Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Mobil Arsha bergerak mulus membelah jalanan kota yang mulai lengang. Di dalam sedan mewah itu, keheningan terasa begitu tebal, hanya dipecah oleh suara mesin yang senyap dan sesekali lampu jalan yang menembus kaca.
Arsha fokus pada kemudi, sesekali melirik spion, memastikan tidak ada yang membuntuti. Sebagai seorang Gus, ketenangan adalah pakaiannya, namun kewaspadaannya tetap tajam demi melindungi jiwa di sampingnya.
Sementara itu, Ayesha duduk mematung di kursi penumpang. Pikirannya melayang-layang liar.
Saat berada di atas ranjang dengan seorang klien...
Bayangan tentang apa yang seharusnya terjadi jika Arsha tidak datang tepat waktu menghantamnya seperti gelombang dingin. Sentuhan-sentuhan asing, wajah yang tidak ia kenal, rasa jijik, dan yang terburuk, hilangnya kendali atas dirinya sendiri.
Keringat dingin menetes di pelipisnya. Itu bukan hanya ancaman, tapi sebuah realita yang hampir ia hadapi. Jantungnya berdebar kencang, perpaduan antara ketakutan yang tertinggal dan rasa lega yang luar biasa.
Ia memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam-dalam. Seluruh tubuhnya terasa lelah dan kaku. Ia berutang nyawa, atau setidaknya kehormatan, pada pria di sampingnya ini. Pria yang baru ia temui beberapa hari lalu, namun kini menjadi penyelamatnya dengan cara yang paling terhormat.
"Ayesha."
Lamunan Ayesha buyar seketika.
Suara bariton Arsha memecah keheningan. Panggilan itu lembut, khas seorang pria yang mengayomi, namun mengandung ketegasan yang tak terbantah. Suara itu membawanya kembali ke dunia nyata.
"Ya?" sahut Ayesha, suaranya terdengar serak.
Arsha menoleh sekilas, tatapannya tenang dan meneduhkan. "Apa kau sudah makan malam?"
Pertanyaan sederhana itu, setelah semua drama menegangkan yang mereka lalui, terasa aneh namun sangat manusiawi. Ayesha terdiam sejenak, mencerna perhatian kecil itu.
"Belum, Arsha. Aku..." Ayesha menggantungkan kalimatnya. Ia bahkan lupa ia belum menyentuh makanan sejak ia meninggalkan rumahnya sore tadi untuk menemui klien. Adrenalin telah menutupi rasa laparnya.
"Pantas saja," gumam Arsha. Ia menghela napas pendek, ada nada keprihatinan dalam suaranya. "Kita harus mengisi perutmu dulu. Aku tidak akan mengantarmu pulang dalam keadaan perut kosong, apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Tubuhmu adalah amanah, kau butuh energi, bukan?"
Arsha menyalakan lampu sein dan membelokkan mobilnya, menjauhi rute yang seharusnya menuju tempat tinggal Ayesha.
"Kita akan mampir sebentar di restoran yang aman dan tenang. Hanya sebentar," kata Arsha meyakinkan, tanpa menunggu persetujuan Ayesha. Sebuah ketegasan yang lahir dari rasa tanggung jawab.
Ayesha hanya bisa mengangguk pasrah. Di balik rasa cemas yang masih bersembunyi, ada rasa hangat yang menjalar di hatinya. Pria ini tidak hanya menyelamatkannya dari lembah nista, tapi juga memikirkan hal sesederhana kebutuhan fisiknya.
Arsha menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran masakan Indonesia modern yang tampak elegan namun tidak mencolok.
"Tunggu sebentar di sini," katanya pada Ayesha dengan nada rendah. "Aku akan pesan untuk dibawa pulang. Tempat ini cukup aman, dan makanannya bersih."
Ia turun dari mobil dengan langkah tegap namun santun. Ayesha memperhatikan punggung Arsha saat ia masuk. Beberapa menit kemudian, Arsha muncul kembali. Rupanya, ia tidak hanya memikirkan Ayesha, tetapi juga sosok ibu yang pasti sedang menunggu dengan cemas di rumah.
Arsha kembali ke mobil membawa dua kotak makan bertudung rapi. Bau harum rempah seketika memenuhi kabin mobil.
"Ini untukmu, dan ini untuk Ibumu," kata Arsha, menyerahkan kotak-kotak itu pada Ayesha dengan gerakan yang sopan. "Aku akan mencari makan untuk diriku sendiri nanti. Sekarang, prioritasnya adalah memastikan kau dan Ibumu makan."
Ayesha menerima kotak makanan itu dengan perasaan campur aduk. "Arsha... terima kasih. Seharusnya kau tidak perlu repot-repot membelikan untuk Ibu juga. Aku sudah banyak merepotkanmu."
Arsha menyalakan mesin mobil. "Jangan membantah hal yang baik. Ibumu pasti cemas menunggumu. Anggap saja ini sebagai bentuk syukur karena kita masih dalam perlindungan-Nya." Ia tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan wibawa seorang Gus sekaligus kehangatan seorang pelindung.
Mobil kembali berjalan menuju kawasan perumahan sederhana tempat Ayesha tinggal. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa lebih nyaman, seolah diisi oleh sakinah yang dibawa oleh kehadiran Arsha.
Setelah beberapa saat, Arsha tiba di depan sebuah rumah kecil yang pintunya masih terbuka sedikit, menyambut cahaya malam.
"Sampai," ujar Arsha, menghentikan mobil dengan halus. "Aku akan menunggu di sini sampai kau benar-benar masuk ke dalam."
Ayesha menoleh ke arahnya, mata berkaca-kaca. "Aku... aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana, Arsha. Kau sudah menyelamatkanku dari hal yang sangat buruk malam ini."
"Sudah kubilang, jangan dipikirkan lagi," Arsha membalas, meletakkan tangannya di atas kemudi, pandangannya lurus ke depan dengan penuh rasa hormat. "Yang penting kau aman. Masuklah, Ayesha. Segera makan, dan beristirahatlah."
Ayesha mengangguk, membuka pintu mobil. Saat ia berdiri di luar, di bawah cahaya rembulan yang redup, ia menatap Arsha sekali lagi.
"Sampai jumpa besok," janji Ayesha.
Arsha mengangguk mantap. "Insyaallah. Sekarang, masuklah."
Ayesha berbalik dan bergegas menuju pintu rumahnya. Setelah yakin Ayesha benar-benar aman dan pintu tertutup rapat, Arsha memundurkan mobilnya perlahan. Ia baru beranjak pergi setelah memastikan tanggung jawabnya tuntas malam itu.
~~
Setelah Arsha pergi, Ayesha menghabiskan waktu beberapa menit di ruang tamu, memeluk bantal sofa dan berusaha menenangkan diri. Setelah tampak lebih tenang, Ayesha menaruh makan malamnya di meja makan dan bergegas masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
Ia melepaskan gaun elegan yang ia kenakan tadi, gaun yang kini terasa menjijikkan karena mengingatkannya pada ancaman Jefry. Ayesha mengenakan kaus longgar dan celana pendek rumahan, lalu membersihkan diri singkat.
Dengan rasa lelah yang menusuk, Ayesha membawa kotak makanannya menuju kamar ibunya. Ia melihat ibunya sudah terbaring di ranjang, napasnya teratur dan tenang. Wanita tua itu pasti kelelahan menunggu dan mencemaskan putrinya.
Ayesha memutuskan untuk tidak membangunkannya. Ia meletakkan kotak makanan yang dingin itu di meja samping dan mengecup kening ibunya perlahan.
Ayesha kemudian melangkah ke balkon kecil di kamarnya. Malam sudah larut, dan udara dingin menusuk kulit. Ia merasa perlu melakukan sesuatu untuk meredakan gejolak yang masih bergemuruh di dadanya.
Dari laci kecil, ia mengambil satu botol kecil alkohol berjenis whiskey yang tersimpan untuk momen-momen terburuk, dan sebungkus rokok.
Ayesha duduk di kursi bambu usang di balkon. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan sebatang rokok, menghisap asapnya dalam-dalam, dan mengembuskannya ke langit malam. Aroma tembakau yang kuat sedikit menenangkan sarafnya yang tegang.
Ia membuka tutup botol alkohol itu, meneguknya langsung dari botol. Cairan panas dan pahit itu membakar tenggorokannya, namun memberikan rasa kebas yang ia butuhkan. Ia membiarkan pikirannya berkecamuk.
Jefry...
Laki-laki itu benar-benar keji. Bukan hanya memanfaatkanya, tapi juga mencoba mengunci dirinya agar tidak bisa berkutik. Jika Arsha tidak muncul, ia akan berakhir sebagai wanita yang dibenci oleh pria yang sudah mau menolongnya itu. Ayesha menenggak lagi whiskey di tangannya.
Ia merenungkan Arsha. Ia muncul di kehidupannya secara tiba-tiba, bertindak tanpa pamrih, dan melindunginya seperti seorang penjaga. Kekayaan dan kekuasaannya jelas tak diragukan.
Ayesha memandang rembulan. Malam ini, ia telah diselamatkan dari mimpi buruk, tetapi ia tahu ini hanyalah jeda. Masalah Jefry belum selesai, dan entah mengapa, ia merasa hidupnya kini terikat pada benang merah yang ditarik oleh Arsha.
Asap rokoknya mengepul. Rasa pahit alkohol dan tembakau kini menjadi teman setianya, menemaninya menatap masa depan yang terasa semakin tidak jelas.
...----------------...
Next Episode....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.