Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DODIAKSU 02
Anton menatap ke arah kamar Halimah dengan pandangan tajam, pintu kayu berwarna coklat itu tertutup rapat. Dengan wajah datar, Anton berjalan mendekat ke arah pintu kamar, langkahnya pelan.
Ia mendorong pintu itu dengan perlahan, dan di dalamnya, terlihat Halimah terbaring miring, membelakangi Anton di atas kasur yang terbentang luas.
Dengan hati-hati, Anton mendekat, naik ke atas kasur, dan menyentuh pundak Halimah dengan lembut, seolah tidak ingin mengganggu.
Namun, Halimah menarik bahunya dengan kasar, menghindari sentuhan Anton. Tak terima dengan perlakuan Halimah, Anton menarik paksa pundak Halimah, membuatnya berbalik ke arahnya. Mata Halimah terlihat melotot ke arah Anton, penuh kemarahan dan ketidakpuasan.
"Mau apa lagi, kamu Mas?" Halimah melontarkan pertanyaan itu dengan nada penuh kemarahan, masih terbayang bagaimana Anton mencaci makinya di depan saudara-saudaranya.
"Belum cukup kamu mempermalukan aku?"
Halimah duduk tegak, menghadap Anton dengan mata yang menyala kemarahan. Anton, yang berdiri di hadapannya, tiba-tiba menarik tangan Halimah dan mencoba membuka paksa bajunya.
"Aku mau kamu menjalankan kewajibanmu sebagai seorang istri," Anton mengucapkan kalimat itu dengan nada yang meninggi.
Halimah terkejut, matanya memicing seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari bibir suaminya.
"Heh... Apa? Kamu meminta aku untuk melayanimu setelah kamu mempermalukan aku?" Halimah berteriak, sambil dengan cepat menutup kembali bajunya yang mulai melorot.
Suasana di dalam kamar tersebut menjadi semakin tegang dan terasa penuh dengan ketegangan yang tidak terucapkan.
"Jangan harap aku mau melayanimu, Mas," Halimah mengucapkan kalimat itu dengan nada dingin dan penuh kebencian, "Bahkan aku sudah muak melihat wajahmu!"
Dengan gerakan cepat, Halimah bangkit dari ranjang dan turun ke lantai, meninggalkan Anton yang terlihat semakin marah. Anton mengepalkan tangannya dengan erat, berusaha menahan amarah yang memuncak di hatinya.
"Aku ini suamimu, Halimah," Anton mengucapkan kalimat itu dengan nada geram , "Aku berhak meminta hakku darimu, dan aku tidak akan membiarkanmu menolaknya!"
Halimah berdiri tegak, berhadapan dengan Anton, matanya menyala dengan kemarahan dan kebencian.
"Untuk saat ini, aku tidak bisa melakukan itu," katanya dengan nada dingin.
"Aku sangat kesal melihatmu, Mas. Bagaimana bisa kamu berpikir menggauliku setelah semua yang kamu lakukan padaku? Aku tidak sudi, Mas."
Tiba-tiba,"Plak...!"
suara tamparan tangan Anton menggema di dalam kamar, membuat Halimah terkejut dan kesakitan.
Suara itu terdengar begitu keras, membuat Halimah memegang pipinya yang merah dan terasa panas.
"Kurang ajar kamu jadi istri," Anton mengucapkan kalimat itu dengan nada kesal dan marah. "Berani sekali menolak permintaan suamimu."
Dengan hati kesal dan marah, Anton keluar dari dalam kamar, membanting pintu dengan keras, meninggalkan Halimah yang kesakitan dan terluka. Hati Halimah terasa remuk, suaminya yang seharusnya melindunginya, kini berani main tangan dengannya.
Tak lama, suara mobil keluar dari garasi, membuat Halimah segera keluar dari dalam kamar. Ia berjalan menuju depan, dan melihat sekilas mobil Anton meninggalkan rumah. Hati Halimah terasa sakit, ia hanya bisa mengelus dada, merasa kehilangan dan kesepian. Air matanya keluar membasahi pipi, ia tidak bisa menahan kesedihannya.
Dengan langkah yang berat, Halimah kembali masuk ke dalam rumah, ia kemudian duduk di atas sofa usang berwarna merah maroon. Ia duduk sambil tertunduk, sesekali ia mengusap pipinya yang masih terasa perih karena tamparan Anton.
"Dia keluar lagi," gumam Halimah, "pasti dia mau jajan di luar."
Walaupun tidak tahu pasti, namun hati Halimah mengatakan bahwa suaminya sering berselingkuh di luar. Ia bisa merasakannya dari uang bulanan yang biasa Anton berikan, yang belakangan ini berkurang. Anton juga sering sekali pulang malam, bahkan tak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk.
Itulah yang membuat Halimah harus bisa mencari uang tambahan untuk membiayai kehidupannya. Untunglah ia pandai dalam memasak dan membuat kue, sehingga ia bisa berjualan sayur dan aneka kue untuk mencari nafkah.
Tak lama, suara motor terdengar memasuki garasi, membuat Halimah segera mengusap air matanya yang masih basah. Ia tidak ingin anak lelakinya, Rafandra, mengetahui masalah yang sedang menimpanya. Dengan cepat, Halimah bangkit dan berjalan menuju pintu, membukanya untuk Rafandra yang baru saja tiba.
Rafandra berjalan menghampiri ibunya, matanya menatap Halimah dengan intens, seolah menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada ibunya. Ia masuk ke dalam rumah dan berdiri tepat di hadapan Halimah, menatapnya dengan penasaran.
"Ada apa, Mak?" tanya Rafandra, suaranya penuh kekhawatiran. "Kenapa Mak menangis?"
Halimah mengusap matanya sekali lagi, memastikan air matanya sudah tidak ada. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dan memberikan senyum palsu.
"Nggak, siapa bilang Mak nangis?" ucap Halimah, berusaha meyakinkan Rafandra bahwa semuanya baik-baik saja.
Rafandra tidak percaya pada jawaban ibunya sebelumnya, ia tahu bahwa Halimah baru saja menangis.
"Jangan bohong sama aku, Mak," kata Rafandra dengan nada yang lebih keras. "Aku tahu jika Mama habis nangis. Jujur, Mak, ada apa?"
Halimah berjalan ke arah ruang keluarga, ia duduk di springbed yang ada di depan televisi, tampak lelah dan terluka. Rafandra juga mengikuti ibunya, ia berdiri sambil menunggu jawaban dari Halimah, matanya penuh dengan kekhawatiran.
Halimah mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Rafandra.
"Bapakmu... dia menuduh Mamak selingkuh, Le," katanya dengan suara yang bergetar.
"Padahal Mamak tidak pernah sekalipun selingkuh. Kamu juga tahu, kan, kalau Mamak hanya di rumah jagain warung?"
Rafandra terkejut dengan jawaban ibunya. "Kapan Bapak menuduh Mamak? Bukannya Bapak belum pulang?" tanyanya dengan nada yang tidak percaya.
"Bapakmu tadi pulang, dia membawa Pakde dan Mbok de mu, bahkan Lek mu. Mereka menyidak Mamak tadi... bahkan Bapak menampar Mamak."
Halimah bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir, air matanya kembali mengalir.
Rafandra terlihat marah, matanya memerah seperti api yang menyala, ia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, seolah ingin memukul sesuatu. Walaupun Rafandra terlihat badung dan urakan, tapi ia sangat menyayangi ibunya. Ia adalah anak yang sangat protektif terhadap ibunya.
Kini, setelah lulus SMA, Rafandra menjadi andalan ibunya jika ada masalah. Ia memiliki paras yang tampan, kulit putih, hidung mancung, dan badan yang tinggi, membuatnya banyak di gandrungi anak gadis. Namun, di balik itu, Rafandra juga sedikit susah diatur, keras kepala, dan suka main hakim sendiri. Hal itu juga yang membuat Halimah takut untuk menceritakan semuanya pada anak lelakinya, ia takut jika Rafandra mengamuk pada bapaknya.
"Gak bisa di biarkan ini!" Rafandra mengucapkan kalimat itu dengan nada yang keras dan marah. "Berani sekali bapak nampar mamak! Awas aja kalo bapak pulang!" Ia mengancam, seolah ingin melindungi ibunya dari kejahatan bapaknya.
Halimah meraih tangan Rafandra, mencoba untuk menenangkannya.
"Jangan lakukan apapun, Le," katanya dengan suara yang lembut. "Mamak sudah gak papa. Kamu gak boleh ngelawan bapakmu." Ia mencoba untuk mengingatkan Rafandra agar tidak melakukan sesuatu yang bisa memperburuk keadaan.
"Ya nggak bisa gitu Mak, bapak sudah keterlaluan. " Rafandra dengan kesal pergi meninggalkan ibunya dan masuk ke dalam kamarnya, ia menutup pintu kamar dengan keras.