"Payungmu hilang, langit pun menghujanimu dengan deras, serta angin yang berhembus juga kencang, yang membuat dirimu basah dan kedinginan"
"Ternyata tidak berhenti sampai disitu saja, hujan yang deras serta angin yang berhembus kencang ikut menenggelamkan dirimu dalam banjir yang menerjang"
"Sampai pada akhirnya kamu menghilang dan yang aku temukan hanyalah luka yang mendalam"
~Erika Aura Yoana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amil Ma'nawi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat
Keesokan harinya, orang-orang itu kembali mengganggu, saat tadi berada di kantin, Haura tidak sengaja menempati tempat yang selalu mereka tempati, sampai akhirnya memancing jiwa iblis di jiwa mereka hidup kembali.
"Karena lo udah berani tempati tempat kitat tadi, jangan harap lo bisa tenang di sekolah ini" Tangan Haura di pegang oleh dua orang perempuan, ya siapa lagi kalau bukan Irsya dan Balqis.
Kemudian Maul melayangkan pukulannya ke perut Haura beberapakali. Haura hanya memejamkan matanya merasakan tinjuan yang di terima di bagian perutnya.
"Lepas!!!" Haura berhasil melepaskan tangannya, berkat tepisannya yang tidak bisa di tahan ileh Irsya dan Balqis.
Haura maju dan berjalan mendekati Maul yang telah berani memukulnya. "Kamu" Haura menunjuk wajah Maul dengan telunjuknya.
"Kamu yang gak akan tenang disekolah ini, bukan aku!" Haura berteriak tepat di hadapan wajah Maul, hingga akhirnya satu tinjuan kembali mendarat di pipinya.
Maul, memegang kedua bahu Haura dengan keras dan membalas perlakuan Haura tadi. "Lo pikir lo siapa?! Bisa-bisanya ngancem gua!" Disaat yang bersamaan, Ophelia datang memergoki kelima orang tersebut.
Seketika itu mereka diam dan tatapannya tertuju pada Ophe yang baru saja tiba. "Kenapa berhenti? Lanjutin dong" Ophe tersenyum sinis pada Haura, kemudian Maul mendorong tubuh Haura sampai dia tersungkur di tanah.
"Heh, dekali lagi gw bilang sama lo! Lo gak akan pernah tenang ada di sekolah ini! Ngerti?!" Mereka pun meninggalkan Haura dan Ophe.
Ophe menghampiri Haura yang masih terduduk di tanah. "Dan satu hal lagi, lo bakal tau akibatnya karena udah rebut sahabat gw!" Ophe berniat untuk melayangkan pukulan di wajah Haura, namun Haura dengan sigap memegang tangan Ophe.
"Heuh, mana ada orang yang mau sahabatan sama orang kayak kamu" Haura memberikan senyuman penuh kemenangan, yang membuat Ophe langsung pergi dari hadapannya.
Sepeninggalan mereka berlima, kini tinggallah Haura sendiri. Ia merebahkan tubuhnya di tanah, karena perutnya begitu terasa ngilu. Haura melihat ke arah langit yang berwarna abu-abu.
Turunlah hujan, dan samarkanlah kembali air mataku ini. Air mata Haura kembali menetes dengan menyeluruh. Sakit, itulah yang Haura rasakan.
Dan kenapa, tidak ada satu orang pun yang menolongnya ataupun datang menghampirinya.
...
Haura memaksakan pulang dengan kondisinya yang seperti itu, luka lebam di wajah dan rasa sakit yang masih terasa dahsyat di perutnya. Setibanya di rumah, Haura langsung pergi ke kamarnya, karena takut oma memergokinya.
Namun, saat akan masuk kedalam kamar. Haura melihat pemandangan yang selama ini ia takutkan akan terjadi. Ya, Haura melihat oma sedang membaca surat keterangan dari dokter Desi.
"Oma?" Panggil Haura dengan lirih. Saat mendengar suara yang begitu sangat ia kenal, oma pun melihat ke arah Haura. Oma berjalan mendekatinya.
"Oma kenapa baca surta ini?" Kini air mata Haura sudah membasahi wajahnya. "Kalau oma gak baca, oma gak bakalan tau nak" Oma ingin marah pada Haura, kenapa ia menyembunyikan hal sebesar itu dari dirinya.
Tapi ia tau, bukan hal itu yang harus di lakukannya. Ia harus bertanya pada Haura dengan pelan-pelan, karena mungkin Haura memiliki alasan, kenapa ia menyembunyikan semua itu.
"Kenapa kamu menyembunyikannya dari oma?" Kini, oma dan Haura tengah terduduk di ruang tengah. Oma mulai bertanya, dengan tangannya yang membelai pipi cucunya itu.
"Haura,,," Haura tak bisa melanjutkan perkataannya, hatinya begitu sakit saat melihat omanya telah mengetahui apa yang ia rahasiakan selama ini.
"Pelan-pelan, aja. Gak papa, oma gak akan marah kok nak"
"Haura,,, takut bikin oma sedih. Haura gak mau repotin oma, tante, om atau Avan. Haura gak mau kalian terlalu mikirin Haura, oma"
Oma membawa Haura kedalam pelukannya, dan memeluknya erat. "Gak boleh gitu sayang, kalau ada apa-apa, mestinya kamu bilang sama oma. Kita berjuang sama-sama, buat kesembuhan kamu"
Tangis Haura pecah di dalam pelukan oma. Kemapa tuhan? Kenapa begitu berat ujian untuk Haura, baru saja ia pulang dari sekolah dengan kondisi tidak baik, kini saat tiba di rumah, ia sudah di suguhkan lagi dengan hal yang menyakitkan lainnya.
"Kalau Haura gak sembuh gimana? Oma?" Pertanyaan itu membuat oma melepas pelukannya.
"Hus, jangan bilang gitu. Kita ikhtiar dulu, semua butuh proses gak akan langsung sembuh" Jawab oma, berusaha menenangkan cucunya.
"Kankernya udah masuk stadium tiga, loh oma. Apa Haura masih bisa sembuh?" Haura bertanya dengan tatapan polosnya, yang membuat oma terlihat begitu sedih.
"Apa?" Kedatangan Alvan dan orangtuanya, membuat oma dan Haura melihat ke arah mereka. Alvan berjalan mendekatinya.
"Siapa yang kanker?" Alvan menatapnya satu sama lain, namun tidak ada yang menjawab.
"Oma? Haura? Siapa?" Tanya Alvan sekali lagi.
Kemudian, tanpa menjawab pertanyaan dari Alvan, Haura beranjak dan berlari menuju kamarnya.
"Hau-" Saat akan mengejar Haura, tangan Alvan di tahan oleh oma, dan menyuruhnya untuk duduk bersamanya.
"Ada apa dengan Haura, oma? Dia baik-baik aja kan? Dia gak kanker kan?" Beberapa pertanyaan terlontar dari mulut Alvan, Alvan takut ia salah dengar dengan apa yang tadi Haura katakan.
"Kamu gak boleh sedih, ada tante, om dan Alvan yang akan jagain kamu" Kini Haura berada di dalam dekapan Hani. Karena tadi, Hani berhasil menyusulnya.
"Haura, hiks. Gak mau, repotin tante. Haura udah banyak ngerepotin kalian semua disini, Haura selalu dan selalu ngerepotin kalian, Haura malu tante" Haura sadar diri, akan dirinya yang selalu menjadi beban bagi keluarganya. Bahkan sedari kecil, ia selalu merepotkannya.
"Ssstt, gak ada yang repotin kita. Justru tante seneng, bisa biayain kamu. Kamu jangan takut Haura, kamu gak sendiri disini, ada kita semua, ya sayang?"
Saat terisak dengan tangisnya, Haura merasakan sesak dan sakit di bagian dadanya. Ia pun melepaskan pelukannya dari Hani, dan memegangi dadanya.
"Kenapa, nak? Ada apa sayang?" Hani terlihat panik melihat Haura.
"Sakit tante"
"Bagian mana yang sakit?" Belum sempat menjawab pertanyaan dari Hani, Haura sudah lebih dulu kehilangan kesadarannya.
"Alvan, pa. Haura pingsan, kita harus bawa dia ke rumah sakit" Dengan cepat Alvan berlari membopong tubuh Haura dan membawanya kedalam mobil untuk membawanya ke rumah sakit.
Semua orang terlihat begitu panik, dan kini tengah menunggu di depan ruangan. Alvan berpikir keras. Ia tidak terbayangkan dengan Haura yang selalu menahan rasa sakitnya di balik senyuman yang selalu ia berikan.
Keceriaan dan kebahagiaannya terlalu menutupi rasa sakit yang Haura rasakan. Sampai Alvan yang selalu ada untuk Haura setiap hari pun, tidak menyadari kalau Haura tengah menderita sakit yang mungkin sakitnya melebihi rasa sakitnya saat ini.
Bersambung...
Gimana? Apakah Haura akan sembuh? Atauuu,,,,
Udah udah, yuk markijut...
Jangan lupa like oke
yg penting bersatu kan?
wkwkwk
mksdnya, thor????
salken, Thor