Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Posko Banjir
Mentari
Seperti yang Senja sudah perkirakan, hujan deras berarti banjir akan datang. Namun bukan banjir di rumah kontrakan kami, melainkan banjir di tempat lain, tepatnya tak jauh dari rumah kontrakan kami.
Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 5 menit, kami akhirnya sampai di posko darurat banjir. Sudah ada tenda yang sengaja dipasang jika musim hujan tiba. "Daerah ini tuh sudah langganan banjir karena berada di dekat kali dan dataran rendah. Tiap hujan deras lebih dari 3 jam, pasti banjir dan lama surutnya." Senja menjelaskan padaku.
"Sudah tahu banjir, kenapa masih betah?" tanyaku balik.
"Ini tuh tanah kelahiran mereka. Sejak lahir, mereka sudah tinggal di sini. Pasti berat meninggalkan rumah yang mereka cintai. Alasan lainnya ya karena faktor u, alias uang," jawab Senja.
"Kenapa tidak beli rumah di tempat lain saja?" tanyaku.
"Kamu pikir murah membeli rumah di Jakarta? Mau ambil pinjaman KPR pun harus pakai uang muka, uang darimana? Pekerjaan mereka saja tidak menentu. Kadang bekerja, kadang menganggur. Bahkan lebih banyak menganggur dibanding kerja, boro-boro membayar pinjaman, makan saja sulit," jawab Senja.
"Pemerintah setempat bagaimana? Kenapa tak ada yang peduli dan turun tangan? Acuh saja gitu melihat warganya kebanjiran?" tanyaku lagi.
"Kalau mereka peduli, kita tak akan ada di sini sekarang," jawab Senja. Benar juga sih yang Senja katakan. "Mereka peduli kalau sudah diberitakan di TV dan viral, baru deh mereka datang dan foto-foto padahal cuma nyumbang mie instan dan beras saja, kebutuhan lain seperti obat-obatan, popok dan pakaian saja, yang lainnya tidak."
Di dalam tenda darurat ternyata sudah ramai dengan pengungsi banjir. Banyak pengungsi yang tertidur lelap di tenda tak peduli hanya beralaskan terpal tipis saja. "Kamu bantu mengatur tempat agar semua cukup, aku sama bapak-bapak yang lain mau evakuasi warga lain yang masih terjebak di dalam rumahnya."
Aku mengangguk meski tak tahu apa yang harus kulakukan. Awalnya aku masih berdiri mematung di tempat, sampai salah seorang ibu-ibu memanggilku. "Dek, tolong bantu ibu!"
Aku pun mulai sibuk bekerja. Ada saja yang kukerjakan. Mulai dari memasak air panas lalu membuatkan teh untuk menghangatkan tubuh pengungsi yang kedinginan, mengatur tempat di tenda agar semua kebagian tempat berlindung dan juga menghibur anak-anak yang menangis. Aku benar-benar sibuk sampai tak sadar kalau Senja sudah kembali.
"Tari, sini!" Senja memanggilku.
Aku mendekati Senja, kami lalu berjalan keluar tenda. Hari sudah subuh rupanya, benar-benar tak terasa waktu cepat berlalu saat aku menyibukkan diri. Hujan sudah berhenti namun awan gelap masih terlihat, pertanda kalau hujan hanya berhenti sebentar saja dan akan turun beberapa waktu lagi. "Kamu sudah sholat?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Belum."
"Sholat dulu. Di tenda depan ada tempat sholat, tersedia mukena di sana. Habis sholat, bantu di dapur. Kita masak untuk sarapan," kata Senja.
"Iya," jawabku dengan patuh. Meski awalnya merasa agak aneh tiba-tiba saja menjadi relawan, namun setelah kujalani ternyata asyik juga. Aku bisa membantu orang yang kesusahan dan bersosialisasi dengan orang lain. Sebulan di rumah kontrakan dan hanya mengisi waktu dengan nonton sinetron azab membuatku seolah terkucil dan jarang bersosialisasi. Kini aku punya teman bicara, membuatku merasa kembali menjadi mahluk sosial.
Selesai sholat, aku menghampiri Senja yang sedang membantu memasak. Senja nampak sedang mengobrol dengan seorang perempuan berhijab dengan akrab. Sesekali Senja tertawa lepas seakan mereka sudah kenal lama.
"Itu Mentari datang!" kata Senja saat melihatku mendekat. "Tari, sini, bantu memotong sayuran!"
Senja memberikan tempat duduknya padaku. Ia menjelaskan akan membuat telur dadar dan mie goreng sebagai menu sarapan pagi untuk para pengungsi. Aku menurut saja.
Saat mengupas sayur sawi, mataku kembali melihat keakraban antara Senja dengan gadis berhijab yang tadi. Kuakui, gadis berhijab itu cantik, wajahnya putih bersih meski tanpa make up, senyumnya terlihat malu-malu namun sangat sedap dipandang mata. Aku yang sesama perempuan saja mengakui kalau gadis itu cantik, apalagi Senja?
"Tari, tolong dicuci ya sayurnya! Di sana ada kran air!" Senja menunjuk ke belakang tempat memasak.
Aku lagi-lagi menurut apa yang Senja perintahkan. Sebelum pergi ke belakang, aku sempatkan melirik Senja yang terus asyik mengobrol sambil mengangkat nasi yang baru matang dan mengepulkan uap panas.
Kenapa Senja bisa mengobrol akrab dan terlihat normal jika bersama wanita lain ya? Kenapa saat bersamaku tidak?
Sudah, Tari. Fokus! Jangan pedulikan Senja. Mau dia akrab dengan wanita lain juga tak perlu kau urusi!
Kulanjutkan langkahku menuju belakang dapur darurat. Ada beberapa ibu-ibu yang sedang membantu. "Eh ada sepupunya Senja. Mau cuci sayuran ya?" sapa salah seorang ibu-ibu yang pernah melihatku di gang dengan tatapan menyelidik. Rupanya, Senja sudah memberitahu hubungan kami, baguslah.
"Iya, Bu. Kran airnya dimana ya?" tanyaku dengan sopan.
"Itu, buka saja kerannya." Ibu tersebut memberitahu tempat untukku mencuci sayur.
Aku merasa tatapan mata ibu tersebut terus tertuju padaku. Benar saja, ia kemudian mengajakku berbicara kembali. "Maaf ya, dulu ibu salah paham. Ibu pikir kamu dan Senja berpacaran, terus kumpul kebo eh ternyata kalian saudara sepupu ya?"
"I-iya, Bu. Tak apa-apa," jawabku sambil memaksakan senyum di wajah, menutupi hatiku yang kesal karena dituduh kumpul kebo.
"Oh iya, perkenalkan, nama saya Enka. Biasa dipanggil Ibu Enka." Ibu Enka mengulurkan tangannya padaku.
"Mentari, panggil saja Tari," jawabku. Setelah membalas uluran tangan Bu Enka, aku lanjutkan mencuci sayuran yang sudah menjadi tugasku.
"Kamu di Jakarta mau lanjut kuliah atau cari kerja?" tanya Bu Enka.
"Mau mencari kerja, Bu," jawabku.
"Oalah, nyari kerja di Jakarta tak semudah cerita orang. Banyak yang nganggur padahal sudah melamar di sana sini. Kamu sendiri... sudah ada panggilan kerja belum?" tanya Bu Enka lagi.
Dengan malu-malu aku menggelengkan kepalaku. "Belum, Bu."
"Yang sabar. Nanti juga ada yang hubungi. Kalau bosan di rumah, kamu gabung saja sama saya dan teman-teman saya. Kita ngerujak sambil ngobrol, saya juga suka buat urap sayuran loh, kamu harus coba. Bukan saya memaksa, saya lihat kamu mengurung diri di rumah terus. Apa tidak bosan?" tanya Bu Enka.
Aku membalas dengan senyuman. Jangan ditanya, Bu. Aku tuh bosan sekali. Sehari-hari hanya nonton sinetron azab, benar-benar bisa lumutan aku.
"Tari! Cepat!" Senja kembali memanggilku.
Kesempatan ini kumanfaatkan untuk pergi meninggalkan Bu Enka. "Permisi ya, Bu."
"Oh iya. Nanti kumpul bareng Ibu dan yang lain ya!"
Tak harus kujawab kan? Tapi aku merasa tak enak. Terpaksa aku mengiyakan tawaran Bu Enka. "Iya, Bu."
Kupercepat langkahku menuju Senja yang langsung mengomel. "Lama banget sih? Sawi yang kamu cuci sudah berubah jadi capcay deh kelamaan dicuci!"
"Bawel ya. Kalau mau cepat, cuci saja sendiri!" Kuberikan baskom yang kupegang pada Senja lalu masuk ke dalam.
Senja benar-benar sibuk. Rupanya Senja bukan hanya jago memasak di rumah tapi dia juga jago memasak dalam porsi besar. Di saat aku sedang mengagumi kemampuannya, maka dalam sekejap semua kekaguman itu akan hilang.
"Tari, ambilkan kecap!"
Kuambilkan botol kecap yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Tari, ambilkan mie!"
Dengan patuh kuambilkan mie yang juga terletak tak jauh dari tempatnya.
"Tari, haus! Ambilkan minum!"
Lihat bukan? Betapa menyebalkannya lelaki bernama Senja itu! Kuhirup nafas dalam dan siap menyemburnya, tak peduli ada banyak warga yang juga sedang sibuk memasak. Baru saja semburan ocehan ingin kukeluarkan, ada yang menghentikanku.
"Biar aku saja yang ambil!" Gadis berhijab itu tersenyum ramah padaku. "Mau air teh atau air putih, Mas Senja?"
What? Mas Senja?
****
nazar ternyata,yg bikin tari salah faham 🤣
astagfirullah, gendheng
pantes tari ilfeel
perasaanmu kayak mimpi padahal tari yg ada di mimpimu itu nyata..
awas habis ini di tabok tari , nyosor wae🤣🤣🤣
kalau ngigo mah kasihan bangat tapi kalauccari kesempatan lanjutkan Ja. jang cium.doank sekalian di inboxing deh...