Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban Tumbal Baru
Bian terbaring di sofa ruang tamu rumah warisan, tubuhnya masih terasa nyeri akibat cekikan Rendra. Di sebelahnya, Rendra diikat dengan tali di kursi makan, bukan untuk menghukum, melainkan untuk menjaga keselamatannya sendiri jika kerasukan Ratih kembali menyerang.
Ibu Dwi dan Tiara merawat Bian. Dwi mengompres leher Bian yang membiru, sementara Tiara memegang Liontin Suci, memancarkan energi Pengimbang yang menenangkan.
"Dia akan aman, Bian," bisik Tiara. "Ratih sudah ditarik. Kau selamat."
Bian menggeleng, meskipun Liontin Tiara meredam rasa sakitnya. "Aku tidak yakin, Tiara. Yang merasuki Rendra bukan sekadar entitas. Itu adalah emosi Ratih yang didorong oleh kekuatan Tongkat Jaga yang diserapnya. Ratih ingin aku tahu, dia akan menggunakan semua emosi murni untuk mencapai keabadian."
Dwi, yang baru saja kembali dari memeriksa jendela dan pintu, menatap Rendra dengan iba. Rendra kini sadar, tetapi tatapannya kosong, diliputi rasa duka yang mendalam.
"Rendra adalah tumbal kesedihan murni," kata Dwi. "Dia tidak punya keluarga dekat, dia seniman yang hidup dalam kesendirian. Kesedihan itu merupakan sumber kekuatan yang besar."
Saat Bian mencoba memejamkan mata, ia merasakan dingin yang menusuk. Ia membuka mata dan melihat Arwah Wina berdiri di sudut ruangan.
Arwah Wina, tirus dan pucat, kini tidak lagi menangis. Wajahnya kosong, hanya ada keputusasaan.
"Dia ada di sini," kata Bian pelan.
Tiara dan Dwi tidak bisa melihatnya, tetapi mereka merasakan suhu ruangan turun drastis.
"Apa yang dia inginkan, Bian?" tanya Tiara, mempererat genggamannya pada Liontin Suci.
"Dia tidak menginginkan apa-apa. Dia hanya mengikuti," jawab Bian. "Dia adalah jejak sukma yang terikat padaku. Ratih membiarkannya. Dia ingin aku terus melihat kegagalanku menyelamatkannya."
Bian memejamkan mata lagi. Ia mencoba mengirim pesan melalui energi Pawangnya kepada Wina.
"Wina, katakan padaku. Siapa yang membimbing Rendra ke sumur? Apakah itu Sari?"
Arwah Wina tidak berbicara. Sebagai gantinya, gambaran berputar yang menyakitkan muncul di benak Bian.
Ia melihat Rendra di rumahnya, dilanda kesepian yang hebat. Tiba-tiba, muncul sosok wanita cantik yang menangis, wajahnya penuh duka, memohon Rendra untuk datang ke Sumur Tua, tempat ia menjanjikan kedamaian abadi.
"Ratih menggunakan sosok Sari yang terdistorsi," kata Bian, membuka mata. "Bukan Sari yang sesungguhnya. Sari yang sesungguhnya dibebaskan oleh kita. Tetapi Ratih menggunakan energinya, mengelabui calon korban dengan janji palsu kebahagiaan atau kedamaian yang hilang."
Bian mendekati Rendra. Pria itu gemetar, meskipun sudah diikat.
"Rendra," panggil Bian lembut. "Lihat aku. Bisakah kau jelaskan apa yang kau lihat?"
Rendra menatap Bian. Matanya dipenuhi air mata yang tidak bisa ia tumpahkan.
"Wanita itu... dia sangat cantik," bisik Rendra, suaranya parau. "Dia menangis... dia bilang dia akan memberiku ketenangan. Dia bilang... dia tahu rasa sakitku."
"Dia berjanji apa, Rendra? Dia berjanji memberikan rasa damai?" tanya Bian.
"Dia berjanji pertemuan kembali dengan seseorang yang kucintai," Rendra terisak. "Dia memelukku. Dan saat dia memelukku, semua dukaku hilang. Aku merasa ringan. Lalu aku hanya ingin tidur di sumur itu... Menghabiskan waktu kesendirian yang tak berujung."
Bian mengangguk pada Tiara. Rendra telah kehilangan kesedihan murninya, energi itu telah dipanen Ratih, tetapi belum sepenuhnya diserap.
"Kita harus menjauhkan Rendra dari rumah ini," kata Bian. "Rumah ini adalah Gerbang. Ratih akan kembali untuknya. Kita harus menyembunyikannya di tempat yang tidak memiliki energi Pawang."
Saat mereka berdiskusi tentang cara memindahkan Rendra, Ibu Dwi menerima panggilan dari aparat desa. Wajah Dwi segera pucat pasi.
"Ya Tuhan... tidak mungkin," bisik Dwi, menjatuhkan telepon.
"Ada apa, Dwi?" tanya Tiara.
"Korban baru," kata Dwi, suaranya gemetar. "Korban ketiga. Bapak Joni. Ditemukan di rumahnya, meninggal seperti yang Anda bilang, darah mengering dan tubuhnya kering. Dia seorang duda yang sangat mencintai istrinya yang meninggal setahun lalu."
Bian merasakan Liontin Suci di tangannya tiba-tiba panas membara.
"Duda," Bian mengulang, suaranya dingin. "Tumbal Duka Murni yang paling dalam. Ratih telah menyelesaikan setidaknya dua tumbalnya sejak kita datang. Dia bergerak cepat."
Dwi menyerahkan foto yang dikirimkan aparat desa. Di dada Bapak Joni, terukir simbol Spiral Ratih yang kini terlihat lengkap dan bersinar.
"Ratih meninggalkan pesan," kata Bian, menunjuk ke ukiran itu. "Dia tidak lagi bersembunyi. Dia sudah menguasai energi kesedihan dan duka. Sekarang dia akan mengambil Liontin Suci kita."
Bian menatap keluar jendela. Bayangan Wina masih berdiri di halaman, tetapi kini Wina tidak lagi sendirian. Di belakangnya, berdiri bayangan Joni yang pucat dan kering.
"Kita harus segera meninggalkan rumah ini. Ratih tahu kita ada di sini dan dia hanya memberi kita waktu untuk panik," kata Bian. "Kita harus membawa Rendra ke tempat aman, dan kemudian kita pergi ke Situs Kuno."
"Situs Kuno?" tanya Tiara. "Mengapa ke sana?"
"Wina menunjukkan ukiran di papan tulis Ratih. Ratih butuh Cincin Perunggu. Alat ritual kuno Klan Pawang yang harus dihancurkan. Tempat terbaik untuk menyembunyikannya adalah di Situs Kuno, tempat leluhur Pawang memulai ritual mereka," jelas Bian, memegang Liontin Suci. "Jika kita menghancurkan cincin itu, kita menghancurkan rantai tumbalnya."
Bian menatap Dwi. "Ibu Dwi, tolong sembunyikan Rendra dan jangan tinggalkan dia. Tiara, kita akan pergi ke Situs Kuno sekarang. Sebelum Ratih menyelesaikan ritual keabadiannya."
Mereka tahu bahwa Ratih sengaja membiarkan mereka lolos dari sumur. Dia ingin Bian menjadi Pawang yang menyelesaikan teka-tekinya, hanya untuk jatuh ke dalam jebakan terakhirnya.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"