Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua malam yang berbeda
"Dari mana kamu?" tanya sebuah suara tegas yang menjeda langkah seorang remaja yang baru turun dari motor sportnya. Ia memarkir motornya beberapa saat sebelum bersiap menghadapi laki-laki itu.
Remaja itu menoleh dan melihat sosok laki-laki yang terduduk di kursi tunggu teras rumahnya.
Laki-laki bangkit dan mendekat padanya. Cahaya lampu taman membuat ia bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki berkumis tipis dengan mata yang melotot menatapnya.
"Rupanya, kamu masih sama saja, keluyuran setiap hari dan melakukan hal-hal yang tidak berguna!" laki-laki itu mengibaskan ujung jaket remaja tersebut dengan kasar.
Ia menatap tajam sepasang mata yang membalas tatapannya.
"Mas, biarkan Kala masuk dulu. Dia kan baru pulang. Mas bahkan tidak bertanya kabarnya, padahal kalian jarang bertemu." Ucap seorang wanita cantik berusia pertengahan empat puluhan yang menghampiri laki-laki bernama Yudhistira.
Remaja bernama Kala itu terlihat acuh saja saja. Dengan santai Ia melepas helmnya dan menaruhnya di atas motor.
"Melihat penampilannya yang seperti ini, sudah pasti dia baik-baik saja. Dia pasti habis melakukan hal-hal tidak penting yang sangat dia sukai. Darimana kamu, balapan liar lagi?" tanya Yudhistira seraya menepuk wajah Kala.
Kala tidak menimpali, ia membiarkan sang ayah mengatakan dan melakukan apa yang dia inginkan.
"Heh, jawab pertanyaan saya." Laki-laki itu berkacak pinggang di depan Kala yang menatapnya dengan malas.
"Apa yang mau papah tau dan sejak kapan papah peduli dengan yang aku lakukan?" baru kali ini remaja itu menimpali.
"Jangan kurang ajar kamu Kala!" seru Yudhistira.
"Mas, cukup mas. Malu di dengar tetangga. Masa tiap ketemu kalian selalu ribut dan ribut terus." Ucap wanita yang bernama Wilda yang berusaha melerai mantan suami dan anaknya ini.
"Gak perlu ikut campur! Diam kamu di sana!" tunjuk Yudhistira pada kursi yang ada di teras rumah. Ia maish belum puas memarahi putra semata wayangnya.
Wilda tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menurut dan duduk di teras, memperhatikan Yudhistira dari kejauhan. Ia juga melihat tangan Kala yang sudah mengepal mendengar perkataan kasar sang ayah pada ibunya.
"Sudah berapa kali papah bilang agar kamu datang ke rumah dan temui ibu sambungmu. Kenapa kamu masih belum datang juga hah, kenapa?! Ini sudah hampir satu tahun Kala dan kamu masih tidak bisa menunjukkan rasa hormat kamu pada istri saya." Yudhistira berseru dengan keras di depan wajah Kala.
Remaja itu tidak menimpali, ia balas menatap wajah sang ayah yang begtu ia benci. Laki-laki yang pergi meninggalkan keluarganya dan memilih menikahi wanita lain.
Hah, kalau mengingat hal itu rasanya ia ingin memukul wajah Yudhistira yang sangat ia benci.
Tapi demi tidak menyulitkan ibunya, Kala lebih memilih pergi dari hadapan Yudhistira. Ia pergi tanpa berkata apapun, meninggalkan Yudhistira yang sedang melotot tidak percaya melihat tingkahnya.
"KALANTARA!!!!" seru Yudhistira dengan suara lantang.
Tapi Kala tidak menghentikan langkahnya apalagi menoleh pada laki-laki yang berkacak pinggang itu.
"Kalantara, kamu menantang papah hah?!" Yudhistira masih tidak terima.
Tapi Kala tetap dengan pilihannya, pergi dari hadapan Yudhistira dengan dada bergemuruh dan tangan yang mengepal erat. Marah, hanya itu yang ia rasakan saat ini hingga tidak ingin melihat wajah laki-laki yang begitu mengecewakannya.
****
Di tempat berbeda, Kinanti masih memandangi salah satu sisi dinding kamarnya yang ia rapikan dan ia hias untuk menghidupkan suasana. Beberapa aksesoris ia pasang dan begitu menggambarkan nuansa kamar seorang gadis.
“Wah, kereeenn ....” Kinanti bergumam sendiri sambil tersenyum. Ia tengah memandangi deretan medali dan piala yang pernah ia dapatkan dari berbagai kompetisi yang diikutinya.
Akhirnya, barang-barang kebanggannya ini bisa ia pajang dan ia pandangi dengan penuh rasa bangga.
Kamarnya kali ini cukup luas di banding kamar-kamar sebelumnya. Sehingga Kinanti bisa menyimpan banyak barang di kamarnya, termasuk berbagai aksesoris serta medali dan piala.
Kinanti memang anak yang cerdas. Walaupun ia sering berpindah-pindah sekolah tapi prestasinya tidak pernah terganggu. Ia rajin mengikuti olimpiade science di sekolahnya. Karena selain berhadiah uang dan medali, ia juga ingin meningkatkan kualitas dirinya melalui berbagai macam perlombaan.
Urusan menang kalah tidak masalah. Ya untungnya selama ini Kinanti selalu menang walau pun tidak selalu ada di urutan pertama. Tapi paling tidak, ia bisa mengukur kemampuannya dan membanggakan sang ayah yang telah bekerja keras demi bisa memberikan pendidikan yang layak untuk Kinanti. Ia ingin membalas rasa lelah ayahnya yang telah mengurus Kinanti seorang diri, dengan banyak prestasi yang ia dapatkan. Untuk saat ini, hanya ini yang bisa ia lakukan.
“Gimana, suka kamarnya?”
Suara Lukman kembali terdengar saat laki-laki berusia setengah abad itu masuk ke dalam kamar Kinanti.
“Suka banget ayah. Aku bisa majang semua penghargaanku.” Seru Kinanti dengan bangga.
“Baguslah!” Lukman mengusap kepala Kinanti dengan sayang.
Ia berjalan menghampiri deretan medali milik Kinanti. Ia tersenyum bangga pada pencapaian putrinya. Di ambilnya satu foto yang sudah Kinanti buat menjadi kolase.
“Foto ini, boleh di pajang di kamar ayah?” pinta Lukman.
Kinanti mendekat. Rupanya yang dimaksud Lukman adalah foto saat menjadi juara oliimpiade science di SMP saat ia tinggal di Sulawesi dulu.
“Kenapa foto yang ini ayah? Yang ini background-nya agak blur.”
“Emmm, soalnya di foto ini ada ayah sama Kinanti. Ayah suka liat senyum kita di foto ini.” Lukman beralasan.
Ia memang sangat menyukai foto ini, karena hanya di foto ini ia mendampingi Kinanti mendapatkan tropy dan medali juara. Di setiap perlombaan, biasanya, Kinanti hanya ditemani oleh gurunya karena Lukman memiliki kesibukan yang mengharuskannya mengutamakan pekerjaan. Namun saat olimpiade itu, Lukman mendapat izin dari atasannya untuk menemani Kinanti mengikuti olimpiade.
Nyatanya, foto ini menjadi satu-satunya foto yang mengabadikan moment saat ia ikut merayakan kemenangan putrinya dalam suatu kejuaraan. Rasa bangga saat mendengar nama Kinanti di sebut sebagai juara pertama pun begitu membekas dipikirannya.
“Okey, boleh.” Kinanti akhirnya setuju.
“Terima kasih.” Satu kecupan diberikan Lukman di pucuk kepala Kinanti.
“Sekarang, kamu istirahat ya. Besok kamu harus ke sekolah baru kamu. Jaraknya lumayan jauh jadi bangun pagi-pagi. Jakarta juga macet, jangan sampai kita kesiangan.”
“Siap ayah!” Kinanti melakukan hormat singkat pada Lukman sebelum laki-laki itu pergi meninggalkannya.
"Selamat malam, Kinan. Mimpi indah."
"Malam ayah, tidur yang nyenyak di kamar baru ayah."
Laki-laki itu tersenyum sebelum kemudian meninggalkan Kinanti di kamarnya.
“Ayah!” panggil Kinanti, saat Lukman sudah ada di depan pintu kamarnya.
“Iya?” Lukman kembali berbalik. Ia melihat senyum Kinanti yang mengembang dengan cantik.
“Terima kasih banyak. Kinan sayang ayah.” Ungkap Kinanti dengan tulus.
“Ayah juga sayang Kinan. Selamat malam nak.” Lukman balas tersenyum. Lambaian tangan Kinanti menjadi akhir perbincangan mereka.
Kinanti menutup pintu kamarnya. Ia berputar-putar melihat sekeliling kamarnya yang cukup luas. Ia segera menghampiri jendela kecil yang langsung terhubung dengan dunia luar. Terdiam di sana beberapa saat sambil menikmati udara malam Jakarta yang tetap terasa hangat.
Beberapa bintang di atas sana berkedip menyapanya membuat Kinanti lantas tersenyum kecil.
“Tolong sampaikan pada ibu, kalau aku dan ayah baik-baik saja. Kami tinggal di tempat yang baru dan rasanya lebih nyaman.” Ungkap Kinanti pada satu bintang yang bersinar paling terang.
Setelah puas memandangi langit malam, ia pun menutup jendela kamarnya. Tirai tipis dan tebal ia tutupkan dan lampu utamapun di padamkan. Hanya ada cahaya kekuningan dari lampu tidur yang menerangi kamarnya.
Kinanti membaringkan tubuhnya telentang di atas Kasur. Ia tersenyum penuh arti membayangkan hari baru besok akan ia jelang.
“Bersiaplah Kinan, kamu harus beradaptasi dengan tempat baru. Jangan sampai ayah memindahkan sekolahmu lagi. Semangaaattt!!!” Kinanti mengusap-usap pucuk kepalanya sendiri lalu menepuk bahunya. Ini cara yang selalu ia lakukan untuk menyemangati dirinya sendiri.
Ia memejamkan matanya menyambut mimpi yang indah.
Sementara itu, Kala masih terdiam di atap kamarnya, Ia melihat hingarnya cahaya kota Jakarta. Ia masih enggan untuk kembali ke kamarnya karena rasa sesak dan pengap yang masih ia rasakan setelah tadi menahan marahnya dalam-dalam.
Ia tertunduk lesu. Tidak memahami keadaan yang selalu menyebalkan baginya. Seringkali ia berpikir, Jika saja ia tidak terlahir di keluarga ini, apa ia akan lebih bahagia?
****