Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 : Canggung di Dunia Nyata
Pertemuan pertama Rangga dengan Aisha di dunia nyata terasa lebih mendebarkan daripada pertarungan di final turnamen. Ia merasa kecil di balik ambang pintu kosannya yang baru, sementara Aisha berdiri di depannya dengan senyum ramah yang sama seperti di game, namun kini jauh lebih nyata dan memancarkan aura seorang selebriti internet. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, hoodie branded-nya terlihat pas di tubuhnya, dan ada kilatan percaya diri di matanya.
"Hai, Ren," sapa Aisha, senyumnya mengembang. "Aku Aisha."
Rangga hanya bisa mengangguk, lidahnya terasa kelu. Ia tersenyum canggung. "Hai, Teteh Aisha. Aku... Rangga."
Aisha mengernyitkan dahi sedikit, mungkin karena perkenalan yang kikuk itu. Tapi ia segera tersenyum lagi. "Jadi ini kamarmu? Wah, lumayan juga ya. Ayo, tunjukkan setup-mu!"
Rangga mempersilakan Aisha masuk. Ia merasa setup PC gaming barunya, yang tadinya terasa begitu megah, kini terlihat sederhana di mata Aisha. Ruangan itu terasa hangat sekaligus canggung. Aisha melangkah masuk dengan santai, matanya menjelajahi setiap sudut kamar, menatap konsol Synapse VR, lalu ke monitor, dan akhirnya ke kursi gaming baru Rangga.
"Oke, keren juga ini. Speknya udah lumayan buat streaming," komentar Aisha, nadanya profesional. "Nah, sekarang aku akan tunjukkan caranya menyambungkan live stream dari PC ke konsol Synapse VR."
Belajar Live Stream: Dominasi dan Kecanggungan
Sesi belajar live stream dimulai. Aisha duduk di depan monitor, gerakannya luwes dan percaya diri. Ia membuka berbagai software dan menjelaskan langkah demi langkah cara mengkonfigurasi streaming, mulai dari OBS (Open Broadcaster Software) hingga platform Twitch. Rangga duduk di sampingnya, merasa seperti murid yang bodoh.
"Jadi, ini capture card-nya. Fungsinya untuk mengambil sinyal video dari konsolmu, lalu disambungkan ke PC," jelas Aisha, menunjukkan sebuah perangkat kecil. "Nanti, gameplay-mu akan tampil di OBS, dan dari situ, kamu bisa broadcast ke Twitch atau YouTube."
Rangga mengangguk-angguk, mencoba memahami. Ia memang jago menembak di game, tapi di depan tumpukan kabel dan software ini, ia merasa seperti orang asing. Aisha menjelaskan dengan lancar, sesekali melontarkan istilah-istilah teknis yang membuat Rangga bingung.
Aisha mendominasi percakapan dan prosesnya. Ia tahu persis apa yang ia lakukan. Setiap penjelasannya lugas dan efisien. Rangga mengagumi pengetahuannya, namun pada saat yang sama, ia merasa semakin kecil. Ia mencoba bertanya, tetapi setiap kali ia membuka mulut, kata-katanya terasa kikuk dan suaranya seperti tercekat.
"Jadi, kalau ada error, biasanya karena bitrate atau frame rate nggak cocok," kata Aisha, menunjuk ke sebuah setting di layar. "Itu bisa bikin stream kamu patah-patah."
Rangga mencoba menjawab, "Oh... berarti... kalau... aku... itu..."
"Sudah, nanti kamu coba sendiri ya," Aisha memotongnya dengan ramah, seolah mengerti ia kesulitan bicara. "Sekarang, coba kamu tes mic kamu. Bicara sesuatu."
Rangga menelan ludah. Ia memegang mikrofon mahal yang baru dibelinya. "Halo... tes... tes..." suaranya terdengar canggung dan pelan di headset.
Aisha tersenyum. "Bagus. Nanti latihan ngomong ya, Ren. Streamer itu harus komunikatif. Santai saja."
Meskipun canggung, Rangga merasakan sedikit kenyamanan. Aisha tidak menghakiminya. Ia sabar, efisien, dan benar-benar ingin membantunya. Rasa syukur itu mengalir, menghangatkan kecanggungan di antara mereka.
Ajakan dan Rasa Minder
Setelah sesi belajar live stream yang berlangsung sekitar dua jam, Aisha menutup laptopnya. "Oke, Ren, itu sudah cukup untuk hari ini. Kamu punya dasar-dasarnya. Sekarang kamu coba sendiri ya. Kalau ada apa-apa, telepon saja."
Rangga mengangguk, merasa lega karena sesi canggung itu berakhir, namun juga bersemangat untuk mencoba.
"Oh iya, Ren," Aisha tiba-tiba berdiri. "Aku lapar nih. Mau makan di luar bareng? Ada warung sate padang enak dekat sini."
Jantung Rangga mencelos. Makan di luar? Bersama Aisha? Ia melirik pakaiannya: kaos oblong lusuh dan celana pendek yang sudah berumur. Ia merasa kontras sekali dengan Aisha yang terlihat stylish dan bersih. Rasa minder yang selama ini ia sembunyikan mencuat lagi. Aisha adalah selebriti di dunia maya, dan kini, ia mengajaknya makan di warung sate sederhana, dengan Rangga yang berpenampilan seadanya.
"Uhm... Teteh Aisha... aku... aku sudah makan tadi," Rangga berbohong, merasakan wajahnya memerah. "Lagipula... pakaianku... ini..."
Aisha menatapnya, lalu melirik pakaian Rangga dengan senyum geli. "Santai aja kali, Ren. Ini cuma makan sate. Bukan acara formal. Lagipula, aku juga baru kelar dari luar kok." Aisha seolah tak peduli dengan penampilan Rangga. Aura dominannya, seolah ia tahu yang terbaik, kembali terlihat. "Sudah, ayo. Aku yang bayar!"
Sebelum Rangga bisa menolak lagi, Aisha sudah berjalan keluar pintu. Rangga mau tidak mau mengikutinya. Di luar, Aisha sudah menunggunya di samping sebuah motor maticnya yang sporty dan bersih. Ia mengenakan helm dan mempersilakan Rangga untuk duduk di belakang.
Rangga duduk canggung di boncengan motor Aisha. Aroma parfum Aisha tercium samar, berpadu dengan aroma bensin dari jalanan. Saat mereka melaju di jalanan Bandung yang ramai, Rangga merasakan banyak tatapan mata tertuju pada mereka. Orang-orang di pinggir jalan, pengendara lain, seolah melirik ke arah mereka.
Entah kenapa, Ren merasa kecil di samping Aisha. Ia adalah Ren, sang sniper yang ditakuti di dunia virtual, pemenang turnamen jutaan rupiah. Tapi di dunia nyata, di samping Aisha yang memancarkan aura percaya diri dan star power-nya, Rangga kembali merasa seperti dirinya yang dulu: seorang Rangga yang biasa saja, nyaris tak terlihat. Ia merasa seperti bayangan di samping cahaya terang Aisha.