NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Abi Menangis

Sudah tiga minggu sejak Larasati dan Abimanyu pindah sementara ke rumah Dhara di Bandung. Tiga minggu sejak kehidupan Abi berubah dari rutinitas normal—bangun di kamarnya sendiri yang penuh mainan, sarapan dengan Mama di meja makan besar, kadang Papa pulang untuk makan malam—jadi kehidupan yang asing di rumah nenek dengan kamar yang berbeda dan Papa yang tidak pernah ada.

Di minggu pertama, Abi tidak banyak bertanya. Dia sibuk dengan hal-hal baru—taman nenek yang lebih besar untuk main sepeda, tetangga baru yang punya anak seusianya, sekolah baru yang sementara dia tunda karena Larasati bilang "kita liburan dulu di rumah nenek."

Di minggu kedua, Abi mulai bertanya sesekali. "Kapan kita pulang ke rumah, Ma?" atau "Kapan Papa datang?" Dan Larasati menjawab dengan jawaban yang tidak benar-benar menjawab: "Sebentar lagi, sayang" atau "Papa lagi sibuk kerja di Jakarta."

Tapi di minggu ketiga—hari ini, Jumat sore saat hujan deras mengguyur Bandung dan membuat mereka tidak bisa keluar main—Abimanyu duduk di jendela kamarnya, menatap hujan dengan wajah yang terlalu serius untuk anak tujuh tahun.

Larasati mengawasinya dari ambang pintu, dadanya sesak melihat anaknya yang biasanya enerjik dan ceria sekarang hanya diam, memeluk boneka beruang pemberian Gavin saat Abi ulang tahun kelima.

"Abi, sayang," panggil Larasati lembut, masuk ke kamar. "Mau nonton film? Nenek beli DVD Spiderman yang baru."

Abi menggeleng tanpa menatap ibunya. "Abi gak mau."

Larasati duduk di samping anaknya di ambang jendela, jantungnya berdetak lebih cepat karena tahu—entah bagaimana dia tahu—bahwa percakapan yang dia takuti akan datang sekarang.

"Abi kenapa?" tanya Larasati, mengusap rambut anaknya dengan lembut. "Abi sakit? Atau bosan?"

"Mama," kata Abi pelan, masih menatap hujan. "Kenapa kita gak tinggal di rumah lagi? Kenapa kita di rumah nenek terus?"

Larasati menelan ludah yang terasa seperti beling di tenggorokan. "Mama sudah bilang, sayang. Kita lagi liburan—"

"Ini bukan liburan," potong Abi, dan sekarang dia menatap ibunya dengan mata yang terlalu tajam, terlalu mengerti untuk anak seusianya. "Liburan itu sebentar. Ini sudah lama. Dan Papa gak pernah datang. Papa gak pernah telepon Abi lagi."

Kata-kata itu menusuk karena benar. Gavin memang tidak telepon Abi sejak sidang—mungkin karena terlalu hancur, mungkin karena tidak tahu harus bilang apa. Dan Larasati tidak memaksa karena bagian egoisnya merasa Abi lebih baik tanpa mendengar suara papa yang sekarang penuh dengan penyesalan dan kesedihan yang anak kecil tidak perlu dengar.

"Papa lagi sibuk, sayang," kata Larasati, mencoba senyum yang tidak sampai ke mata. "Papa kerja keras—"

"Papa gak sayang Abi lagi ya?" tanya Abi tiba-tiba, suaranya kecil dan bergetar. "Makanya Papa gak telepon. Makanya Papa gak datang."

"Tidak!" kata Larasati cepat, menarik Abi ke pelukannya. "Tidak, sayang. Papa sayang Abi. Papa sangat sayang Abi. Papa cuma... Papa lagi ada masalah dan—"

"Masalah apa?" Abi menarik diri dari pelukan, menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kenapa Mama gak cerita? Kenapa semua orang bohong sama Abi?"

Larasati merasa dadanya remuk. Anaknya—anaknya yang masih tujuh tahun, yang seharusnya hanya mikirin mainan dan pelajaran sekolah dan kartun favorit—sekarang merasakan beban yang tidak seharusnya dia rasakan.

"Abi, Mama gak bohong—"

"BOHONG!" teriak Abi tiba-tiba, air matanya jatuh. "Semua orang bohong! Mama bilang kita liburan tapi ini bukan liburan! Nenek bilang Papa sibuk tapi Papa selalu sibuk dan dulu Papa masih sempat telepon! Tante Ziva bilang semuanya baik-baik aja tapi ABI TAHU SEMUANYA GAK BAIK-BAIK AJA!"

Abi menangis sekarang—menangis dengan cara yang membuat seluruh tubuh kecilnya bergetar, dengan suara yang pecah dan putus asa. "Abi mau pulang! Abi mau pulang ke rumah! Abi mau Mama dan Papa tinggal bareng lagi seperti dulu! Abi mau keluarga yang utuh!"

Kata "keluarga yang utuh" membuat sesuatu di dada Larasati hancur sepenuhnya. Karena itu yang Abi inginkan—hal yang paling sederhana dan paling wajar untuk anak inginkan—dan itu yang tidak bisa Larasati berikan lagi.

"Sayang," bisik Larasati, menarik Abi ke pelukannya meski anaknya meronta. "Abi, dengar Mama—"

"ABI GAK MAU DENGAR!" Abi mendorong ibunya, berdiri dengan wajah basah oleh air mata. "ABI MAU PAPA! ABI MAU PULANG! ABI MAU SEMUANYA JADI KAYAK DULU!"

Abi berlari ke kasur, melempar dirinya ke bantal dan menangis dengan intensitas yang membuat hati Larasati tercabik-cabik. Tangisan yang tidak hanya sedih, tapi juga marah—marah pada situasi yang dia tidak mengerti, marah pada orang dewasa yang membuat hidupnya berantakan, marah pada dunia yang tiba-tiba tidak masuk akal lagi.

Larasati duduk di tepi kasur, tangannya gemetar saat mengusap punggung anaknya yang bergetar. Air matanya sendiri jatuh—tidak bisa ditahan lagi.

"Abi," bisiknya dengan suara yang pecah. "Mama minta maaf. Mama tahu ini sulit. Mama tahu Abi bingung dan sedih dan marah. Tapi Mama janji—Papa sayang Abi. Papa sangat sayang Abi. Cuma... cuma Mama dan Papa lagi... lagi butuh waktu sendiri-sendiri."

"Kenapa?" isak Abi, wajah masih tertanam di bantal. "Kenapa Mama dan Papa gak bisa baikan aja? Kayak Abi sama teman kalau berantem—besoknya baikan lagi. Kenapa orang dewasa gak bisa kayak gitu?"

Pertanyaan polos dari anak kecil yang tidak mengerti bahwa beberapa hal yang pecah tidak bisa diperbaiki lagi. Bahwa beberapa luka terlalu dalam untuk sembuh dengan simpel "maaf" dan "baikan."

"Karena... karena kadang orang dewasa punya masalah yang lebih rumit dari berantem biasa," kata Larasati, mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri kesulitan untuk memahami. "Kadang dua orang yang saling sayang tetap gak bisa tinggal bersama karena... karena itu lebih baik untuk semua orang."

"Tapi ini gak lebih baik buat ABI!" teriak Abi, berbalik untuk menatap ibunya dengan wajah yang hancur. "Abi sedih! Abi kangen Papa! Abi kangen rumah kita! Abi kangen makan malam bersama! Abi kangen Papa bacain dongeng sebelum tidur!"

Setiap kalimat seperti tusukan. Karena Larasati tahu—dia TAHU—bahwa keputusannya untuk cerai memang terbaik untuk jangka panjang. Tapi bagaimana dia menjelaskan "jangka panjang" pada anak tujuh tahun yang hanya mengerti sekarang? Yang hanya tahu bahwa papanya tidak ada dan itu menyakitkan?

"Abi akan ketemu Papa lagi," kata Larasati, menarik anaknya ke pelukan meski Abi masih menangis. "Abi akan tetap bisa ketemu Papa. Papa tetap Papa-nya Abi. Cuma... cuma sekarang Mama dan Papa tidak tinggal di rumah yang sama lagi."

"Kenapa?" Abi menatap ibunya dengan mata yang bengkak dan merah. "Kenapa Mama dan Papa gak bisa tinggal di rumah yang sama? Abi janji Abi akan jadi anak baik. Abi gak akan nakal lagi. Abi akan rapiin kamar setiap hari. Abi akan makan sayur tanpa protes. Abi akan—"

"Bukan karena Abi," potong Larasati cepat, memegang wajah anaknya dengan kedua tangan. "Dengar Mama baik-baik, sayang. Ini BUKAN karena Abi. Ini bukan salah Abi sama sekali. Ini masalah antara Mama dan Papa. Masalah orang dewasa yang Abi gak perlu khawatirin."

"Tapi Abi khawatir," bisik Abi, air matanya masih mengalir. "Abi khawatir Mama dan Papa gak sayang satu sama lain lagi. Abi khawatir Abi gak akan punya keluarga yang utuh lagi kayak teman-teman Abi."

Larasati memeluk anaknya lebih erat, membiarkan air matanya sendiri jatuh di rambut Abi yang lembut. Mereka menangis bersama—ibu dan anak yang sama-sama jadi korban dari pilihan yang Gavin buat, dari kehancuran yang tidak mereka minta.

"Abi tetap punya keluarga," bisik Larasati di telinga anaknya. "Abi punya Mama. Abi punya Papa—meski Papa gak tinggal bersama kita lagi. Abi punya Nenek. Abi punya Om Julian. Abi punya banyak orang yang sayang sama Abi."

"Tapi Abi mau Mama dan Papa bersama," isak Abi dengan kepala di dada ibunya. "Abi mau bangun tidur dan Mama masak sarapan dan Papa baca koran. Abi mau makan malam bersama kayak dulu. Abi mau nonton film di sofa dan Papa tidur duluan terus Mama bangunin Papa. Abi mau... Abi mau semuanya jadi normal lagi..."

Suara Abi semakin pelan, semakin lelah dari menangis. Tubuh kecilnya masih bergetar dengan isakan yang tersisa.

Larasati menggendong anaknya—sesuatu yang jarang dia lakukan lagi karena Abi sudah "besar" dan bilang dia bukan bayi lagi. Tapi sekarang, Abi biarkan dirinya digendong, memeluk leher ibunya dengan erat, mencari kenyamanan yang hanya pelukan ibu yang bisa berikan.

Larasati duduk di kursi goyang di pojok kamar—kursi yang sama di mana ibunya dulu menggendongnya saat dia kecil. Dia goyangkan perlahan, mengusap punggung Abi dengan ritme yang menenangkan, bergumam lagu nina bobo yang dulu ibunya nyanyikan.

Perlahan, tangisan Abi mereda jadi cegukan kecil, lalu jadi napas yang teratur. Dia tertidur di pelukan ibunya dengan wajah yang masih basah oleh air mata, dengan tangan yang masih menggenggam baju Larasati dengan erat seolah takut kalau dia lepas, ibunya akan hilang juga seperti papanya.

Larasati terus menggoyangkan kursi meski lengannya mulai pegal, tidak mau membangunkan Abi yang akhirnya menemukan kedamaian dalam tidur. Dia menatap wajah anaknya—wajah yang masih terlihat sedih bahkan dalam tidur, bibir yang bergetar sesekali seperti masih menangis dalam mimpi.

Dan Larasati bertanya pada dirinya sendiri untuk kesekian kalinya:

Apakah keputusannya sudah benar?

Dia tahu—secara rasional dia tahu—bahwa cerai adalah pilihan terbaik. Bahwa Abi tidak perlu tumbuh di rumah tangga yang toxic, di mana papa selingkuh dan mama berpura-pura bahagia. Bahwa lebih baik dua rumah yang damai daripada satu rumah yang penuh dengan kebohongan dan sakit hati.

Tapi menatap anaknya yang menangis meminta keluarga yang utuh—keluarga yang sederhana dan normal yang seharusnya jadi hak setiap anak—membuat Larasati meragukan segalanya.

Apakah dia egois? Apakah dia menempatkan kebahagiaannya sendiri di atas kebutuhan anaknya untuk punya kedua orangtua di satu rumah?

Tapi lalu dia ingat—ingat semua yang Gavin lakukan. Ingat pengkhianatan yang berlangsung bertahun-tahun. Ingat planning untuk menghancurkannya. Dan dia tahu—dia tidak bisa stay di pernikahan itu. Tidak untuk Abi. Tidak untuk siapapun.

Karena apa yang akan dia ajarkan pada Abi kalau dia stay? Bahwa perempuan harus terima pengkhianatan dan diam? Bahwa cinta berarti membiarkan dirimu hancur demi menjaga "keluarga yang utuh"?

Tidak. Abi pantas untuk belajar bahwa self-respect itu penting. Bahwa leaving situasi yang toxic itu berani, bukan pengecut. Bahwa kadang cinta tidak cukup untuk membuat relationship kerja.

Tapi pemahaman itu—pemahaman dewasa tentang konsekuensi dan pelajaran hidup—tidak menghibur hati Larasati yang remuk melihat anaknya menangis.

Ponselnya bergetar di sakunya—pelan, tidak mau membangunkan Abi. Dengan hati-hati, Larasati keluarkan dengan satu tangan sementara tangan lain tetap memeluk anaknya.

Pesan dari nomor yang membuat napasnya tertahan. Gavin.

_"Lara, kumohon. Boleh aku ketemu Abi besok? Aku kangen sama dia. Sangat kangen. Aku janji aku gak akan bikin masalah. Aku cuma mau lihat anakku. Please."_

Larasati menatap pesan itu dengan perasaan yang complicated. Bagian dari dirinya ingin bilang tidak—ingin protect Abi dari kemungkinan lebih banyak sakit hati, dari papa yang mungkin janji hal-hal yang tidak bisa dia tepati.

Tapi bagian lain—bagian yang mendengar Abi isak "Abi kangen Papa" sejam yang lalu—tahu bahwa Abi butuh ketemu papanya. Bahwa seberapa pun Gavin gagal sebagai suami, dia tetap papa Abi. Dan Abi berhak untuk punya hubungan dengan papanya, seberapa pun rumit dan menyakitkan itu untuk Larasati.

Dengan tangan yang gemetar, Larasati ketik balasan:

_"Besok jam sepuluh. Di taman kota. Dua jam. Dan Gavin—jangan buat janji yang tidak bisa kamu tepati. Jangan sakiti dia lebih dari yang sudah kamu lakukan."_

Kirim.

Tiga titik muncul—Gavin mengetik balasan. Lalu:

_"Terima kasih. Aku janji aku gak akan mengecewakan dia lagi. Terima kasih, Lara."_

Larasati tutup ponselnya, memeluk Abi lebih erat. Anaknya bergumam dalam tidur, tangannya mencengkeram baju ibunya lebih kuat.

"Besok kamu akan ketemu Papa," bisik Larasati pada anak yang tidur. "Dan Mama berharap—Mama berdoa—bahwa Papa tidak akan sakiti kamu. Karena kamu sudah cukup terluka. Kamu sudah cukup menangis. Kamu pantas untuk bahagia, sayang. Lebih dari siapapun di dunia ini, kamu pantas untuk bahagia."

Hujan di luar semakin deras, bunyi tetesan air di atap jadi lullaby yang melankolis. Dan Larasati duduk di kursi goyang dengan anak yang tidur di pelukannya, menatap jendela yang blur karena hujan dan air matanya sendiri, bertanya-tanya apakah besok akan membawa lebih banyak air mata atau—semoga—sedikit senyuman di wajah anaknya yang terlalu lama bersedih.

---

**Bersambung

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!