Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Tiga jam rapat yang menguras energi itu akhirnya selesai, para klien keluar satu persatu setelah menjabat tangan Jayden sebagai tanda kesepakatan awal yang sukses.
Begitu pintu tertutup, Jayden segera merogoh ponsel dari saku jasnya. Ia memberikan perintah tegas kepada kepala koki perusahaan agar segera menyiapkan jamuan makan siang terbaik.
"Apa Selina sudah datang?"
"Belum, Pak," jawab suara di seberang sana.
Jayden mengernyit, ada sedikit rasa cemas yang tak beralasan menyelinap di hatinya. Ia kemudian mematikan ponselnya. Bertepatan dengan itu, pintu ruangan meeting terbuka dengan kasar. Maisa muncul di ambang pintu.
Jayden menatapnya tajam.
“Aku ingin bicara denganmu!” tegas Maisa, suaranya melengking di ruangan yang sunyi itu.
“Aku tidak memintamu masuk ke sini,” sahut Jayden dengan nada sedingin es.
“Aku tidak peduli dengan laranganmu! Aku adalah calon istrimu, dan kamu tidak berhak melarang ku menginjakkan kaki di gedung ini!” Maisa menghentakkan kakinya, melangkah maju beberapa langkah hingga bayangannya jatuh di atas meja rapat yang mengkilap.
Jayden menarik napas dalam, mencoba menekan emosinya. Ia melirik pada sekretarisnya yang masih berdiri di sampingnya dengan wajah kikuk. Sang sekretaris, yang sudah sangat mengenal tabiat bosnya, mengangguk paham tanpa perlu perintah lisan. Ia segera keluar dan menutup pintu rapat-rapat.
Kini, hanya Jayden dan Maisa yang tersisa di ruangan luas tersebut.
Jayden bersedekap. “Apa yang ingin kamu bicarakan? Waktuku sangat terbatas.”
“Aku ingin kita cepat menikah. Bulan depan, atau paling lambat dua bulan lagi,” tuntut Maisa tanpa basa-basi.
Jayden menyipitkan mata, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis yang merendahkan. “Sudah berapa kali aku bilang? Aku tidak ingin menikah denganmu. Pernikahan bukan transaksi bisnis yang bisa kamu paksakan hanya karena kamu menginginkannya.”
“Aku tidak peduli!” balas Maisa cepat, matanya berkilat-kilat. “Kakekmu sudah setuju, orang tuamu juga sudah memberikan restu penuh. Strategi bisnis keluarga kita saling menguntungkan. Cepat atau lambat, kamu akan tetap jadi suamiku, Jayden.”
“Kamu terlalu percaya diri, Maisa. Jangan pikir karena kakek dan orang tuaku menginginkannya, aku akan mengangguk begitu saja seperti boneka. Ini hidupku, dan aku yang memegang kendali atas siapa yang akan mendampingiku.”
Maisa tersenyum miring, sebuah senyum yang tidak mencapai matanya yang penuh obsesi. “Kamu pikir kamu bisa melawan tekanan keluarga besar mu sendirian? Aku akan pastikan tidak ada Selina, atau wanita miskin mana pun, yang bisa mendekatimu lagi. Aku akan melenyapkan siapa pun yang mencoba mencuri perhatianmu.”
Jayden melangkah mendekat, memangkas jarak di antara mereka. Ia menatap Maisa dari jarak sangat dekat, mengunci pandangannya. “Dengar baik-baik. Aku lebih baik tidak menikah seumur hidup daripada menjadikan wanita sepertimu sebagai istriku. Jadi, berhentilah berkhayal dan bangunlah dari mimpi buruk mu ini.”
Alih-alih mundur karena intimidasi itu, Maisa justru semakin berani. Tangannya yang halus, dengan kuku yang dipulas merah darah, kini merayap naik dan mengusap dada Jayden yang terbalut jas biru navy mahal.
“Kamu tahu, Jay… aku sangat mencintaimu,” ucap Maisa lirih, suaranya tiba-tiba berubah menjadi lembut. “Aku benar-benar mencintaimu… meskipun kamu tidak pernah melihatku dengan cara yang sama, meskipun kamu selalu mengabaikan aku.”
Ada nada getir yang terselip di sana. Maisa menarik napas panjang. “Dari dulu… sejak kamu masih bersama Liona, aku tetap di sini. Aku tetap setia mencintaimu dalam diam, memperhatikan setiap gerak-gerikmu. Aku menunggu… menunggu Liona pergi. Dan sekarang adalah waktuku, Jay.”
Jayden membuang muka. “Sekuat apa pun kamu berusaha membuatku mencintaimu, atau sekeras apa pun keluargaku menekan, prinsipku tetap sama. Aku tidak akan pernah bisa mencintai orang yang terobsesi denganku hingga kehilangan akal sehatnya.”
Kata-kata tajam itu menghantam Maisa. Tangannya mengepal erat di dada Jayden. Matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena sedih, melainkan karena perpaduan antara amarah dan gairah yang tak tersampaikan.
Dengan gerakan kilat, Maisa menangkup pipi Jayden dengan kedua tangannya, memaksa pria itu untuk kembali menatapnya. “Kalau begitu, biar aku tunjukkan betapa besar cintaku padamu. Biar aku buat kamu merasakan apa yang aku rasakan,” desisnya.
Sebelum Jayden sempat bereaksi atau menepis tangannya, Maisa berjinjit dengan sisa kekuatannya, lalu menempelkan bibirnya ke bibir Jayden secara paksa. Ia mencium pria itu dengan penuh keputusasaan, mencoba menyalurkan segala rasa haus akan kasih sayang yang selama ini ia pendam sendiri.
Jayden terperanjat, matanya membola lebar karena syok. Ia tak menyangka wanita di depannya akan senekat ini. Saat Maisa mencoba memperdalam ciumannya, Jayden segera mendapatkan kembali kesadarannya. Dengan tenaga yang cukup besar, ia mendorong bahu Maisa kasar hingga tubuh wanita itu terhuyung mundur dan hampir terjatuh mengenai kursi rapat.
“Gila kamu!” bentak Jayden dengan suara menggelegar. Matanya menyala penuh amarah. Ia segera mengusap bibirnya dengan punggung tangan secara kasar.
Maisa, bukannya merasa bersalah, justru terkekeh pelan. “Kenapa? Kamu kaget? Atau kamu mau yang lebih dari itu, Jay?”
Jayden menatapnya dengan tatapan penuh jijik. “Keluar dari ruanganku. Sekarang juga. Jangan pernah menampakkan wajahmu di kantor ini lagi sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran dan melakukan sesuatu yang akan kamu sesali seumur hidupmu.”
Maisa menarik napas panjang, kembali ke mode angkuhnya yang biasa. "Urusan kita belum selesai, Sayang. Dan aku pastikan, pada akhirnya kamu tidak akan punya pilihan selain menerima perjodohan ini."
Ia melangkah maju sekali lagi, dengan sangat berani ia mengulurkan jari telunjuknya, mengusap bibir tipis Jayden yang tadi sempat ia sentuh. Jayden dengan cepat menepis tangan itu.
"Sampai jumpa, calon suamiku. Ingat ini baik-baik; calon istrimu ini tak akan pernah berhenti sebelum dia benar-benar mendapatkan kamu secara utuh," kata Maisa sembari memberikan kedipan mata yang penuh, lalu berbalik dan melenggang keluar.
Jayden mengembuskan napasnya kasar, ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya, merasa frustrasi luar biasa.