Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20
Langkah Emily terasa berat saat keluar dari kelas sore itu. Matahari sudah condong ke barat, menyinari lorong kampus dengan cahaya keemasan yang membuat bayangan panjang memanjang di lantai. Mahasiswa lain berjalan berkelompok, tertawa riang membicarakan rencana malam atau kegiatan akhir pekan.
Emily menunduk, memeluk buku catatannya erat-erat. Baginya, hari itu terasa panjang. Tatapan dingin Emy di koridor tadi masih membekas, membuat hatinya rapuh meski ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya.
Saat melewati halaman depan fakultas, ia tiba-tiba mendengar suara yang sudah lama tidak didengarnya.
“Emily?”
Langkahnya terhenti. Ia menoleh pelan, dan matanya melebar.
Albert berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana hitam sederhana. Rambutnya agak berantakan seolah ia terburu-buru, tapi senyum hangatnya tetap sama seperti dulu.
“Albert…” suara Emily nyaris tak terdengar.
Sudah lama mereka tidak bertemu. Terakhir kali hanya saat Albert membantu Emy kala masa orientasi.
Sejak saat itu, Emily terlalu sibuk mengurus hidupnya sendiri, sementara Albert jarang terlihat di sekitar fakultas Seni, tentu saja karna dia anak fakultas ekonomi dan bisnis.
Albert melangkah mendekat, matanya memperhatikan wajah Emily dengan seksama. “Kau terlihat… lelah. Apa semuanya baik-baik saja?”
Emily berusaha tersenyum, meski jelas senyum itu rapuh. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit sibuk.”
“Benarkah?” Albert menatapnya, seolah mencoba membaca isi hatinya. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”
Kata-kata itu membuat Emily kehilangan pertahanan. Ia menunduk, meremas buku catatannya. “Aku… hanya sedikit bingung.”
Albert tidak mendesak. Ia hanya berdiri di sana, menunggu dengan sabar, memberi ruang jika Emily ingin berbicara.
Keheningan sesaat terasa aneh di tengah keramaian kampus.
Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Aku tidak tinggal di rumah lagi.”
Albert terkejut, meski ia cepat menutupinya dengan ekspresi tenang. “Oh? Jadi sekarang kau tinggal di mana?”
“Di kos kecil dekat terminal,” jawab Emily pelan. “Tidak jauh dari sini."
Albert mengangguk pelan, seolah mengerti. Ia tidak menanyakan detail apa yang terjadi di rumah, tidak mendesak Emily menceritakan semuanya. Itu membuat Emily merasa lega.
“Kalau begitu,” Albert tersenyum samar, “kau butuh makan yang layak. Aku kebetulan belum makan, mau menemaniku?”
Emily terdiam, dia tahu dompetnya tipis, dan dia tidak ingin merepotkan siapa pun. “Aku.. tidak..”
“Tolong jangan menolak.” Albert memotong cepat, namun suaranya lembut. “Anggap saja aku yang beruntung bisa bertemu denganmu lagi hari ini.”
Mereka berjalan beriringan menuju sebuah kedai sederhana di luar kampus. Tempat itu tidak mewah, hanya warung kecil dengan beberapa meja kayu dan aroma masakan rumahan yang menenangkan.
Albert memesan dua porsi nasi goreng dan teh hangat. Emily sempat ingin menolak, tapi Albert tersenyum sambil berkata, “Kau butuh energi. Biarkan aku yang traktir kali ini.”
Ketika makanan datang, Emily menatap piringnya lama. Uap nasi goreng mengepul, harum bawang putih dan kecap manis membuat perutnya bergejolak. Baru saat itu ia sadar, dia belum makan sejak pagi.
“Kalau kau terus menatap, nasinya bisa dingin,” canda Albert.
Emily tersenyum tipis dan mulai makan. Suapan pertama membuat matanya sedikit berkaca-kaca, bukan karena rasa nasi goreng yang istimewa, tapi karena sederhana sekali, dan ia baru sadar betapa ia merindukan rasa kenyamanan.
Albert memperhatikannya dengan tenang. “Aku senang melihatmu makan dengan lahap.”
Emily meletakkan sendoknya, menatapnya hati-hati. “Kenapa kau begitu baik padaku?”
Albert terdiam sebentar, lalu tersenyum lembut. “Karena aku ingin. Sesederhana itu.”
Jawaban itu membuat Emily bingung. Ia terbiasa dengan kasih sayang yang selalu bersyarat, perhatian yang datang hanya jika ia mengikuti aturan keluarga, atau jika ia tidak menjadi masalah bagi orang lain. Tapi Albert… tidak meminta apa-apa.
“Emily,” suara Albert lembut, “aku tidak tahu apa yang sedang kau alami, tapi… kalau kau lelah, jangan lupa bahwa kau tidak sendirian. Mungkin aku bukan siapa-siapa, tapi aku ada di sini.”
Kata-kata itu menghantam dinding pertahanan Emily. Ia mengalihkan pandangan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
“Terima kasih,” bisiknya.
Albert tersenyum, tidak menanyakan lebih jauh. Ia hanya melanjutkan makannya, membiarkan Emily merasa nyaman dengan keheningan yang mereka bagi bersama.
Setelah makan, mereka keluar dari kedai. Udara malam mulai turun, membawa semilir angin sejuk. Lampu jalan berkelip, menerangi trotoar yang mereka lalui.
Emily memeluk bukunya erat-erat, sementara Albert berjalan di sampingnya dengan tangan di saku.
“Aku bisa mengantarmu pulang ke kos,” katanya tiba-tiba.
Emily menoleh. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”
Albert menggeleng. “Aku tidak akan merasa tenang kalau membiarkanmu pulang sendirian. Anggap saja aku teman yang merepotkan, ya?”
Emily tertawa kecil, tawa yang tulus, pertama kali setelah sekian lama. “Baiklah.”
Mereka berjalan bersama melewati jalan kecil yang sunyi. Sepanjang jalan, Emily merasa ada sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya sejak ia meninggalkan rumah, ia tidak merasa sepenuhnya sendirian.
Ketika mereka sampai di depan kos, Emily berhenti. “Terima kasih, Albert. Untuk semuanya.”
Albert tersenyum hangat. “Aku hanya ingin kau tahu, aku selalu terbuka kalau kau butuh teman bicara.”
Emily mengangguk pelan. “Aku akan mengingatnya.”
Mereka saling menatap beberapa detik, sebelum akhirnya Emily melangkah masuk ke gerbang kos.
Namun, sebelum dia benar-benar masuk, dia menoleh sekali lagi. Albert masih berdiri di sana, melambai kecil dengan senyum yang membuat dadanya hangat.
Emily masuk ke kamarnya dengan hati yang berbeda. Malam itu, meski dunia masih terasa berat, setidaknya ia tahu ada seseorang yang peduli padanya tanpa syarat.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan rumah keluarga Hilton.
Lampu teras sudah menyala terang, menandakan bahwa penghuni rumah masih menunggu seseorang pulang. Dari balik kaca jendela, sosok seorang wanita paruh baya tampak mondar-mandir dengan wajah penuh kecemasan bercampur rasa ingin tahu.
Pintu mobil terbuka, lalu keluar seorang pemuda tinggi dengan wajah kelelahan. Jas abu-abunya sedikit kusut, dasi sudah longgar, dan rambut hitamnya tampak acak-acakan karena terburu-buru.
Itu Albert, dia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk, berusaha menyusun alasan yang masuk akal mengapa ia pulang terlambat hari ini.
Begitu pintu dibuka, aroma hangat dari sup buatan rumah langsung menyambutnya. Namun yang lebih dulu menghampiri adalah suara ibunya.
“Albert!” serunya dengan nada setengah kesal. “Kamu tahu sekarang jam berapa?”
Albert tersenyum tipis, mencoba menenangkan situasi. “Jam sembilan lewat sedikit. Maaf, aku ada urusan yang agak lama.”
“Urusan?” alis sang ibu terangkat. Ia menyilangkan tangan di dada, tatapannya tajam seolah menembus semua alasan anaknya. “Urusan kantor papa apa restoran? Atau jangan-jangan… kafe?”
Albert terdiam. Bibirnya sempat terbuka ingin menjawab, namun ia tahu ibunya selalu peka terhadap perubahan kebiasaannya.
"Pokoknya aku ada urusan di kampus ma.."
"Albert, mama sudah melahirkanmu, membesarkanmu, dan tahu setiap ekspresi wajahmu sejak kecil. Kalau kamu berbohong, mama bisa merasakannya."
Albert hanya bisa tersenyum kecut. Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, lalu duduk dengan menghela napas. “mama terlalu banyak menonton drama, ya?” ia mencoba bercanda.
Namun, ibunya tidak mudah dikelabui. Ia ikut duduk di hadapannya, mencondongkan tubuh seakan ingin menangkap setiap getar suara anaknya. “Albert, katakan yang jujur. Kamu sedang dekat dengan seorang wanita, kan?”
Pertanyaan itu membuat dada Albert berdebar lebih cepat. Sebenarnya, dia memang tertarik dengan Emily, namun tak banyak kesempatan untuk bertemu dengan gadis itu, tadi saja mereka bertemu secara kebetulan.
“Ma…” Albert menatap ibunya, ragu sejenak. “Kalau memang aku dekat dengan seseorang, apa mama akan keberatan?”
Pertanyaan balik itu membuat ibunya sedikit terkejut, dia melonggarkan posisi duduknya, menatap Albert dengan mata yang tiba-tiba melembut.
"Keberatan? Tentu saja tidak, Nak. Mama hanya ingin kamu menemukan orang yang tepat. Tapi mama ingin tahu siapa dia. Dari mana, keluarganya bagaimana, apakah dia bisa menjaga hatimu.. itu semua penting..”
Albert tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. Ia tahu ibunya peduli, meski kadang caranya terkesan menginterogasi. “Dia baik, ma,” ujarnya pelan. “Sangat baik, meski mungkin mama belum mengenalnya.”
“Belum mengenalnya? Jadi benar ada seorang wanita!” Nyonya Hilton menepuk meja dengan penuh kemenangan, seolah tebakan yang sejak tadi ia simpan kini terbukti. “Siapa namanya, Nak? Mana fotonya? Pasti kamu punya, kan?”
Albert menunduk, menahan tawa sekaligus rasa kikuk. Ia teringat wajah Emily yang selalu berusaha tegar di tengah tekanan keluarganya, tatapan matanya yang penuh semangat meski sering disalahpahami. Namun, mereka sama sekali belum memiliki hubungan pasti.
“Belum bisa, ma,” jawab Albert singkat.
“Belum bisa? Maksudmu apa?”
Albert mengusap tengkuknya, mencoba menjelaskan. “Hubungan kami belum jelas. Aku tidak ingin Ibu berharap terlalu banyak. Biarkan aku mengenalnya lebih jauh dulu. Kalau memang serius, aku janji Ibu orang pertama yang akan bertemu dengannya.”
Sang ibu terdiam. Ada rasa penasaran yang begitu besar di dalam hatinya, tapi ia juga bisa melihat kesungguhan dari cara Albert berbicara.
Anak itu jarang sekali menyinggung soal wanita, bahkan selama ini lebih sering menghabiskan waktu di kampus dan kantor daripada memikirkan urusan hati.
“Baiklah"