Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 7.
Sore itu para pelayan yang sebelumnya berani menatap sinis ke arah Arsyi karena hasutan Maya kini menunduk dalam-dalam, seakan mereka takut menatap wajahnya. Tak ada yang berani berbisik, apalagi mengangkat kepala. Mereka sudah mendengar kabar jika Maya dipecat secara memalukan, namanya masuk daftar hitam di setiap agen penyaluran tenaga kerja. Masa depannya hancur, tak mungkin lagi bekerja sebagai pelayan di manapun.
Arsyi sendiri tidak tahu apa-apa, tak seorang pun berani membicarakan Maya di depannya.
Sinta mendekat ke arah Arsyi. “Mbak, Tuan berpesan agar segera bersiap. Saya akan memandikan dan mendandani Tuan muda kecil. Sore ini, kalian akan menemani Tuan Rendra menemui Nyonya.”
Arsyi tertegun. “Nyonya? Maksudmu... ibu kandung Tuan kecil? Istri Tuan Rendra?”
Sinta mengangguk, suaranya merendah penuh kewaspadaan. “Jangan terlalu ingin tahu, Mbak. Tuan Rendra sangat sensitif bila menyangkut Nyonya.”
Arsyi tak bertanya lagi, ia pun memilih diam lalu bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian. Sementara itu, Sinta sibuk menyiapkan Baby Aidan.
Setengah jam kemudian, mobil hitam milik Rendra sudah menunggu. Arsyi menggendong Baby Aidan dengan hati-hati, sementara Sinta hanya mengantar sampai halaman. Salah satu penjaga membukakan pintu mobil. Mau tak mau, Arsyi duduk di samping Rendra. Gerakannya kaku, wajahnya dingin menahan canggung.
Sinta menyelipkan tas perlengkapan bayi, lalu menunduk hormat. “Hati-hati, Tuan.”
Rendra hanya menggumam singkat, Arsyi melambaikan tangan kecil ke arah Sinta sebelum mobil perlahan meluncur.
Di dalam mobil, Arsyi mencoba mencairkan suasana dengan bercanda pada Aidan. Tawa kecil bayi itu memenuhi kabin, murni dan begitu polos. Dari sudut mata, Rendra memperhatikan. Tanpa pria itu sadari ujung bibirnya terangkat samar, sebuah senyum yang jarang sekali muncul.
Perjalanan panjang berhenti di sebuah bangunan megah, sebuah rumah sakit jiwa. Dari luar tampak kokoh, namun aura yang menyelubunginya berat. Rendra adalah investor terbesar di sana. Di balik tembok itu, tersimpan sebuah rahasia gelap.
Arsyi mendekap erat tubuh baby Aidan saat melangkah mengikuti Rendra. Di salah satu ruangan, seorang wanita duduk termenung. Wajahnya cantik, tapi matanya kosong. Saat pintu terbuka, wanita itu menoleh lalu senyumnya merekah lebar.
“Horeee! Rendra datang! Mana Rio? Aku kangen! Katakan padanya... Raisa rindu banget!” serunya, lalu berlari menghampiri dan memeluk Rendra dengan euforia yang tak terkendali.
Rendra menarik napas panjang, Ia membalas pelukan itu dengan lembut. “Rio masih sibuk, aku bawa anak kalian. Mau gendong?”
Raisa mendorong tubuh pria itu, menoyor kening Rendra sambil tertawa sinis. “Jangan gila! Aku sama Rio belum punya anak! Kamu itu bercanda melulu!”
Seulas kegetiran melintas di mata Rendra, ia menoleh ke belakang. “Bawa Aidan ke sini.”
Arsyi melangkah maju, jantungnya berdentum keras. “Nyonya... ini putra Nyonya,” ucapnya lirih, menyerahkan bayi dalam dekapannya dengan ragu-ragu.
Namun Raisa hanya menatap baby Aidan tanpa bisa mengenali anaknya itu, lalu tiba-tiba wanita itu menangis histeris. Ia menoleh ke jendela, meraih udara kosong. “Rio... jangan tinggalkan aku! Huhuhu... Rio...! Mereka jahat!”
Arsyi gemetar, ia merapatkan baby Aidan kembali ke dadanya, melindungi bayi itu seakan takut tangan Raisa akan melukai.
Rendra bergegas memeluk istrinya. “Sshhh... aku di sini, kamu aman. Tak ada yang berani menyakitimu lagi, kamu istriku. Aku akan melindungimu... dan anakmu. Biarkan Rio pergi, biarkan jiwanya tenang.”
Namun Raisa mendadak berontak, ia meraung-raung.
“Kamu bohong! Rio tidak pergi! Rio akan kembali!” Tangannya meninju kaca jendela, kepalanya dihantaammkan ke permukaan keras itu.
“Raisa!!!” Rendra berteriak panik, wajahnya tegang. Mata pria itu sudah merah berair. “Bertahanlah, aku mohon!”
Suasana berubah kacau.
Arsyi ketakutan melihat amukan itu dan segera membawa Aidan keluar ruangan. Tangisan bayi itu pecah, menyatu dengan kepanikan. Para perawat berlarian masuk, Dokter menyusul di belakang.
Di dalam kamar Raisa masih meronta, mencoba menghancurkan dirinya sendiri. Sementara Rendra menahan tubuh wanita itu dengan segenap tenaga. Ketegangan itu menelan udara, meninggalkan luka yang tak terlihat. Luka yang jauh lebih dalam, dari sekadar tubuh yang terluka.
.
.
.
Sementara itu di rumah Fajar, pesta resepsi pernikahan baru saja usai. Denting gelas dan riuh tawa tamu mulai mereda, menyisakan keheningan yang menekan. Namun, benak Fajar justru semakin gaduh. Kata-kata terakhir Arsyi sebelum pergi, sumpah yang wanita itu ucapkan dengan mata berair terus menghantui telinganya.
Seolah-olah, Arsyi menuduh keluarga Fajar sebagai penyebab kematian anak mereka. Tuduhan itu menusuk, membuat dada Fajar sesak. Ia sempat bertanya pada ibunya, berharap mendapat jawaban yang meredakan gejolak hatinya. Namun, sang ibu hanya menepisnya dengan dingin.
"Jangan dengarkan ocehan perempuan itu. Dia sudah kehilangan anaknya, wajar kalau pikirannya tidak waras," begitu kata ibunya.
Tetapi justru itulah yang membuat Fajar bimbang. Bila Arsyi benar-benar gila, mengapa kata-katanya terasa begitu nyata?
“Sayang, lagi mikirin apa sih?” suara lantang menyentak lamunannya. “Jangan bilang kamu masih memikirkan istri kampungan itu! Ingat, istri kamu sekarang hanya aku!”
Fajar menolehkan kepalanya. Wajah istrinya yang baru, penuh amarah sekaligus cemburu menatapnya tajam. Seketika ia tersadar. Untuk apa memikirkan Arsyi? Perempuan itu sudah tidak ada artinya. Pernikahan mereka dulu hanyalah kewajiban yang dipaksakan, hutang budi ayahnya kepada ayah Arsyi yang pernah menyelamatkan nyawa ayahnya di tempat kerja.
Tak seorang pun tahu, bahwa selama empat tahun itu Arsyi hanya menelan hinaan dan cemoohan dari keluarga Fajar. Satu-satunya yang membuatnya bertahan, hanyalah kebaikan sang ayah mertua. Namun sejak ayah mertuanya itu meninggal setelah setahun sakit akibat stroke, tak ada lagi benteng yang melindungi Arsyi. Sejak saat itu, penghinaan berubah menjadi penganiayaan.
Fajar menarik istrinya yang tengah ngambek ke pelukannya, rayuan licin meluncur begitu saja dari bibirnya. Malam itu, mereka pun menunaikan malam pertama.
Namun ketenangan tak bertahan lama. Di tengah gulita malam, Fajar terbangun dengan napas terengah-engah. Dahi dan punggungnya dingin oleh keringat. Mimpi itu… mimpi yang begitu nyata. Ia melihat anaknya, tubuh mungil itu merangkak pelan ke arahnya. Darah mengalir dari wajah pucatnya, menodai lantai. Mata sang bayi menatap kosong, seakan menuntut sesuatu yang tak terucap.
Fajar menjerit dalam hati, namun suaranya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya kaku, matanya membelalak.
“Sial!” rutuknya lirih, mencoba meyakinkan diri bahwa semua hanyalah mimpi.
Tapi keheningan kamar justru membuatnya semakin sesak, seolah roh kecil anaknya itu masih bersembunyi di kegelapan... menunggu saat yang tepat untuk kembali menampakkan diri.