Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu yang Lainnya Lagi
Fajar datang dengan warna kelabu, tipis dan enggan. Kabut dari danau merayap pelan, menutup pepohonan di sekitar persembunyian Jaka Kerub seperti tirai yang sengaja ditarik semesta. Aji terbangun lebih awal dari biasanya, dadanya terasa berat sejak pertemuan semalam. Ada firasat yang tak bisa ia jelaskan, seolah hari ini akan membawa sesuatu yang berbeda. Sepertinya itu bukan ancaman yang datang sembunyi-sembunyi, melainkan yang hadir terang-terangan.
Jaka Kerub sudah duduk bersila di batu besar dekat api unggun yang nyaris padam. Matanya tertutup, napasnya teratur. Namun Aji tahu, gurunya tidak sedang tidur. Ia sedang mendengarkan sesuatu dari arah tak kasatmata.
“Ada yang datang,” kata Jaka Kerub tanpa membuka mata.
Aji menoleh ke arah jalan setapak. “Yang semalam?”
“Bukan,” jawab Jaka Kerub singkat. “Langkahnya berbeda. Lebih berat dan tua, kurasa."
Tak lama kemudian, suara ranting patah dan gesekan alas kaki terdengar. Dari balik kabut muncul enam orang lelaki. Kulit mereka lebih gelap dibanding orang-orang Samosir. Rambut mereka hitam pekat. Bahkan sebagian dari mereka memelihara rambut keriting halus. Pakaian mereka sederhana pula. Hanya kain panjang yang dililit rapi, dan memiliki warna-warna tanah. Yang paling mencolok adalah mata mereka. Matanya tenang, dalam, dan seolah menyimpan banyak cerita.
Orang paling depan mengangkat tangannya perlahan. Semacam pertanda bahwa mereka bukan musuh. Di lehernya tergantung manik-manik batu berwarna cokelat tua, yang mana ukirannya asing bagi Aji.
“Salam bagi penjaga tanah dan air,” katanya dalam bahasa Melayu tua yang terdengar berlapis aksen. “Kami datang dari utara Sumatera. Dari garis yang lama.”
Jaka Kerub membuka mata dan berdiri. “Garis tidak pernah hilang,” katanya. “Hanya dilupakan, kurasa. Lantas, siapakah kalian?”
Orang itu tersenyum kecil. “Kami disebut kaum Laut-Batu oleh orang pesisir. Nenek moyang kami datang sebelum angin dagang ramai. Dari Ceylon,” ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “dan sebagian dari Bharat.”
Aji mengerutkan kening. Nama-nama itu pernah ia dengar, samar-samar, dan dalam dongeng dan catatan tua. Tempat jauh, melampaui selat, melintasi samudera.
“Kami tidak datang untuk mengambil apa pun,” lanjut orang itu. “Kami datang karena ada yang bergerak tidak pada masanya.”
Jaka Kerub melirik Aji sekilas. “Pergerakan apa?”
“Jejak Sriwijaya yang kembali diaktifkan,” jawabnya pelan. “Bukan oleh raja. Namun, oleh keturunannya yang lupa kenapa leluhurnya bisa jatuh.”
Udara seolah menegang. Aji teringat akan lelaki-lelaki semalam. Lelaki itu mengenakan liontin burung. Lalu ia menyampaikan kata-kata tentang ritual.
“Kalian tahu tentang mereka?” tanya Aji tanpa basa-basi.
Lelaki itu mengangguk. “Kami memantau arus. Bila mantra laut disentuh, kami langsung tahu. Bila makhluk tak kasatmata dipaksa tunduk, kami pun akan tahu.”
Salah satu dari mereka maju selangkah. Tangan kirinya membawa gulungan daun lontar yang diikat benang serat.
“Ini bukan ancaman,” katanya. “Ini hanya pengingat. Setiap kali orang mencoba membuka kembali simpul lama, selalu ada korban.”
Aji terdiam. Nama Sari berdenyut di kepalanya.
Jaka Kerub menatap keenam orang itu satu per satu. “Mengapa datang kemari?”
“Karena anak itu,” jawab pemimpin mereka, menatap Aji lurus. “Ia sedang dilatih di persimpangan.”
Aji tersentak. “Banyak orang dilatih.”
“Tidak seperti dia,” balasnya tenang. “Ia tidak hanya melangkah antar waktu. Ia telah menjadi pengikatnya.”
Hening menggantung. Kabut mulai menipis, cahaya matahari merayap malu-malu.
“Kami tahu tentang perempuan yang hilang,” lanjutnya. “Dan kami tahu siapa yang menahannya.”
Aji maju. “Kalau kalian tahu, katakanlah."
Lelaki itu menggeleng perlahan. “Ada pengetahuan yang tidak boleh diberikan tanpa kesiapan. Sama seperti Jaka Kerub tidak memberitahu segala sesuatunya padamu.”
Aji menoleh cepat ke arah gurunya. Jaka Kerub tidak menyangkal.
“Dulu,” kata pemimpin kaum Laut-Batu, “leluhur kami mengikuti Sriwijaya bukan karena tunduk, tapi karena keseimbangan terjaga. Saat keseimbangan itu dipecah, yang dipecah oleh keserakahan ritual, kami memilih untuk mundur. Lalu, memutuskan untuk menjadi bayang-bayang."
“Dan sekarang?” tanya Jaka Kerub.
“Sekarang kami melihat bayangan itu kembali dipaksa menjadi tubuh,” jawabnya. “Jika dibiarkan, danau ini bukan satu-satunya yang menelan sejarah.”
Salah satu lelaki di belakang membuka ikatan kainnya, memperlihatkan sebuah belati pendek bermata ganda, gagangnya dihiasi simbol ombak dan matahari.
“Kami menawarkan penjagaan,” katanya. “Bukan dengan senjata, tapi dengan jalur.”
“Jalur apa?” tanya Aji.
“Jalur aman,” jawabnya. “Untuk perempuan itu. Dan untukmu.”
Aji menarik napas panjang. “Apa imbalannya? Kalian pasti tidak akan melakukan ini secara cuma-cuma."
Pemimpin mereka tersenyum tipis. “Jika waktunya tiba, dan laut memanggil, kau tidak akan menutup telinga rapat-rapat.”
Jaka Kerub menghela napas pelan. “Janji lama memang selalu kembali.”
Ia memandang Aji. “Keputusanmu?”
Aji menatap keenam orang asing itu. Mereka tidak membawa ancaman kentara, tidak pula rayuan kosong. Yang mereka bawa adalah beban lain. Beban itu termasuk beban pilihan.
“Jika itu bisa menyelamatkan Sari,” kata Aji akhirnya, “aku akan mendengarkan kalian.”
Pemimpin kaum Laut-Batu mengangguk. “Itu sudah cukup bagi kami.”
Mereka duduk bersama, membentuk lingkaran. Api unggun dinyalakan kembali. Di bawah cahaya mentari pagi, Jaka Kerub sadar satu hal bahwa jaringan lama perlahan saling tarik menarik.
Di tengah tarikan itu, Aji berdiri. Bukan lagi sebagai anak desa yang tersesat di waktu, melainkan sebagai simpul hidup. Sebuah simpul hidup yang jika salah, bisa mengulang tenggelamnya dunia.