Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Restoran fine dining di pusat kota siang itu tak ramai. Musik instrumental lembut mengisi ruangan, pelayan melangkah tenang di antara meja-meja.
Nagendra duduk di tengah, mengenakan jas abu gelap, ekspresinya seperti biasa—dingin dan tak bisa ditebak.
Di sisi kanannya: Adeline dengan gaun merah marun, duduk tegak dengan senyum dipaksakan.
Di sisi kirinya: Alesha, menyibak rambutnya pelan, berusaha tampil santai—meski pandangan Nagendra tak pernah benar-benar tertuju padanya.
Makan siang itu… sunyi.
Hanya terdengar suara alat makan menyentuh piring.
“Kamu kenapa diam terus?” Alesha memecah keheningan.
“Sedang makan,” jawab Nagendra singkat.
Adeline memutar mata.
“Kamu selalu seperti ini. Dingin. Bahkan saat bersama dua wanita yang menyukaimu.”
Nagendra berhenti mengunyah, lalu menatap Adeline tanpa ekspresi.
“Mungkin karena aku tidak meminta keduanya untuk menyukaiku.”
Hening lagi.
Adeline terdiam. Alesha juga.
Untuk pertama kalinya, kalimat itu terdengar… jujur. Dan menyakitkan.
⸻
Sementara itu, Cathesa sedang menyortir dokumen di ruang kerja lantai atas. Rey mendatanginya, membawa dua gelas kopi.
“Kamu kelihatan capek,” katanya sambil duduk di pinggir meja.
“Nggak, cuma… pusing lihat drama tiga arah itu.”
Rey tersenyum miris.
“Drama tiga arah?”
“Nagendra, Adeline, Alesha. Saling rebut, saling benci, saling berebut hati yang bahkan belum tentu bisa dimiliki.”
Rey menatap Cathesa lama.
“Dan kamu? Kamu bukan penonton di drama itu, Thesa.”
Cathesa terdiam.
“Rey…”
“Aku cuma ingin kamu tahu, sejak SMA aku selalu lihat kamu dari bangku cadangan. Dan sekarang, aku tetap di bangku itu. Tapi jangan sampai kamu ikut main di lapangan yang penuh luka cuma karena kamu nggak sadar… kamu pantas jadi pemain utama.”
⸻
Malam harinya, Nagendra kembali ke kantor untuk mengambil berkas. Ia mendapati Cathesa masih di ruangan, sendirian.
“Kamu belum pulang?”
Cathesa kaget, buru-buru berdiri.
“Belum, Pak… Saya masih ngetik laporan tender.”
“Jangan terlalu larut.”
Ia mengangguk. Tapi langkah Nagendra berhenti tepat di depan meja kerjanya.
“Cathesa…”
Ia menoleh cepat.
“Iya, Pak?”
“Kamu… bisa makan siang bareng saya besok?”
Cathesa membelalak.
“Hah? Maksudnya, saya?”
“Iya. Kamu.”
Suara Nagendra datar, tapi kali ini… ada sedikit kehangatan di ujung nadanya.
Malam di lantai eksekutif Alejandro Corp terasa sunyi. Hanya suara kipas komputer dan denting keyboard Cathesa yang sesekali terdengar.
Nagendra berdiri di depan meja kerjanya, seolah sedang memikirkan sesuatu. Matanya tak fokus, pandangannya sesekali mengarah ke Cathesa.
“Besok, kamu bisa?” ulangnya pelan.
Cathesa mengerjapkan mata, masih belum percaya.
“Bisa sih, Pak… Tapi, kok tiba-tiba ngajak makan siang?”
Nagendra tak menjawab langsung. Ia berjalan pelan ke sisi mejanya, menatap jendela besar yang mengarah ke gedung-gedung kota yang mulai menyala.
“Karena kamu bukan bagian dari drama. Dan entah kenapa… aku butuh ruang tanpa suara-suara bising.”
Cathesa terdiam. Kata-katanya sederhana, tapi cukup membuat degup jantungnya melambat—dan melaju sekaligus.
Ia ingin bertanya banyak. Tapi ia tahu, dengan Nagendra, terlalu banyak tanya hanya akan dijawab dengan sunyi.
“Baik, Pak,” katanya akhirnya, pelan.
“Saya bisa.”
Nagendra mengangguk, lalu berbalik pergi. Tapi sebelum membuka pintu…
“Oh iya,” ujarnya singkat. “Boleh jangan manggil aku ‘Pak’ pas makan siang nanti?”
Cathesa membeku sejenak.
“…Iya. Kalau begitu… Nagendra?”
Untuk pertama kalinya, pria dingin itu menoleh dengan sudut bibir yang… nyaris terlihat seperti senyum.
⸻
Di tempat lain, Rey duduk di dalam mobilnya yang diparkir di basement. Ia baru saja turun dari atas, tapi tak punya keberanian untuk masuk ke ruangan Cathesa lagi setelah melihat Nagendra berdiri di sana.
Tangannya mengepal di setir.
“Salah aku juga… Kenapa cuma diem dari dulu…”
Ia menatap pantulan dirinya di kaca spion. Di balik topeng sahabat, hatinya meronta. Tapi seperti biasa… ia memilih diam.
⸻
Sementara itu, Adeline duduk di kamar apartemennya, menatap layar ponsel yang kosong dari pesan.
“Dia bahkan nggak membalas ‘terima kasih’…”
Lalu ia menggulirkan layar, membuka percakapan dengan ibunya Nagendra.
“Tante, aku akan pastikan rencana kita berhasil. Aku gak akan biarkan siapa pun merebut Nagendra.”
Tangannya mengepal di atas lutut.
“Apalagi… dia.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Visual Rey ...
...Visual Alesha...
...Visual adeline ...
Setelah Nagendra pergi, ruangan kembali sepi.
Terlalu sepi, hingga suara detak jantung Cathesa sendiri terasa mengganggu.
Ia menatap layar laptop, tapi pikirannya tak lagi fokus pada laporan tender yang setengah jadi.
“Besok makan siang bareng…”
Kalimat itu berulang-ulang di kepalanya, bagai notifikasi tanpa henti.
“Ya Tuhan… kenapa jantungku kayak gini cuma karena makan siang?” gumamnya sambil memegang dada sendiri.
Ia menggigit bibir bawahnya, lalu menepuk-nepuk pipinya pelan.
“Tenang, Thesa. Itu cuma makan. Dia juga ngomongnya biasa aja. Cuma makan siang… bukan ngajak kawin.”
Tapi sayangnya, logika tak bisa menenangkan hatinya.
⸻
Sementara itu, Nagendra duduk di dalam mobilnya, memandangi ponsel di tangannya. Ia membuka aplikasinya… membuka obrolan kosong.
Dengan Cathesa.
Tak ada pesan. Tapi jarinya bergerak seperti hendak mengetik sesuatu. Lalu berhenti.
Mengetik lagi. Hapus lagi.
“Apa yang sebenarnya kamu cari, Gen?” pikirnya sendiri.
Biasanya dia tak peduli pada siapa pun. Tapi entah kenapa, ada ketenangan aneh saat berbicara dengan Cathesa. Bukan karena dia menarik. Bukan karena dia pintar. Tapi… karena dia tidak mencoba menjadi siapa pun di dekatnya.
⸻
Di sisi lain kota, Alesha duduk di bar bersama dua temannya. Tapi pikirannya melayang. Ia memandangi segelas wine yang tak disentuh sejak tadi.
“Kamu kenapa sih? Biasanya juga santai aja kalau Nagendra cuek,” kata salah satu temannya.
“Karena kali ini bukan cuma soal dia cuek,” jawab Alesha pelan.
“Tapi karena ada satu cewek yang… dia nggak cuekin.”
⸻
Dan di tempat berbeda, Adeline tengah menelepon seseorang.
“Aku butuh kamu cari tahu siapa sebenarnya gadis bernama Cathesa Arunea Agastha itu,” ucapnya dengan suara rendah.
“Kalau dia benar-benar bukan siapa-siapa, kenapa bisa-bisanya dia dapat perhatian dari Nagendra?”
Dia menyeringai kecil di ujung kalimat.
“Aku tidak akan kalah dari perempuan biasa.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pintu ruang tamu terbuka lebar, dengan suara tawa nyaring yang langsung membuat perut Cathesa mulas.
“Thesaaaaa! Ya ampun, kamu masih kerja di kantor yang dulu itu?”
suara cempreng Bibi Mira langsung menyambutnya, lengkap dengan tatapan penuh penilaian dari atas sampai bawah.
Cathesa tersenyum tipis, mencoba sopan.
“Iya, Bi. Masih di Alejandro Corp. Tapi sekarang udah pindah posisi. Saya sekarang jadi sekretaris pribadi CEO-nya.”
Bibi Mira terdiam sepersekian detik—tapi hanya sepersekian. Lalu seperti biasa, ia tertawa kecil yang… tidak terdengar tulus sama sekali.
“Sekretaris? Yah… tetep aja bawahannya orang. Belum jadi manajer juga kan? Belum bisa kayak Diva.”
Di sebelahnya, Diva, si anak kebanggaan bibi itu, duduk dengan manis sambil menggulir ponsel.
“Aku sih bentar lagi training ke Singapura. Kantorku nawarin jadi junior analis. Kalau lancar, langsung dipromosikan.”
“Iya makanya! Anak sekarang tuh harus cepat naik, bukan cuma jadi asisten. Sekretaris tuh… ya… kerjaan ngetik, ngatur jadwal, antar kopi, ya gak sih?”
Bibi tertawa lagi, bangga dengan komentarnya sendiri.
Cathesa menatap mereka sebentar.
Dalam hatinya ingin bicara: “Saya ini sekretaris pribadi CEO terbesar di Jakarta, Bi. Bukan tukang fotokopi.”
Tapi ia hanya tersenyum.
“Kerjaanku cukup strategis kok, Bi. Saya pegang agenda CEO langsung. Bahkan semua proposal tender dan dokumen penting harus lewat saya dulu sebelum sampai ke tangan dia.”
Bibi Mira mengerutkan kening, lalu memelototi Diva.
“Yah tetep ya, Diva. Kamu jangan kalah. Pokoknya kamu harus lebih tinggi jabatannya daripada dia.”
Cathesa menarik napas panjang.
Ia bangkit berdiri, menahan amarah yang sudah sampai di kerongkongan.
“Saya ke dapur dulu ya, Bi. Mau ambil air.”
Begitu sampai di dapur, Cathesa membuka kulkas dan menatap kosong ke botol air dingin di depannya.
Matanya mulai panas. Tapi bukan karena bibi Mira—tapi karena dirinya sendiri yang masih berusaha baik pada orang-orang yang tak pernah puas.
Ponselnya berbunyi.
Pesan dari Rey.
📩 “Jangan lupa istirahat. Dan jangan dengerin omongan orang. Kamu udah keren banget sekarang, Thes.”
Dan tepat setelahnya, satu notifikasi masuk lagi.
📩 “Besok, 12 siang. Restoran lantai 21. Jangan telat. – N”
Cathesa menutup pintu kulkas.
“Oke. Biar orang lain meremehkan, asal orang yang harusnya lihat… udah mulai lihat.”
Ia meneguk airnya pelan, sambil menatap langit-langit rumah yang terasa terlalu sempit untuk impiannya.