, ia membawa kendi kecil berisi cairan hitam.
Mbah Gentho: “Sudah dua gerbang terbuka. Sisa satu lagi… dan dia akan datang. Pewaris sejati dari darah tua yang dikhianati…”
Dan di balik semak, sepasang mata memandangi Mbah Gentho.
Itu Redo.
—
Kini Redo yakin: ini bukan sekadar teror jin biasa. Ini adalah warisan dendam yang mencoba bangkit lewat media manusia. Gentong bukan hanya wadah… tapi portal.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi siapa pewaris kutukan. Tapi…
Mampukah pewaris yang sadar, menutup kutukan yang telah dibuka oleh mereka yang kehilangan arah?