Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interview
Evelyn tersenyum lebar, tangannya menggenggam kuat ponselnya dengan penuh harap. Ia tak bisa menyembunyikan rasa senang saat membaca pesan email yang masuk. Sebuah panggilan interview untuk sore ini. Meskipun ia tidak langsung mendapatkan sepuluh juta itu, setidaknya Evelyn bisa mendapatkan pekerjaan lagi.
Namun, senyum di bibirnya perlahan pudar saat mengingat harus meninggalkan Cala sendirian untuk pergi interview. Mungkin dia tidak akan begitu bingung jika meninggalkan Cala di malam hari—karena gadis kecil itu pasti sudah tidur. Evelyn menghela napas berat, pada siapa dia bisa mempercayakan Cala? Ia tidak mau lagi menitipkan Cala pada Susan, setelah tahu bagaimana wanita itu memperlakukan putrinya.
"Apa Cala gue ajak? Tapi nggak mungkin banget, apalagi ini masih interview. Gimana kalau gue ditolak gara-gara bawa anak kecil?" gumam Evelyn.
Evelyn menggigit kuku ibu jarinya—kebiasaan buruk kecil yang tak bisa ia tinggalkan. Otaknya terus berputar keras, memikirkan bagaimana dia bisa pergi tanpa meninggalkan Cala dalam bahaya. Ia sampai tidak menyadari langkah kecil yang mendekatinya.
"Mama, Cala tompat-tompat!" seru Cala sambil melompat kecil seperti kanguru yang ia lihat di televisi saat sarapan tadi.
"Cala bisa tompat!"
Evelyn menoleh, lalu tertawa sambil bertepuk tangan.
"Yey, Cala bisa lompat!" serunya memuji.
Ia bangkit, lalu menghampiri Cala yang sibuk melompat ke sana kemari. Evelyn memegang tangan Cala agar berhenti, lalu menunduk, mensejajarkan pandangannya dengan si kecil.
"Cala... Cala mau nggak ikut sama Papa?" tanya Evelyn lembut.
"Mau! Cala mau itut Papa!" jawab Cala antusias.
"Mama juja itut Papa?"
Evelyn menggeleng.
"Mama mau bersih-bersih rumah, jadi Cala ikut sebentar ke rumah Papa. Nanti kalau rumahnya udah bersih, Mama jemput, oke?"
"Otey Mama. Lumah na kotol ya Ma? Mama mau sapu?" tanya Cala sambil menggoyang tubuhnya.
"Iya sayang, rumahnya kotor." Evelyn tersenyum, tangannya mengusap rambut Cala dengan penuh sayang.
Maaf ya sayang, Mama bohong sedikit. Kalau Mama jujur, nanti kamu bisa keceplosan ngomong sama Hail, batinnya.
"Atu mau main plinces!" sahut Cala, lalu berlari ke kamarnya.
Evelyn menghela napas lega. Sekarang ia harus menghubungi Hail dan menanyakan apakah pria itu bisa menjaga Cala sementara ia pergi. Evelyn segera mengirim beberapa pesan, dan Hail cepat membalas, meski sedang sibuk menangani pasien-pasien besi.
---
(Di bengkel Flashline)
Hail yang sedang berkutat dengan mesin Porsche berhenti saat dering khusus di ponselnya berbunyi keras. Ia segera melepas sarung tangan karetnya, lalu mengambil ponsel dari saku. Hail mengulum senyum, menggigit pipi bagian dalam saat melihat nama pengirim pesan. Untuk pertama kalinya, Evelyn mengiriminya pesan.
Bima yang sedang membantu memegang obeng mengernyit, melihat ekspresi bosnya yang sangat tidak biasa.
Sadar diperhatikan, Hail berdehem keras dan mencoba bersikap setenang mungkin, meski jantungnya berdisko.
"Kenapa, Bos?" tanya Bima menatap tajam.
"Kenapa? Biasa aja tuh," jawab Hail sok santai.
Tak memperdulikan Bima, Hail segera membalas pesan Evelyn. Namun, perlahan binar di wajahnya pudar. Evelyn memintanya menjaga Cala, tapi tidak memberi alasan yang jelas. Bukan Hail tak mau menjaga malaikat kecil itu—tapi ia merasa Evelyn berbohong.
"Kita lihat seberapa jauh lo mau bohong sama gue," gumam Hail sambil menatap layar ponselnya.
Hail menatap dingin ke arah Bima.
"Bim."
"Ya, Bos?"
"Kasih tahu anak-anak, suruh tutup lebih awal. Dan suruh kumpul di sini jam tiga sore," ucap Hail dingin.
"Oke." Bima langsung menyebarkan pesan ke grup anak bengkel.
Hail kembali bekerja, tapi auranya berubah dingin. Bima bahkan merasa tertekan berada di sampingnya. Tangan dan otak Hail bekerja lebih cepat dari biasanya, seolah ingin mengalihkan pikirannya dari sesuatu yang mengganggu.
---
Langit berubah kelabu. Evelyn kembali membaca email dari hotel yang ia kirimi CV. Pikirannya melesat ke berbagai kemungkinan—apakah ini penipuan? Jebakan? Waktu interview yang tidak biasa membuat Evelyn khawatir, tapi ia sadar, pilihan hidupnya terbatas.
Ia melirik jam dinding: 15.15. Masih ada waktu bersiap. Tapi ia masih duduk di teras, menunggu Hail.
Mungkin Hail tidak jadi datang. Ia berdiri pelan, masuk ke kamar, dan melihat Cala yang sedang menggambar di lantai.
"Ma, Cala dambar pelani lho! Mau lihat nggak?"
Evelyn mendekat, memeluk tubuh mungil itu dengan lembut. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahan diri. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Sampai kini, dia belum bisa memberi Cala hidup yang layak. Mereka selalu berpindah-pindah.
"Bagus banget sayang. Anak Mama pinter banget." Evelyn mengecup pipi chubby Cala yang terkekeh senang.
"Cala mau kasih liat Papa!" katanya sambil menunjuk kertas coretan.
Evelyn mengangguk kecil meski matanya menyimpan kekhawatiran. Ia mencium kening Cala.
Tiba-tiba suara mobil terdengar. Cala berlari keluar membawa gambar. Evelyn mengikuti.
"Papa!" seru Cala riang melihat Hail sudah berdiri di depan rumah.
Hap!
Hail langsung mengangkat tubuh kecil Cala dalam dekapnya. Evelyn hanya menatap kaku. Tak ada sapaan hangat dari Hail, begitu juga sebaliknya.
"Aku titip Cala sebentar ya. Nanti aku jemput," ucap Evelyn.
"Ya," jawab Hail singkat.
Evelyn tersenyum getir. Hatanya perih dengan respons sedingin itu. Tapi ia tetap bersikap biasa. Ia mencium pipi Cala dan mengusap kepalanya.
"Cala sama Papa dulu ya. Jangan nakal."
"Cala anak baik Mama! Iya kan, Pa?" tanya Cala, mencari validasi.
"Iya dong, anak Papa. Anak terbaik dan termanis di dunia," sahut Hail bangga.
"Da-da Mama!" seru Cala melambaikan tangan.
Tanpa kata lain, Hail menggendong Cala ke mobil dan pergi. Evelyn masuk ke dalam, mengganti dasternya dengan kemeja putih dan celana hitam.
---
Pukul 16.32 – Hotel Blue Moon
Tempat itu mewah tapi sepi. Evelyn melangkah ke resepsionis.
"Selamat sore."
"Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria muda ramah.
"Saya datang untuk interview," jawab Evelyn gugup.
"Bisa saya lihat surat undangan interview-nya, Kak?"
Evelyn menunjukkan email dari ponselnya. Pria itu sempat terkejut, lalu menelepon seseorang, terdengar serius.
"Maaf menunggu. Mari ikut saya," katanya setelah menutup telepon.
Mereka naik ke lantai 3 dan berjalan hingga tiba di sebuah pintu bertuliskan Direktur Utama.
"Saya hanya mengantar sampai sini. Silakan masuk." Lalu ia pergi.
Evelyn menggigit bibirnya. Ini janggal. Mana ada pelamar OB harus bertemu direktur utama?
"Permisi," ucapnya setelah mengetuk pintu.
"Masuk," sahut suara berat dari dalam.
Evelyn membuka pintu perlahan. Seorang pria rapi berdiri membelakanginya.
"Permisi, Pak. Saya Evelyn... saya—"
Ucapan Evelyn terhenti.
Pria itu membalik badan, menatapnya tajam.
Jantung Evelyn seolah berhenti.
Kenapa harus dia?
Kenapa Evelyn harus bertemu dengannya lagi?
-
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve