NovelToon NovelToon
AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Spiritual / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.

Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Isak yang Ditelan Dinding

Nayla menatap bayangan dirinya di cermin. Sudah lebih dari tiga bulan sejak ia menikah dengan Azam. Tiga bulan penuh liku—tapi juga penuh harapan. Azam memperlakukannya dengan lembut, membimbingnya dengan sabar, mengajarinya kembali mengenal Allah. Hari demi hari, Nayla mulai percaya… bahwa mungkin, dirinya masih bisa dicintai.

Dan malam itu, Nayla merasa siap.

Ia tahu ia tak sempurna. Tapi ia ingin belajar menjadi istri seutuhnya—jasmani dan rohani. Ia ingin memberikan dirinya, bukan sebagai penebus masa lalu, tapi sebagai tanda kepercayaan.

Ketika Azam masuk ke kamar, Nayla menunduk malu. Ia tak mengucap kata. Ia hanya memeluk lelaki itu pelan. Dalam diam, Azam membalas. Tak ada kalimat cinta, hanya tarikan napas yang saling mencari kehangatan.

Malam itu, tubuh mereka mulai saling mendekat. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan, Azam membuka sekat yang selama ini ia jaga. Dan Nayla pun pasrah, berusaha menjadi istri yang utuh.

Tapi semuanya berubah dalam sekejap.

Di tengah proses yang seharusnya sakral dan mengikat batin, Azam tiba-tiba berhenti. Ia menarik diri seolah disentuh oleh sesuatu yang menjijikkan.

Hening. Nafas keduanya tercekat.

Azam bangkit, duduk di tepi ranjang, punggungnya menegang, wajahnya tak berani menatap. Ia tidak bicara sepatah kata pun.

Dan Nayla tahu.

Ia tahu… bukan karena Azam lelah. Bukan karena ia tak ingin. Tapi karena Azam baru saja menyentuh masa lalunya—secara fisik, dan menyadari satu hal: Nayla bukan lagi perempuan suci.

Nayla menarik selimut, memeluk tubuhnya sendiri. Rasa malu menelanjanginya lebih dalam dari apa pun.

Azam masih diam, menunduk dalam kekacauan pikirannya sendiri.

“Maaf,” Nayla berkata lirih. “Aku tahu... kamu jijik.”

Azam menoleh pelan, ada luka yang sulit didefinisikan di matanya.

“Kenapa kamu gak bilang dari awal?” suaranya hampir tidak terdengar.

Nayla menahan tangis. “Aku... cuma ingin tahu, sampai sejauh apa kamu bisa menerimaku. Aku takut kamu gak akan pernah menyentuhku kalau kamu tahu dari awal. Tapi malam ini, kamu membuktikan... aku benar.”

Azam tak menjawab.

“Bahkan tanpa kamu berkata apa pun,” lanjut Nayla, “aku tahu jawabannya dari caramu menarik diri.”

Malam itu, dua hati yang sempat mendekat kembali menjauh. Bukan karena kurang cinta, tapi karena luka yang belum selesai. Luka yang muncul bukan dari permukaan tubuh, tapi dari dalam jiwa yang masih berperang antara menerima dan menolak.

Dan bagi Nayla, tak ada hal yang lebih menyakitkan… daripada menyadari bahwa ia masih tidak cukup bersih—bahkan untuk disentuh oleh suaminya sendiri.

Hari-hari di rumah itu berubah. Jika dulu ada canda kecil di sela sarapan, kini yang terdengar hanyalah suara sendok bertemu piring, atau langkah kaki Azam yang terburu-buru keluar rumah.

Azam semakin dingin. Terlalu dingin.

Ia tak lagi menatap Nayla seperti dulu. Tak lagi menanyakan kabar, apalagi menyentuh tangan atau mengajak bicara tanpa sebab. Yang ada hanyalah diam. Kaku. Jauh.

Namun Nayla tetap bertahan. Ia mengisi kesepian itu dengan kesungguhan.

Setiap pagi, ia bangun sebelum subuh, menyiapkan sarapan, menyetrika kemeja kerja Azam, merapikan tas dosennya, hingga menyelipkan botol minum dan roti dalam tas kerja Azam. Meski tak pernah disentuh, Nayla tetap melakukannya.

Azam hanya akan keluar kamar setelah wudhu, mengambil sarapan dalam diam, lalu pergi tanpa menoleh. Kadang mengucap, “Assalamu’alaikum.” Kadang tidak.

Pernah suatu malam, hujan turun deras. Jarum jam sudah melewati pukul sebelas malam, tapi Azam belum juga pulang. Ponselnya aktif, tapi tidak diangkat.

Saat akhirnya pintu terbuka, tubuh Azam basah kuyup. Nayla berlari kecil, mengambil handuk, menyodorkannya.

“Kamu kehujanan,” ucapnya pelan.

Azam menerima handuk itu tanpa menatap. “Aku habis dari kampus. Ada diskusi sama tim penelitian.”

Itu saja. Lalu ia masuk kamar, menutup pintu. Nayla berdiri di depan pintu itu beberapa detik, menatap gagang pintu seperti menanti jawaban yang tak kunjung datang.

Malam demi malam berlalu. Seisi rumah seperti museum—bersih, tertata, rapi, tapi mati. Tak ada kehangatan, tak ada cerita, tak ada pelukan atau sapaan hangat. Hanya rutinitas yang dijalankan Nayla tanpa keluh.

Ia tidak menuntut. Tidak memaksa. Tapi ia berharap.

Namun setiap kali Azam pulang larut, atau memilih tidur di ruang kerja, harapan itu seperti ranting kecil yang patah oleh angin sepi.

Nayla tahu, Azam belum bisa menerima dirinya. Mungkin tidak akan pernah. Tapi ia juga tahu, selama masih menjadi istri, tugasnya adalah memberi, bukan meminta.

Dan ia akan terus bertahan… sampai Allah sendiri yang menunjukkan arah jalan pulang bagi hatinya.

Malam itu rumah hening seperti biasa. Hanya suara hujan tipis mengetuk genteng. Azam baru pulang dari kampus, jam menunjukkan pukul 10 malam lebih. Ia membuka pintu rumah dengan pelan, meletakkan payung dan tas kerjanya di meja samping pintu.

Aroma masakan yang hangat menyambutnya—semangkuk sup ayam yang ditutup rapi di meja makan, dan sepiring nasi putih dengan tulisan kecil di secarik kertas: “Hangatkan kalau dingin, aku tunggu di kamar.”

Azam membaca tulisan itu sebentar, lalu meletakkannya tanpa ekspresi. Ia tidak lapar. Atau mungkin, ia menolak merasa lapar.

Langkahnya hendak langsung ke kamar kerja, tapi suara pelan dari arah dapur menghentikannya.

Ia berjalan pelan ke sana.

Cahaya lampu dari ruang tengah cukup terang untuk melihat sosok Nayla duduk di lantai dapur, punggungnya bersandar pada lemari es. Mukena masih melekat di tubuhnya, tangannya memeluk lutut, wajahnya tenggelam dalam isak tertahan.

Azam berdiri dalam bayang temaram pintu. Ia melihat semuanya.

Nayla menangis.

Tak meraung, tak meledak—hanya air mata yang jatuh diam-diam, dengan napas terisak lirih, seolah menangis pun harus ia sembunyikan.

Azam ingin melangkah. Ingin menyapa. Tapi kakinya berat. Entah oleh apa—marah, kecewa, atau egonya sendiri.

Ia memilih berbalik, kembali ke kamarnya. Pintu ditutup pelan.

Di dalam kamar, Azam duduk di tepi ranjang. Pandangannya kosong, tapi pikirannya penuh. Gambaran wajah Nayla yang menangis tak mau lepas dari benaknya. Tapi ia tetap diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Malam itu, dua hati kembali tertidur dalam jarak yang tidak terukur. Dan bagi Nayla, malam itu menjadi titik kesadaran bahwa luka yang tak diobati… hanya akan membuat keduanya perlahan mati dari dalam.

Pagi itu langit tampak sendu, seperti menyimpan tangis yang belum sempat turun. Nayla tengah menyapu teras ketika Bu Rahmah—tetangga depan rumah yang sudah seperti ibu sendiri—datang membawa semangkuk sayur bening.

“Ini buat kamu, Nak,” ucap Bu Rahmah sambil tersenyum ramah.

Nayla menyambutnya dengan senyum kecil, walau matanya masih tampak bengkak. “Terima kasih, Bu… repot-repot banget.”

“Bukan repot. Ibu cuma pengin kamu tetap makan yang hangat. Badanmu kelihatan makin kurus.”

Nayla tertawa kecil, getir. Ia menunduk, menyembunyikan genangan air di matanya. Tapi Bu Rahmah sudah terlalu peka.

“Kamu habis nangis lagi, ya?”

Nayla diam.

“Mau cerita sama Ibu?”

Butuh beberapa detik bagi Nayla untuk menjawab. Ia menarik napas, lalu duduk di bangku teras, memeluk lutut seperti anak kecil yang sedang bingung.

“Bu… aku tuh, dulu bukan perempuan baik. Banyak hal yang... aku sesali. Tapi aku nggak bisa balik ke masa lalu. Dan sekarang, suamiku… kayak nggak bisa nerima aku apa adanya.”

Bu Rahmah duduk di samping Nayla, menepuk pelan bahunya. “Nak, dengar ya… Allah itu Maha Menerima taubat. Siapa kita sampai tak mau memberi kesempatan, kalau Allah saja membuka pintu-Nya selebar langit dan bumi?”

Nayla menggigit bibirnya. “Tapi Bu, aku ngerasa… kotor. Gimana caranya aku jadi istri yang baik kalau suamiku sendiri jijik sama aku?”

“Ibu gak bilang prosesnya gampang, Nak. Tapi jalan pulang itu selalu ada. Bahkan saat kamu terjatuh, Allah tetap tunggu kamu. Bukan untuk menghukum, tapi untuk membimbing.”

“Lalu harus dari mana aku mulai?”

Bu Rahmah tersenyum. “Mulai dari niat. Kalau kamu memang mau berubah karena Allah, bukan karena ingin diterima manusia, insyaAllah jalan itu akan terbuka. Mungkin sekarang waktunya kamu bukan berharap dicintai suamimu, tapi dicintai Tuhanmu.”

Nayla terdiam. Kata-kata itu menembus ke dalam hatinya seperti tetesan embun yang menyejukkan luka.

Mungkin selama ini ia terlalu sibuk berharap dicintai Azam, sampai lupa mencari kembali cinta yang lebih abadi—cinta Allah.

Dan pagi itu, Nayla akhirnya memantapkan hati. Jika rumah ini terlalu sempit untuk menampung proses perubahannya, maka ia akan pergi. Bukan untuk kabur, tapi untuk memperbaiki diri. Untuk kembali ke jalan yang pernah ia tinggalkan.

1
Julicsjuni Juni
buat Nayla hamil thorr...buat teman hidupnya.. kasian dia
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan
Julicsjuni Juni
hati ku,ikhlas ku belum bisa seperti Nayla... astaghfirullah
Iis Megawati
maaf mungkin ada cerita yg kelewat,merekakan dah berpisah berbulan" ga ada nafkah lahir batin dong,dan bukankah itu sudah trmasuk talak 1,yg dmn mereka hrs rujuk/ nikah ulang maaf klo salah/Pray/
Zizi Pedi: Tidak, secara otomatis tidak terhitung cerai dalam hukum Islam hanya karena suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, karena istri yg pergi dari rumah. Perkawinan tetap berlaku hingga ada putusan cerai dari Pengadilan Agama atau jika suami secara sah menceraikan istrinya. Namun, suami yang melalaikan kewajibannya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi dalam kasus Azam dan Nayla berbeda, mereka saling mencintai dan tak ada niat untuk bercerai jadi mereka masih sah sebagai suami istri. Dan talak itu yg punya laki2. untuk pertanyaan kk tentang talak 1. Mereka bahkan tidak terhitung talak kk, karena Azan g pernah mengucapkan kata talak. dan untuk rujuk talak 1 Setelah jatuh talak satu, suami dan istri masih bisa rujuk kembali tanpa harus akad ulang selama istri masih dalam masa iddah. Talak satu disebut talak raj'i, yang berarti suami masih berhak merujuk istrinya selama masa iddah. Jika masa iddah telah habis, maka untuk kembali bersama, mereka harus melakukan akad nikah ulang. TAPI SEBAGAI CATATAN (Azam tidak pernah mengucap talak untuk Nayla, jadi mereka masih sah suami istri meski tanpa menikah ulang.)
total 1 replies
R I R I F A
good... semangat up date ny
Zizi Pedi: terima kasih Kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!