NovelToon NovelToon
Di Persimpangan Rasa

Di Persimpangan Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Idola sekolah
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Candylight_

Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.

Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.

Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.

Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 — Diam yang Berbicara

Alana duduk di bangkunya dengan pandangan kosong. Ia tahu keputusan Naresh diambil demi kebaikannya. Namun, itu tidak membuatnya langsung bisa menerima semuanya begitu saja.

Di sekolah ini, semua orang tahu bahwa Alana dan Naresh bersahabat. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Nisya juga merupakan bagian dari mereka—dan mereka sudah bersahabat sejak mereka masih kecil.

Pandangan Alana perlahan bergeser ke sisi kirinya. Bukan pada Jendral, melainkan Nisya yang duduk di samping lelaki itu.

“Seharusnya kamu juga peduli sama Nisya, Naresh,” gumamnya dalam hati.

Jendral yang sadar Alana menatap ke arahnya langsung menoleh. Namun, ia tahu—tatapan itu bukan ditujukan untuknya, melainkan untuk seseorang di sampingnya.

Begitu mata mereka bertemu, Jendral mengangkat alis sedikit, lalu bertanya tanpa suara, “Kenapa?”

Alana menggeleng pelan, lalu tersenyum tipis. Tapi Jendral tahu—senyuman itu kosong. Hati Alana tidak sedang tersenyum. Ia masih kecewa. Terhadap Naresh. Terhadap segalanya.

"Oke, anak-anak. Apa ada dari kalian yang bisa menyelesaikan soal di depan?" tanya Ibu Ika setelah menulis soal matematika di papan tulis.

Alana mengalihkan pandangannya ke depan, lalu mengangkat tangan. Ia ingin menyalurkan kekecewaannya—dengan cara yang berbeda kali ini.

"Baik, Alana. Silakan maju ke depan," ucap Bu Ika mempersilakan.

Alana berdiri dan melangkah menuju papan tulis. Langkahnya tenang, tapi dalam dirinya ada badai yang belum reda.

Jendral menatapnya heran. Alana yang sedang banyak pikiran memilih maju untuk mengerjakan soal matematika—benar-benar di luar dugaannya.

Setelah menerima spidol dari Bu Ika, Alana berdiri sejenak di depan papan tulis. Tangannya menggenggam spidol itu erat, seolah sedang memegang sesuatu yang bisa meredam amarah dan kecewa yang menumpuk di dadanya.

Lalu ia mulai menulis.

Garis demi garis rumus mengalir rapi di papan putih. Tidak terburu-buru, tapi juga tidak pelan. Setiap angka yang ia tuliskan seperti pelampiasan dari semua emosi yang berusaha ia sembunyikan. Spidol itu nyaris habis tintanya, tapi Alana tetap menekan kuat—tulisan-tulisan itu muncul lebih tegas daripada biasanya.

Ia tidak peduli dengan sorot mata teman-teman sekelas. Tidak peduli dengan guru yang mengamati dari belakang. Yang ada di pikirannya hanya satu: mengalihkan rasa sesak yang terus menghantui sejak percakapan dengan Naresh pagi tadi.

Satu soal selesai. Lalu dua. Tiga. Hingga akhirnya kelima soal itu rampung—tanpa satu pun ragu.

Selesai menulis, Alana menarik napas pelan dan berbalik. Ekspresinya tetap datar, nyaris tanpa emosi. Ia menyerahkan spidol kepada Bu Ika dengan tangan yang sedikit gemetar—bukan karena gugup, tapi karena menahan amarah yang belum reda.

“Sudah selesai, Bu,” ucapnya singkat.

Bu Ika menerima spidol itu, lalu mulai memeriksa jawaban satu per satu. Suasana kelas hening, seperti menunggu pengumuman penting.

“Bagus, Alana. Semuanya benar,” puji Bu Ika akhirnya, dengan nada tulus bercampur takjub.

Alana kembali ke bangkunya tanpa banyak bicara. Ia duduk perlahan, menyandarkan punggung, lalu menatap lurus ke depan. Tapi ada sesuatu di balik sorot matanya—seperti badai yang tertahan, seperti air mata yang tidak diizinkan jatuh.

Jendral, yang sejak tadi memperhatikan dari bangkunya, menoleh pelan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tapi ada satu kalimat yang terlintas di benaknya, dan itu cukup.

“Lo keren,” bisiknya, nyaris seperti gumaman, tapi terdengar jelas di telinga Alana.

Alana hanya tersenyum tipis. Ia ingin mengabaikan Jendral, tetapi tidak bisa. Ia khawatir Jendral kembali meragukan perasaannya jika diabaikan. Maka, ia memilih memberikan senyuman kecil kepada lelaki itu.

Sementara itu, Nisya diam-diam memperhatikan interaksi mereka. Ia mengetahui apa yang terjadi di kelas XI-2, dan dalam diam, ia merasa bersalah karena telah menjadi penyebab perselisihan antara Alana dan Naresh.

***

Kondisi Naresh di kelas tidak jauh berbeda dengan Alana. Jika Alana merasa kecewa, maka Naresh menyesal telah membuat Alana kecewa. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak untuk menghapus rasa kecewa itu.

“Gue harap lo bisa ngerti, Alana. Gue cuma pengen ngelakuin yang terbaik buat kalian—terutama buat lo,” gumamnya dalam hati.

Bukan berarti ia tidak memikirkan Nisya. Tapi ini satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Beasiswa Nisya sudah tidak bisa dikembalikan—semuanya telah diatur agar Nisya dikeluarkan dari daftar penerima. Ia sempat mencoba memperjuangkan agar beasiswa itu kembali, tapi tidak bisa. Maka, ia memilih membayar sendiri biaya sekolah Nisya.

Sementara itu, keputusannya untuk tidak membongkar rahasia gelap sekolah bukan karena takut—melainkan semata-mata karena ia tidak ingin Alana menerima dampaknya.

“Gue cinta sama lo. Gue juga sayang sama Nisya. Kita udah tumbuh bareng dari kecil,” gumamnya lagi, lirih dalam hati.

Dewa dan Mahen yang duduk di kelas yang sama hanya memperhatikan dari kejauhan. Mereka tahu betul, ada rasa bersalah yang besar sedang ditanggung Naresh.

Saat jam istirahat, Naresh memutuskan untuk tidak pergi ke kelas Alana. Ia hanya menitipkan bekal yang dibawanya untuk Alana kepada Dewa dan Mahen.

“Gue titip ini buat Alana,” ucapnya, menyerahkan kotak bekal itu pada salah satu dari mereka.

“Alana mungkin nggak mau ngelihat muka gue sekarang, jadi gue titip aja lewat kalian,” jelasnya.

Dewa menerima kotak bekal itu, meski dalam hati ia sempat ragu. Ia tahu, ini mungkin akan memunculkan banyak pertanyaan dari Alana.

“Oke, nanti gue kasih,” ucap Dewa singkat.

Naresh mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum kembali ke tempat duduknya. Hari ini, ia memilih menghabiskan waktu istirahat di kelasnya sendiri.

***

Jendral yang melihat Alana terus diam sambil menatap kosong ke satu titik mulai merasa khawatir. Alana melampiaskan emosinya dengan diam, dan itu yang membuatnya resah.

“Mau makan sesuatu? Kalau mau, nanti gue minta anak-anak beliin,” ucap Jendral pelan pada Alana.

Alana hanya menggeleng, tanpa menoleh. Ia tetap menatap satu titik seolah ada sesuatu di sana yang menarik perhatiannya.

“Terus lo mau apa, hm?” Jendral masih mencoba mengajaknya bicara, berharap bisa menawarkan sesuatu yang mungkin bisa sedikit mengalihkan pikirannya.

“Gue cuma mau... diem,” jawab Alana lirih.

Jendral menghela napas pelan mendengarnya. Ia tidak bisa berbuat banyak. Sementara itu, Nisya yang masih duduk di bangkunya merasakan kekhawatiran yang sama—ia pun tidak tenang melihat Alana seperti itu. Terlebih mengetahui persahabatan Alana dan Naresh sedang tidak baik-baik saja.

Tidak lama kemudian, Mahen, Dewa, dan Aska tiba di kelas. Dewa, yang bingung harus menjawab apa jika Alana bertanya mengapa Naresh tidak memberikan kotak bekalnya langsung, memilih untuk menyerahkan kotak bekal itu kepada Jendral.

“Bantu kasihin, dong,” ucap Dewa sambil menyodorkan kotak bekal.

Melihat ekspresi bingung di wajah Jendral, Dewa buru-buru menjelaskan, “Bekal Alana, dari Naresh.”

Jendral menatap sekilas kotak bekal itu, lalu menerimanya dan meletakkannya di meja Alana.

“Bekal dari Naresh,” ucapnya singkat setelah menaruh kotak itu di atas meja.

Alana menatap kotak bekal itu tanpa menyentuhnya. Perasaan kecewanya semakin dalam. Bahkan untuk menyerahkan bekal pun, Naresh memilih tidak datang langsung.

1
Syaira Liana
makasih kaka, semoga baik baik terus 😍😍
Syaira Liana
ceritanya sangat seru
Syaira Liana
alana percaya yuk
Syaira Liana
jadi bingung pilih naresh apa jeje😭😭
Syaira Liana
alana kamu udah jatuh cinta😍😍 terimakasih kak
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
Izin yaa
total 1 replies
Syaira Liana
lanjutt kaka, alana bakal baik2 aja kan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!