Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Garis Wajah dalam Ingatan
Pagi itu, lobi Adhitama Tower terasa berbeda.
Tidak ada lagi bisik-bisik mencemooh atau tatapan sinis yang menusuk punggung Kaluna. Sebaliknya, saat Kaluna melangkah masuk dengan setelan blazer abu-abunya, resepsionis berdiri dan membungkuk sopan—sedikit terlalu dalam, tanda rasa bersalah. Beberapa staf yang berpapasan dengannya buru-buru menyingkir memberi jalan sambil bergumam, "Pagi, Bu Kaluna."
Berita di portal online pagi ini sudah berubah total.
"PLOT TWIST: Kepala Gudang Mengaku Disuap, Nama Arsitek Cantik Bersih dari Tuduhan Sabotase."
Kaluna menghela napas lega, meski dadanya masih terasa sesak. Namanya bersih, tapi hatinya masih berantakan.
"Mbak Kaluna!" Rian menyambutnya di depan lift dengan wajah sumringah. "Syukurlah Mbak sudah datang. HRD sudah siapkan surat pemulihan status. Tapi Pak Bara minta Mbak tunggu di ruangannya dulu."
"Bara di mana?" tanya Kaluna saat mereka masuk ke dalam lift.
"Sedang 'perang dunia' di ruang rapat direksi lantai 15, Mbak," bisik Rian, matanya melotot dramatis. "Bu Siska dan Pak Burhan dipanggil. Pengacara perusahaan juga datang. Sepertinya Pak Bara mau bersih-bersih total hari ini."
Kaluna mengangguk. Bara menepati janjinya. Badai itu benar-benar berhenti hari ini, digantikan oleh pembalasan sang CEO.
Ruangan Bara kosong dan sunyi.
Rian meninggalkan Kaluna di sana dengan secangkir teh hangat. "Tunggu sebentar ya, Mbak. Pak Bara bilang jangan ke mana-mana sampai dia datang."
Kaluna duduk di sofa tamu, menyesap tehnya. Matanya menyapu ruangan luas yang bernuansa maskulin itu. Selama ini, setiap kali masuk ke sini, ia selalu dalam keadaan tegang atau formal. Ia tidak pernah benar-benar melihat ruangan ini.
Di sudut ruangan, dekat jendela kaca besar yang menghadap Monas, ada sebuah meja kerja kecil yang terpisah dari meja utama CEO. Meja itu bukan meja komputer, melainkan meja gambar arsitek (drafting table) yang miring.
Kaluna mengerutkan kening. Bara sudah lama tidak menggambar manual sejak dia fokus manajemen bisnis. Kenapa ada meja gambar di sini?
Terdorong rasa penasaran, Kaluna berdiri dan berjalan mendekati meja itu.
Di atas meja, berserakan pensil grafit berbagai ketebalan, penghapus karet yang sudah kotor, dan serutan pensil. Ada aroma kayu pensil dan kertas yang sangat familiar—aroma studio gambar mereka dulu saat kuliah.
Di tengah meja, tergeletak sebuah buku sketsa (sketchbook) bersampul kulit hitam yang terlihat sudah tua dan sering dipegang. Buku itu terbuka pada halaman tengah.
Kaluna bermaksud hanya mengintip, mengira itu sketsa kasar denah hotel atau detail konstruksi.
Namun, saat matanya mendarat di atas kertas itu, napasnya tercekat.
Itu bukan gambar bangunan.
Itu gambar wajah.
Wajah seorang perempuan yang sedang tertidur dengan posisi miring, rambutnya menutupi sebagian pipi. Garis-garis arsirannya begitu halus, begitu lembut, seolah sang pelukis takut menyakiti objek gambarnya dengan ujung pensil.
Di sudut kanan bawah, ada tulisan tangan Bara yang khas:
London, November 2019. (Imajinasiku tentangmu hari ini).
Jantung Kaluna berdegup kencang. Tahun 2019. Itu tahun pertama mereka putus. Bara menggambarnya... dari imajinasi?
Dengan tangan gemetar, Kaluna memberanikan diri membalik halaman berikutnya.
Gambar lagi.
Kali ini wajah perempuan itu sedang tertawa lebar, matanya menyipit membentuk bulan sabit. Detail lesung pipi samar di dekat bibirnya tergambar sempurna.
Agustus 2021. Apa kamu masih tertawa seperti ini di sana?
Kaluna membalik halaman lagi. Dan lagi.
Buku itu bukan sekadar buku sketsa. Itu adalah diari visual. Sebuah kronologi kerinduan yang direkam dalam grafit hitam putih. Setiap halaman berisi wajah Kaluna dalam berbagai ekspresi—menangis, melamun, marah, tersenyum.
Bara tidak pernah melupakannya. Tidak sedetik pun. Selama lima tahun Kaluna berjuang menata hati di London, Bara duduk di Jakarta menggambar wajahnya, merawat ingatannya agar tidak pudar dimakan waktu.
Kaluna sampai di halaman terakhir. Kertasnya masih bersih, jejak pensilnya masih baru. Tidak ada tanggal, hanya tulisan Kemarin.
Gambar itu menunjukkan Kaluna yang sedang duduk di dalam mobil, menatap ke luar jendela dengan tatapan sedih. Rambutnya dicepol asal, ada helai anak rambut yang jatuh di leher. Kaluna ingat momen ini. Ini saat perjalanan pulang dari Yogyakarta, saat mereka sedang "gencatan senjata".
Di bawah gambar itu, ada tulisan singkat yang membuat air mata Kaluna menetes seketika:
Hadirmu nyata, tapi jarakmu tak terhingga. Maafkan aku.
"Kaluna?"
Suara pintu terbuka dan panggilan itu membuat Kaluna terlonjak kaget.
Bara berdiri di ambang pintu. Jasnya tersampir di lengan, dasinya sudah hilang, kemejanya kusut. Wajahnya tampak lelah luar biasa, tapi matanya langsung waspada saat melihat Kaluna berdiri di depan meja gambarnya.
Bara membeku. Matanya jatuh pada buku sketsa yang terbuka di tangan Kaluna.
Wajah Bara, yang biasanya datar dan penuh kontrol, seketika berubah. Ada kepanikan murni di sana. Rasa malu. Seperti seseorang yang ketahuan sedang telanjang.
"Jangan lihat itu," ucap Bara cepat, melangkah lebar mendekati Kaluna, berniat merebut buku itu.
Tapi Kaluna tidak melepaskannya. Ia memeluk buku itu ke dadanya, menatap Bara dengan mata basah.
"Kamu menggambarku..." bisik Kaluna, suaranya pecah. "Selama ini? Selama lima tahun ini?"
Langkah Bara terhenti satu meter di depan Kaluna. Bahunya merosot. Rahasianya terbongkar. Topeng "aku-sudah-move-on" yang ia pakai selama ini hancur berkeping-keping.
"Kembalikan, Kaluna," pinta Bara lelah, mengulurkan tangan. "Itu privasi."
"Kenapa, Bar?" Kaluna mengabaikan permintaan itu. "Kenapa kamu pura-pura membenciku saat aku kembali? Kenapa kamu bilang kita sudah selesai, kalau ternyata setiap malam kamu masih menggambar wajahku?"
Bara memalingkan wajah, menatap lantai parket. Ia mengacak rambutnya kasar.
"Karena itu satu-satunya cara aku bertahan hidup," jawab Bara serak. "Menggambarmu adalah caraku mengobati rindu, tapi membencimu adalah caraku melindungi akal sehatku."
Bara kembali menatap Kaluna. Sorot matanya begitu rapuh.
"Kalau aku mengakui aku masih mencintaimu sejak detik pertama kau kembali ke ruangan ini... aku akan hancur, Kaluna. Karena aku tahu aku tidak bisa memilikimu. Aku milik perusahaan. Aku milik kontrak pertunangan sialan itu."
"Kontrak itu bisa dibatalkan," potong Kaluna.
"Dan menghancurkan segalanya?"
"Kamu baru saja menghancurkan Siska di rapat tadi, kan?" tebak Kaluna.
Bara terdiam.
"Rian bilang kamu 'perang dunia' di bawah," lanjut Kaluna, melangkah mendekat. "Kamu membela aku lagi, Bara. Kamu membersihkan namaku. Kamu melawan mereka."
"Aku melakukan apa yang benar," elak Bara.
"Kamu melakukan apa yang dilakukan laki-laki yang mencintai wanitanya," koreksi Kaluna.
Kaluna meletakkan buku sketsa itu kembali ke meja dengan lembut. Ia berdiri tepat di hadapan Bara, mendongak menatap wajah lelah pria itu.
"Gambarmu bagus," ucap Kaluna, tersenyum kecil di sela air matanya. "Tapi kamu salah menggambar bibirku di halaman terakhir. Aku tidak terlihat sesedih itu."
"Oh ya?" Bara menatapnya, sedikit bingung. "Lalu bagaimana?"
"Seperti ini."
Kaluna berjinjit dan mengecup pipi Bara sekilas. Bukan ciuman panas, tapi ciuman terima kasih yang tulus.
"Terima kasih sudah menyimpan wajahku, Bara. Terima kasih sudah tidak melupakanku," bisik Kaluna.
Tubuh Bara menegang, lalu perlahan rileks. Ia tidak memeluk Kaluna, tapi ia memejamkan mata, menikmati kedekatan itu.
"Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu, Lun," aku Bara lirih. "Bahkan jika aku hilang ingatan, tanganku akan tetap ingat cara menggambar wajahmu."
Momen emosional itu terinterupsi oleh getaran ponsel di saku celana Bara.
Bara membuka matanya, menghela napas panjang, dan mengambil ponselnya.
"Siska," gumam Bara, melihat nama di layar. "Dia baru saja keluar dari gedung ini dengan menangis. Pasti mengadu ke Papanya."
"Apa yang terjadi di rapat tadi?" tanya Kaluna cemas.
Bara memasukkan ponselnya kembali tanpa menjawab panggilan itu. Ia menatap Kaluna dengan ekspresi baru—ekspresi seseorang yang sudah membakar jembatan di belakangnya dan siap menghadapi perang.
"Aku memecat Burhan. Aku memutus kontrak kerja sama dengan vendor yang berafiliasi dengan Maheswari Group," jelas Bara tenang. "Dan aku bilang ke Siska, pertunangan kita ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan."
Mata Kaluna membelalak. "Kamu... menunda pertunangan?"
"Untuk sekarang, itu yang terbaik yang bisa kulakukan tanpa memicu perang hukum. Siska marah besar. Dia mengancam akan menarik semua dananya besok pagi."
Bara meraih kedua bahu Kaluna, meremasnya pelan.
"Mulai besok, kita akan miskin, Kaluna," ujar Bara serius, tapi ada kilatan jenaka di matanya. "Proyek ini akan berjalan lambat. Gaji mungkin telat. Fasilitas mewah akan dicabut. Kamu siap?"
Kaluna tertawa, air mata masih menggenang di pelupuknya. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Bara di bahunya.
"Aku pernah hidup di London dengan makan mie instan dibagi dua, Bar. Aku arsitek tahan banting," jawab Kaluna mantap. "Selama kamu tidak menyuruhku mengecat ballroom jadi Emas dan Marun lagi... aku akan bertahan."
Bara tersenyum lega. Senyum pertamanya yang benar-benar lepas hari itu.
"Bagus. Kalau begitu, Arsitek Kepala... kembali bekerja. Kita punya hotel yang harus diselesaikan sebelum uang kita benar-benar habis."
Kaluna mengangguk. Ia mengambil buku sketsa itu lagi.
"Boleh aku pinjam ini?" tanya Kaluna.
"Buat apa?"
"Buat jaminan," Kaluna mengedipkan sebelah matanya. "Kalau kamu galak lagi, aku akan sebarkan ke seluruh kantor kalau CEO Adhitama ternyata seorang bucin yang suka menggambar wajah mantannya."
Wajah Bara memerah padam. "Kaluna!"
Kaluna tertawa renyah, berlari kecil keluar dari ruangan sambil memeluk buku itu, meninggalkan Bara yang menggelengkan kepala sambil tersenyum—merasa beban 50 ton baru saja diangkat dari pundaknya.
Mereka belum "kembali" bersama secara resmi. Tapi dinding di antara mereka sudah runtuh total. Yang tersisa hanyalah puing-puing masalah eksternal yang harus mereka bersihkan bersama.
BERSAMBUNG...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️