Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 3 Datang ke Club
Edwin bergelut dengan file dihadapannya, sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar ditangannya, melihat jam sudah lewat tengah hari tapi sang istri belum juga menghubunginya.
Pesawat yang berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional Kualanamu hanya membutuhkan waktu 2 jam 20 menit yang artinya sekarang Mona sudah tiba disana.
Edwin mencoba menghubungi Mona namun ponsel sang istri masih belum diaktifkan. Edwin khawatir terjadi sesuatu pada istrinya terlebih lagi Mona berangkat ke Medan hanya sendirian. Mona sudah terbiasa pergi kemanapun sendirian, meski Edwin kerap kali menawarkan diri untuk ikut dengannya namun Mona selalu menolaknya dan memilih berangkat sendiri.
Edwin sudah menghubungi asisten sang istri namun Mona juga belum menghubungi asisten itu.
"Mona, jangan buat aku mengkhawatirkanmu," ucap Edwin seraya menggenggam ponselnya menunggu Mona menghubunginya kembali.
Edwin benar-benar mengkhawatirkan istrinya yang belum memberi kabar, sementara Mona yang dikawatirkan oleh Edwin sedang sibuk mengurus galerinya.
Tadi setiba di kota Medan, Mona langsung mendatangi galerinya untuk melihat sejauh mana persiapan pembukaan yang akan di laksanakan besok. Mona sudah memiliki beberapa galeri lukis dan semua lukisan itu ia buat dengan tangannya sendiri.
Banyak lukisan yang sudah Mona buat, hasilnya banyak dipajang dibeberapa tempat seperti galeri, kantor, rumah, dan restoran Hamara. Mona juga seringkali melukis wajah Edwin membuatnya hafal setiap inci wajah suaminya itu. Mona mencintai Edwin namun ia juga mencintai pekerjaan dan juga hobinya.
Edwin bernafas lega saat pukul 05.00 sore Mona menghubunginya.
"Ke mana saja kamu, Mon, aku dari tadi menghubungimu?" cerca Edwin sesaat dia menjawab panggilan telepon tersebut.
"Aku baru sampai hotel, Mas, tadi mengunjungi galeri dulu melihat persiapan untuk besok dan aku baru mengaktifkan ponselku," jawab Mona.
"Lain kali jangan seperti itu, segera hubungi aku kalau kamu sudah sampai supaya aku tidak khawatir."
"Iya Mas. Ya sudah aku mau mandi dulu, mau istirahat, nanti jam 8 aku sudah harus kembali lagi ke galeri."
"Secepat ini? Aku masih Ingin mengobrol denganmu, Mon."
"Aku lelah, Mas, aku pengen istirahat. Nanti lagi ya nelponnya."
"Ya sudah kalau begitu kamu istirahatlah, hati-hati di sana."
"Iya," ucap Mona lalu mengakhiri sambungan teleponnya.
Lagi-lagi Edwin mendengus sebal. Ia masih ingin berlama-lama mengobrol tapi Mona justru mengakhiri panggilan teleponnya. Sejauh ini Edwin selalu berusaha untuk mengerti dan menyesuaikan dengan gaya hidup sang istri yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Pukul 10.00 malam Edwin masih berada di restoran, duduk tenang menghadap laptopnya. Edwin sama sekali tidak ingin beranjak dari duduknya apa lagi pulang ke rumah karena di rumah dia hanya sendirian tak ada istri yang seharusnya menemaninya.
Edwin sudah beberapa kali mengirim pesan pada Mona, namun sang istri sama sekali tidak membalasnya, pesan dari Edwin hanya dibaca saja padahal pria itu menunggu balasan pesannya.
...****************...
Hari-hari berlalu Mona pulang dari Medan sudah 3 hari yang lalu namun hingga kini wanita itu belum juga pulang kerumah. Mona yang pulang dari Medan langsung dijemput orang tuanya dan membawanya tinggal dirumah mereka.
Edwin sudah beberapa kali mendatangi rumah mertuanya untuk menjemput Mona pulang, tapi Mona yang sebentar lagi akan menjabat Direktur Utama menolak pulang dan meminta tambahan waktu 4 hari untuk ia belajar bisnis di rumah kedua orang tuanya.
Edwin kecewa, sangat kecewa pada sang istri yang menolak pulang bersamanya padahal Edwin menjemput Mona ke rumah mertuanya membutuhkan mental yang kuat. Setiap kali Edwin bertemu mertuanya setiap kali itu juga Edwin mendapat hinaan dari mertuanya.
Edwin yang seorang pria miskin menikah dengan Mona yang seorang pewaris perusahaan besar dianggap menumpang hidup pada mereka, padahal selama menikah dengan Mona, Edwin berusaha keras memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka hanya saja Mona yang tidak mau menggunakan uangnya dengan alasan ia bisa menghidupi dirinya sendiri.
Edwin sekarang bukan lagi pria miskin, dia sudah kaya dengan memiliki beberapa restoran bintang 5 tapi sampai sekarang sikap kedua mertuanya itu masih saja buruk padanya. Bila Edwin tidak mencintai Mona, ia yakin sejak dulu pasti mereka sudah berpisah.
Edwin yang sedang kecewa tak bisa berpikir jernih, ia mendatangi club malam sehabis menjemput sang istri namun wanita itu tak mau pulang dan justru dirinya mendapat hinaan dari mertuanya.
Dentuman musik memekakan indra pendengarannya membuat Edwin sedikit meringis namun tak mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam club tersebut.
Edwin ingin minum sesuatu disana berharap setelah minum ia akan melupakan masalahnya walaupun sebentar.
"Mau minum apa?" tanya bartender yang berdiri di hadapan Edwin.
"Apa saja yang bisa membuat saya lebih baik," jawab Edwin yang sudah duduk di kursi.
Bartender itu mengangguk kemudian menuangkan cocktail ke dalam gelas lalu menyodorkan dihadapan Edwin.
Edwin tak langsung meminumnya. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru club, melihat betapa ramainya club malam yang ia datangi ini. Ada yang sedang minum, berjoget, bahkan ada yang beciuman disana.
Edwin mengalihkan pandangannya menatap pada minuman dihadapannya, menghela nafasnya kemudian mengangkat gelas hendak meminumnya namun ....
Brukk!!
Pyarr!!
Ada seseorang yang menubruknya membuat gelas ditangnya jatuh dan pecah.
"Maaf," lirihnya kemudian berlari kearah toilet.
Edwin menatap punggung seseorang yang tadi menubruknya. Seorang gadis dengan wajah tak sempat ia lihat namun mendengar suaranya yang bergetar saat mengatakan 'maaf' Edwin bisa menduga bila gadis itu tengah menangis.
"Baju anda kotor, Pak, bila anda tidak nyaman anda bisa membersihkannya terlebih dahulu. Toilet ada di sana," ucap bartender menunjuk lorong yang baru saja dimasuki gadis tadi.
Edwin mengangguk kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan kelorong yang di arahkan bartender padanya.
Plakk!!
Langkah kaki Edwin terhenti saat mendengar suara seseorang ditampar.
"Sudah Kakak bilang, layani dia."
"Aku tidak mau, Kak."
"Dengar Andini, nyawa Ibu ada di tanganmu, hanya kamu yang bisa menolongnya."
"Aku tidak bisa Kak Bima, aku tidak mau menjual kesucianku."
"Lalu kamu maunya seperti apa? Kakak sudah bekerja keras untuk biaya rumah sakit Ibu tapi itu tidak cukup. Biayanya masih kurang banyak dan sekarang hanya kamu yang bisa menolongnya."
"Aku tidak mau, Kak."
"Lalu kamu mau membiarkan ibu meninggal padahal kamu bisa menolongnya? Begitu?"
Andini menundukkan kepalanya, jari tangan saling meremat kuat, air matanya berlinang deras. Ia tidak mau ibunya meninggal tapi ia juga tidak mau menjual kesuciannya. Andini sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga kesuciannya hanya untuk suaminya seorang.
Tapi kini ia dihadapkan dengan situasi yang membuatnya dilema berat antara mempertahankan kesuciannya atau menolong ibunya.
Apa yang harus Andini lakukan?