Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Doroti beraksi
Hujan malam itu menyisakan kilau perak di jalanan saat mobil hitam keluarga Wijaya berhenti di depan hotel tertinggi di kota kecil itu.
Bangunan kaca menjulang seperti penjaga sunyi, lampu-lampu hangat dari dalam lobbynya menyambut siapa pun yang masuk dengan bayang-bayang keemasan.
Begitu pintu kaca terbuka, aroma sandalwood dan suara gemericik air mancur indoor menyelimuti Reani.
Langkahnya pelan, namun tubuhnya terasa ringan dan berat di saat yang sama.
Sementara Doroti—dengan coat hitam panjang—melangkah cepat, seolah siap menerobos siapa saja yang menghalangi.
“Suite terbesar,” ucap Doroti tanpa memberi ruang basa-basi begitu mereka tiba di depan resepsionis.
Petugas itu tersentak kecil, kemudian tersenyum hormat. “Suite Royal Skyline masih tersedia, Nona. Dua kamar, ruang tamu besar, jacuzzi, balkon—”
“Kami ambil,” potong Doroti.
Lift kaca mengantar mereka naik perlahan. Dari balik dinding transparan, kota tampak seperti lautan lampu yang berkedip pelan di bawah hujan tipis. Reani menatapnya kosong, seolah sedang mencari sesuatu yang tak bisa ia sebutkan namanya.
Suite mereka luas. Karpet abu gelap menyambut dengan kehangatan lembut. Sofa kulit besar duduk tenang di tengah ruangan, sementara tirai tinggi menyembunyikan pemandangan balkon yang basah.
Reani melepas mantel hitamnya seperti orang melepaskan beban. Ia duduk di tepi ranjang king yang memantulkan cahaya lampu kuning keemasan. Uap lembut dari diffuser memenuhi kamar, menenangkan—tapi justru membuat tubuhnya terasa semakin letih.
Ia merebahkan diri. Tidak mengatakan apa pun.
Doroti hanya mendengus, kemudian menarik selimut dan menutup tubuh sepupunya. “Tidur. Kau tampak seperti akan runtuh.”
Reani tidak bergerak lagi. Napasnya merata dalam hitungan menit.
Malam berlalu dalam diam.
Pagi datang dengan cahaya redup yang tembus melalui tirai tipis. Reani berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun hitam sederhana dengan kerah tinggi. Wajahnya hampir tanpa riasan, namun sorot matanya tajam dan tak tergoyahkan—seolah ia telah meninggalkan semua kelemahan di kamar hotel malam sebelumnya.
Doroti muncul dari kamar sebelah dengan jumpsuit hitam dan blazer panjang. Rambutnya terurai rapi.
“Siap?” tanya Reani pelan.
Doroti memutar mata. “Kalau ini perang, aku sudah di garis depan.”
Mereka turun, berjalan ke mobil yang sudah menunggu.
Rumah keluarga Juna dipenuhi aroma dupa dan tanah basah. Tenda hitam berdiri kokoh, sementara kursi-kursi terisi penuh oleh keluarga besar, tetangga, dan orang-orang yang pernah mengenal almarhum Sunarto.
Reani melangkah masuk, membiarkan suara orang-orang mereda sedikit begitu melihatnya. Gaun hitamnya, rambut yang ditata minimalis, cara ia berdiri—semuanya membuatnya tampak seperti bagian dari keluarga yang berduka, meski sebenarnya ia datang dengan hati yang bercampur-pahit.
Ibu Juna melihatnya lebih dulu. Wanita itu berdiri, memegang tangan Reani erat-erat, seakan berpegangan pada sesuatu yang masih utuh.
“Terima kasih… sudah datang, Nak Reani…” suaranya serak.
“Semoga almarhum tenang,” jawab Reani lembut. Nada suaranya tulus, namun dingin—seperti seseorang yang menjaga jarak dengan hati-hati.
Setelahnya ia melihat Juna.
Pria itu tampak seperti bayangan dirinya sendiri. Mata merah, pakaian berkerut, rambut berantakan. Saat tatapan mereka bertemu, waktu seperti menahan napasnya.
“Turut berduka,” ucap Reani singkat.
Juna mengangguk, bibirnya nyaris tak bergerak. “Terima kasih… Rea.”
Tidak ada yang perlu dikatakan lagi. Reani melangkah pergi, membiarkan jarak menjadi batas yang aman untuk keduanya.
Beberapa sepupu Juna langsung mendekat, wajah mereka berbinar melihat Reani.
“Dia datang juga…” “Cantiknya makin jadi…” “Dulu saja sudah anggun… sekarang seperti—”
Bisikannya mengikuti Reani ke mana pun ia bergerak.
Namun dari sisi tenda, ada tatapan yang bukan kekaguman.
Renata berdiri memeluk tas kecil di depan dada, matanya gelap penuh gelombang yang ia paksa tetap tenang. Wajahnya pucat, bukan karena duka—lebih karena seseorang yang ia takuti muncul di tempat yang tidak seharusnya.
Ia menatap Reani seperti seseorang yang baru melihat malaikat sekaligus ancaman.
Doroti melihat itu.
Dan seperti macan betina yang mencium darah, ia melangkah menuju Renata dengan senyum kecil yang tampak manis jika saja tidak dipadukan dengan sorot matanya yang mencemooh.
Seolah sedang melihat bunga di meja, Doroti berdiri cukup dekat untuk suaranya hanya terdengar oleh satu orang.
“Huh…” bisiknya lembut, nyaris seperti pujian, “…menjijikkan sekali kalau ada perempuan berani menginginkan suami orang lain.”
Renata menegang.
Doroti melanjutkan, nada suara halus namun mematikan.
“Entah apa yang dilihat darinya. Cantik juga tidak… yang ada cuma bergerak liar.”
Ia menghembuskan napas pendek. “Cih.”
Renata mematung, bibirnya bergetar. Sepupu-sepupu Juna menoleh, bingung.
Doroti menatap Renata dari ujung kepala hingga tumit, seperti sedang menilai barang murahan yang dipajang di rak diskon.
Bibirnya melengkung ke samping, seolah ia menahan rasa jijik yang menguar begitu jelas.
Sepupu-sepupu Juna berdiri tidak jauh di belakang mereka.
Beberapa pura-pura sibuk mengatur bunga, beberapa lagi hanya menunduk. Tapi mata mereka—menatap Renata dan Doroti bergantian, menunggu ledakan berikutnya.
Doroti menyibakkan rambut panjangnya, lalu bersandar sedikit ke arah para sepupu itu, suaranya lembut… terlalu lembut.
“Ah,” katanya, seakan baru mengingat sesuatu, “kalian belum tahu, ya? Sepupu kalian yang manis itu—si Juna—berselingkuh dengan perempuan ini.”
Ia mengucapkan perempuan ini seolah sedang menunjuk noda di lantai.
Renata menegang.
Bulu-bulu halus di lengannya berdiri.
Matanya bergetar, tetapi ia menahan diri untuk tidak melotot balik. Tidak di tempat duka, tidak di depan semua orang.
Sepupu-sepupu Juna saling pandang. Mereka tidak terkejut. Tidak juga panik.
Mereka hanya… canggung.
Ada yang pura-pura batuk.
Ada yang menatap tanah.
Ada yang menarik napas janggal.
Sebenarnya mereka sudah lama tahu. Tapi tidak seorang pun ingin mengucapkan itu keras-keras.
Hutang budi keluarga mereka pada almarhum terlalu banyak untuk membuat mereka berani menunjuk kesalahan keluarga Juna secara terang-terangan.
Tapi ketika wajah-wajah itu kembali pada ekspresi datar yang pura-pura netral, Doroti malah tertawa kecil—lembut, tapi sinisnya menggigit.
“Oooh…” gumamnya sambil menyilangkan tangan, “jadi sebenarnya kalian tahu. Tapi tidak berani bicara, ya?”
Beberapa sepupu berkedip cepat, tampak ingin pergi tetapi tak bisa bergerak.
Doroti mendekat selangkah, tumit high heels-nya mengetuk lantai semen pelan-pelan, seperti hitungan yang menyudutkan semua orang.
“Ck, ck, ck…” lirihnya, memandangi mereka satu per satu. “Hati-hati, ya. Wanita seperti ini…” Jemarinya menunjuk Renata tanpa benar-benar menyentuh. “…kalau terlalu dekat, pasangan kalian bisa ikut diincar. Kadang mereka tidak bisa membedakan mana yang milik orang, mana yang bukan.”
Kalimat itu meluncur ke udara seperti racun manis.
Sepupu-sepupu Juna refleks mundur setengah langkah dari Renata. Sangat halus, tapi cukup membuat udara di sekitar mereka berubah.
Renata meremas jemarinya, berusaha mempertahankan napas. Pipi dan lehernya memerah, entah karena malu, marah, atau takut semua ini akan terdengar oleh seseorang yang tidak seharusnya.
Lalu Doroti melangkah maju tanpa aba-aba. Tumitnya menghantam lantai pelan, tapi gerakannya cepat—terlalu cepat bagi Renata untuk mundur atau menyingkir.
Satu tangan terulur dan mendorong bahu Renata cukup keras hingga tubuh perempuan itu terhuyung.
Renata tidak jatuh, tapi ia kehilangan keseimbangan sejenak... tumitnya goyah, napasnya terseret, dan wajahnya memerah karena terkejut bercampur malu.
Beberapa pelayat yang berdiri di dekat situ menoleh, pura-pura tidak melihat tapi jelas memerhatikan.
Reani...dari sisi lain, memperhatikan semuanya dengan sorot mata yang sulit dibaca.
Sudut bibirnya terangkat sedikit—bukan senyum, lebih seperti seseorang yang menahan tawa yang hendak pecah. Ia tidak bergerak untuk menghentikan Doroti.
Bagi Reani, adegan itu seperti melihat seseorang menyapu debu dari karpet yang harusnya sudah dibersihkan sejak lama.
Doroti mendekati Renata lagi, menjulurkan tangan seolah ingin menepis sesuatu dari pakaian Renata—padahal ia hanya membuat jarak mereka semakin tipis, semakin menekan.
“Jauuuh sedikit,” katanya, nada suaranya ringan seperti sedang meminta seseorang mematikan kipas angin. “Bikin mata aku sakit.”
Beberapa sepupu Juna menelan ludah, matanya membesar.
Doroti menatap Renata dari dekat, pupilnya berkilat seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru untuk dicabik.
“Bisa-bisa aku gatal-gatal, tahu,” lanjutnya, bibirnya terangkat sinis. “Soalnya kamu kayak… ulat bulu. Menyentuh sedikit saja bikin alergi.”
Renata membeku. Napasnya naik-turun cepat, jemarinya menggenggam tas kecilnya erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Suasana duka yang tadinya hening berubah menjadi tegang. Beberapa pelayat yang peka mulai menarik diri, memberi ruang.
Reani akhirnya mengalihkan pandangan ke Doroti, sekilas saja. Pandangan itu bukan teguran—justru lebih seperti dukungan diam-diam.
Di antara suara doa yang dibacakan di ruangan sebelah, kata-kata Doroti menggema lebih nyaring, lebih menusuk, dan lebih memalukan daripada tamparan.
Renata menunduk, mencoba mengatur napas… namun Doroti belum selesai.
"Ini baru permulaan Jalang." Bisik Doroti.
bersambung.....