Pak Woto, petani sederhana di Banjarnegara, menjalani hari-harinya penuh tawa bersama keluarganya. Mulai dari traktor yang 'joget' hingga usaha konyol menenangkan cucu, kisah keluarga ini dipenuhi humor ringan yang menghangatkan hati. Temukan bagaimana kebahagiaan bisa hadir di tengah kesibukan sehari-hari melalui cerita lucu dan menghibur ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepanikan Ayah Muda di Tengah Sawah
Setelah tawa mereka mereda dan rasa kenyang mulai memenuhi perut, Puthut tiba-tiba teringat sesuatu. Ia melirik ke arah Marni, istrinya, yang sedang asyik menikmati sisa Dawet Ayu. Wajahnya mendadak serius, dan dia mendekatkan diri ke Marni.
"Eh, sayang," bisik Puthut pelan, "anak kita, Kanza, di rumah sama siapa ya? Udah dibikinin susu belum?"
Marni yang sedang menikmati suapan terakhir gedang goreng itu, tersentak. Matanya langsung melebar, dan tanpa sadar dia menutup mulutnya yang penuh makanan. "Ya ampun, Puthut! Aku lupa tadi kita tinggalin sama siapa! Aduh, anak kita gimana?"
Puthut pun langsung panik. "Kamu serius, Marni? Aduh, jangan-jangan dia nangis dari tadi. Anak kita kelaparan!"
Mendengar obrolan ini, Pak Woto dan Bu Sisur hanya bisa menahan tawa. Mereka berdua saling pandang dan sudah bisa menebak ke mana arah kepanikan Puthut ini akan berujung.
Bu Sisur kemudian berkata sambil menahan tawa, "Tenang, tenang, Puthut. Anaknya nggak sendirian kok. Tadi sebelum kalian ke sawah, aku sudah nitipin Kanza ke Bu Kartini, tetangga kita. Katanya dia senang jagain bayi, jadi aman!"
Puthut menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya belum hilang. "Tapi, Bu, gimana kalau Kanza nangis terus? Kasian Bu Kartini, dia kan nggak tahu kebiasaan Kanza. Anak kita suka ngamuk kalau nggak disusuin tepat waktu!"
Marni yang juga masih khawatir, menambahkan, "Iya, Puthut benar. Kanza itu bayi yang sensitif. Kalau kita nggak buru-buru pulang, bisa-bisa Bu Kartini repot!"
Pak Woto, yang sejak tadi tersenyum geli, akhirnya ikut bicara. "Ya ampun, Puthut. Kamu ini gimana sih? Baru beberapa jam di sawah udah kangen sama anak. Bukannya bapak-bapak itu biasanya enjoy kalau kerja di luar rumah biar bebas sejenak dari tangisan bayi?"
Puthut menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum malu. "Iya, Pak. Tapi ya gimana lagi, aku jadi mikir, kalau Kanza nangis gara-gara aku tinggalin, nanti dia salahin aku seumur hidup!"
Mendengar itu, Marni tertawa kecil. "Udah, Puthut. Jangan terlalu lebay. Kanza masih bayi, nggak bakal ingat hal-hal kecil kayak gini. Tapi ya, aku setuju kita harus cepat pulang. Nanti dia kelaparan lagi."
Pak Woto kemudian menepuk bahu Puthut sambil berkata dengan nada menggoda, "Eh, Puthut, apa kamu yakin anakmu bakalan ingat soal susu? Jangan-jangan yang kangen susu itu malah kamu!"
Semua langsung tertawa mendengar candaan Pak Woto. Bahkan Puthut pun tak bisa menahan tawanya, meskipun wajahnya sedikit merah karena malu.
Setelah semua tawa mereda, Bu Sisur melanjutkan, "Udah lah, kalian santai aja. Bu Kartini itu jago ngurus bayi. Dan kalaupun Kanza nangis, aku yakin dia tahu caranya menenangkan. Tapi kalau kalian memang khawatir, kita beresin aja dulu di sini, terus langsung pulang."
Puthut dan Marni setuju dengan saran Bu Sisur. Mereka pun mulai membereskan sisa-sisa makanan dan minuman. Puthut, yang masih sedikit gelisah, sesekali melirik jam tangannya, seolah-olah waktu bergerak lebih lambat dari biasanya.
Saat semua sudah beres, mereka pun mulai berjalan pulang. Tapi, di tengah perjalanan, Puthut tak henti-hentinya membahas Kanza.
"Marni, kira-kira Kanza lagi ngapain ya sekarang? Apa dia sudah tidur? Atau lagi digendong Bu Kartini?" tanya Puthut dengan wajah khawatir.
Marni, yang mulai bosan dengan kekhawatiran suaminya, akhirnya berkata, "Sudah lah, Puthut. Anak kita baik-baik saja. Kalau kamu terus mikirin dia, nanti kamu sendiri yang stres!"
Pak Woto, yang berjalan di depan, menoleh sambil tersenyum lebar. "Kamu ini, Puthut, dulu waktu kamu masih kecil nggak pernah kayak gini lho. Santai aja, anak kita itu pintar. Nggak bakal kenapa-kenapa."
Puthut mengangguk, berusaha untuk rileks. Tapi jelas, kepanikannya belum benar-benar hilang. Akhirnya, setelah beberapa menit berjalan dengan cemas, mereka tiba di rumah.
Begitu sampai, Puthut langsung melesat masuk ke rumah tanpa menunggu yang lain. "Bu Kartini! Kanza gimana? Sudah dibikinin susu belum?" teriak Puthut.
Namun, yang dia lihat adalah pemandangan yang membuat hatinya langsung lega. Kanza, bayi kecilnya, sedang tertidur pulas di gendongan Bu Kartini. Wajahnya tenang, tanpa tanda-tanda kegelisahan sedikit pun.
Bu Kartini tersenyum lembut, "Tenang, Puthut. Kanza tadi cuma nangis sedikit, tapi langsung tidur setelah aku gendong. Anaknya gampang kok ditenangkan."
Puthut tersenyum lega, tapi kemudian dia merasa malu karena terlalu panik tadi. "Makasih, Bu Kartini. Maaf kalau tadi saya bikin repot."
Bu Kartini hanya tertawa kecil. "Nggak apa-apa, Puthut. Namanya juga orang tua baru, pasti khawatir."
Marni yang baru masuk rumah melihat pemandangan itu dan juga ikut tersenyum lega. "Lihat kan, Puthut. Aku bilang juga, anak kita baik-baik saja. Kamu terlalu lebay tadi!"
Pak Woto dan Bu Sisur yang ikut masuk ke rumah, tertawa melihat wajah Puthut yang sudah kembali ceria. Pak Woto menepuk bahu Puthut sekali lagi. "Nah, sekarang udah lega kan? Lain kali, jangan terlalu panik. Santai aja. Anak kita itu kuat."
Puthut mengangguk sambil tersenyum malu. "Iya, Pak. Ternyata aku yang lebih heboh dari anak sendiri."
Akhirnya, semua kembali tenang. Mereka duduk bersama, melihat Kanza yang tertidur pulas. Pak Woto, dengan senyum bangga, berkata, "Nah, ini baru namanya keluarga bahagia. Meski kadang panik nggak jelas, tapi yang penting kita selalu bersama."
Bu Sisur mengangguk setuju, "Dan ingat, setiap momen kecil seperti ini, kita syukuri saja. Nanti kalau Kanza sudah besar, kita bisa ceritain bagaimana ayahnya dulu panik gara-gara susu!"
Semua tertawa lagi, dan hari itu pun diakhiri dengan rasa syukur dan kebahagiaan yang sederhana. Mereka duduk bersama di ruang keluarga, menikmati momen-momen kecil yang menghangatkan hati.
Puthut, yang tadinya panik, kini bisa tersenyum lega melihat putrinya tidur dengan tenang. Marni menyandarkan kepala di bahu Puthut, sementara Pak Woto dan Bu Sisur menikmati obrolan ringan tentang kejadian-kejadian lucu hari itu.
"Mungkin besok kita harus bawa Kanza ke sawah juga," canda Pak Woto, "biar dia tahu bagaimana rasanya jadi petani sejak kecil."
Puthut tersenyum sambil mengangguk. "Iya, Pak. Mungkin nanti kalau dia sudah agak besar, kita ajak dia. Biar dia tahu, betapa serunya menghabiskan waktu bersama keluarga di sawah."
Bu Sisur menambahkan, "Yang penting, apa pun yang kita lakukan, kita tetap bersama. Kebersamaan inilah yang paling berharga."
Dan dengan itu, mereka semua sepakat bahwa kebahagiaan sejati adalah saat-saat sederhana yang diisi dengan tawa, cinta, dan rasa syukur. Hari itu berakhir dengan damai, membawa mereka tidur dengan senyum di wajah masing-masing, siap untuk petualangan dan momen lucu berikutnya yang akan datang.