Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkara Bakso
"Guys! Itu dial Alena sama ... Andreas?"
Semua orang menoleh ke arah tempat yang ditunjuk radhit.
"Oh, iya, bener! Njirr! Itu si Andre, gue bogem aja, ya?! Bukannya ngasih tahu kita kalo Alena sama dia! Mana enak-enakan makan bakso lagi!" sungut Alvin penuh kejengkelan.
Dengan wajah-wajah kesal, mereka menghampiri kedua orang itu.
"Oh ... jadi kalian enak-enakan makan bakso di sini? Sedangkan, kita berkeliling hampir dua jam buat nyari orang yang nikmatin bakso?"
Ucapan lembut penuh penekanan seseorang, membuat keduanya menoleh dengan kaget.
Di sana sudah ada lima lelaki dengan satu perempuan. Mereka sama-sama berkacak pinggang, berwajah menyeramkan, membuat Alena dan Andreas menelan ludah.
Tempat Alena sekarang menjadi pusat perhatian semua orang setelah kedatangan mereka. Sebenarnya, dari awal Alena dan Andreas datang, pandangan orang di sana sudah mengarah kedua orang itu, tapi kedatangan mereka berlima, menjadi lebih banyak yang memperhatikan. Bukan hanya pelanggan di tukang bakso itu, tapi banyak pedagang lainnya. Penampilan, kendaraan, itu bukanlah dari kalangan biasa, tapi orang kaya. Mereka berpikir, kenapa mereka makan di pinggir jalan, bukan restoran mahal?
Andreas tertegun dengan ekspresi Audrey menatapnya yang lumayan menyeramkan. Ekspresinya dingin, matanya yang bengkak, menambah keseraman karena tidur setelah menangis. Andreas tidak terbiasa dengan raut wajahnya yang baru Audrey tampilkan pertama kali.
Bukan Alasan lain Audrey menatap Andreas begitu, namun karena Andreas membawa Alena tanpa dia tahu. Entah bagaimana perasaannya, hanya kekesalan yang meliputi Audrey.
Sedangkan, Alena menelan bakso di mulutnya terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan mata mengerjap-ngerap. "E-h ... kak Rava! Nanti ya omelin aku, soalnya sekarang aku lapar banget," keluh Alena tanpa dosa.
Lalu, gadis itu melanjutkan makannya dengan lahap, membuat semua orang di sana melongo.
"Nih, anak ... bikin orang kesel aja," gumam Radhit menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, menatap Andreas tajam sambil menggerutu. "Dre! Lo kenapa gak bilang kalo Alena udah ketemu?!"
Andreas mengedikkan bahu acuh, membuat mereka ingin melemparkan sesuatu ke wajah datarnya. Dia dengan santai memakan bakso yang sudah di pesan.
Ravael menghela nafas kasar. Dia duduk di samping kanan Alena yang tidak menghiraukan mereka, diikuti kelimanya. Audrey duduk di samping kiri Alena, Rafka di samping kanan Andreas.l, Deva di samping kiri, serta Radhit dan Alvin di bangku lain di samping meja itu. Mimik wajah mereka sama-sama terlihat jengkel,
"Dek! Kamu tau, gak, gimana khawatirnya Mamah karena kamu belum pulang nyampe malem gini?!" sungut Ravael dengan raut khawatir bercampur kesal, karena Alena masih mengabaikannya.
"Iya, bener tuh. Kita juga kena omel, kan." Radhit menggerutu.
"Ale, gue kan udah bilang, pulangnya gue anterin, tapi kenapa pulang duluan? Di daerah rumah gue jarang ada taksi lho, apalagi angkutan umum. Kalo lo kenapa-kenapa, gimana?"
Mereka semua langsung heran dengan Audrey. Sejak kapan si dingin ini melunak kepada orang selain Andreas?
Andreas juga sangat bingung, orang yang biasa mengejar-ngejarnya, sekarang malah menatap dingin, cuek, dan berbicara lembut kepada Orang lain.
Alena yang mendengar ucapan Audrey, baru mendongak. Ah, bukan. Bukan karena ucapan. Audrey, namun karena- baksonya sudah habis. Tetapi tetap menjawab, "Iya, maafin aku. Tapi, kan, aku gak mau ngerepotin. Apalagi, ngebangunin kamu cuma buat di anterin pulang, jadi aku sendiri aja,"
Hati Audrey menghangat. Tidak salah dia berubah terhadap Alena.
Alena tiba-tiba menoleh ke Ravael. "Kak, satu lagi, boleh, ya?" pinta Alena tidak jelas, membuat mereka bingung.
Alis Ravael menyatu. "Apa yang satu?"
"Ihh! baksonya, Kak Rava. Aku belum kenyang," rengeknya dengan bibir mengerucut.
Mereka kembali melongo. "Len? Lo gak kenyang, semangkuk penuh itu?" Radhit dengan aneh sambil menunjuk mangkuknya yang kosong.
Alena mengangguk polos.
"Nggak, Dek. Ayo, pulang! Mamah udah nungguin. Nanti aja kakak beliin," sanggah Ravael tegas. Alena mengangguk lesu. "Iya, iya, deh."
Lalu, mereka berdiri bersiap untuk pulang, Andreas juga sudah selesai dengan makan baksonya. Tapi, gerakan mereka berhenti oleh suara tukang bakso..
"Eh! Mau kemana? Jangan pulang dulu, dong! Bakso saya belum dibayar."
Teriakan nyaring tukang bakso itu membuat mereka kehilangan wajah. Menatap tajam Andreas yang sangat malu, dan Alena yang cengengesan.
Kedua orang itu benar-benar akan lupa, jika tidak di tegur. Alena mengambil uang dari saku roknya. Namun, yang dia rasa di sana tidak tidak ada kertas apapun, alias uangnya, dia lupa, dompetnya ada di tas sekolah yang berada di mobil. Lalu, dia menoleh sambil nyengir ke Ravael yang sudah tahu gelagatnya. "Kak.."
"Bagus, Dek, bagus. Gak bawa uang, yal? Seandainya, kalo Andreas gak ada, dan ada taksi yang lewat pun kamu gak bisa pulang!" ketus Ravael datar.
"Iya, maaf ... kan Aku lupa," cicit Alena sambil menunduk, membuat mereka yang melihatnya tidak tega.
"Rav! Udahlah. Jangan marahin Alena, Ini salah gue karena biarin dia pulang sendiri," bela Audreya.
Di merasa sangat bersalah, membiarkan Alena pulang sendiri.
"Awas! Lo, ya, kalo kejadian ini terulang lagi,"ancam Ravael yang tidak dihiraukan Audrey. Audrey juga tidak akan setega itu melakukannya. Dia sudah Bertekad, agar apa yang terjadi hari ini tidak terulang.
"Andreas! Bayarin sekalian punya Alena!"teriak Audrey
Santai kepada Andreas yang sedang menyodorkan uangnya kepada tukang bakso. "Tanpa lo ngomong juga, gue bayarin."
Senyum Alena mengembang, "Makasih, ya," ucap Alena ketika Andreas sudah di hadapan mereka.
"Hmm."
Keempat teman Andreas sudah menaiki kendaraannya masing-masing. Lalu, disusul Ravael yang akan membonceng Alena.
"Gue, bonceng dia?" tanya Andreas ketika sudah siap, sambil menunjuk Audrey yang di angguki teman-temannya.
"Lo searah kan, sama Audrey?" tanya Ravael. Andreas mengangguk kaku.
"Kenapa lo? Gak mau bonceng gue?" sewot Audrey, namun suara dan ekspresinya sangat tidak sesuai dengan hati yang berharap banyak.
Karena tidak terbiasa dengan perubahan wajah Audrey yang acuh tak acuh, Andreas hanya menggeleng
"Kalo gitu, cepet! Gue gak ikhlas kalo Alena yang di bawa sama cowok kaya lo." ketusnya beralibi sambil menaiki motor Andreas.
Kedua tokoh itu tidak sadar dengan perubahan sikap mereka satu sama lain, yang biasanya tidak dekat. Walaupun beradu mulut, sekarang mereka sedikit akrab. Dan itu semua karena seorang gadis yang bahkan perannya tidak mencolok.