ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Cahaya sore hari masuk melalui jendela besar perpustakaan di lantai tiga. Sinar oranye yang lembut menabrak rak-rak buku, memantul di meja kayu panjang, dan menciptakan garis-garis tipis yang terlihat seperti debu keemasan melayang. Suasananya tenang—hampir terlalu tenang untuk ukuran perpustakaan sekolah.
Di ruang seluas itu, hanya ada dua orang: aku dan Luna.
Luna duduk di depanku, punggungnya tegak, buku-buku berserakan rapi seperti disusun dengan penggaris. Dia menuliskan poin-poin tesis, langkah-langkah projek, dan hal-hal lain yang bahkan gurunya sendiri mungkin belum terpikirkan.
“Untuk bagian ini, kita butuh minimal tiga referensi jurnal,” katanya sambil membalik halaman buku tebal berbahasa Inggris.
Aku mencoba mengikutinya.
Mencoba.
“Hei!” seruku akhirnya, tidak tahan lagi. “Bukankah kau terlalu terburu-buru?”
Luna berhenti menulis. Tatapannya naik perlahan dari buku ke wajahku. Datar. Tenang. Seolah-olah aku hanya pertanyaan ujian pilihan ganda yang jawabannya jelas.
“Aku sangat sibuk. Jadi kemungkinan tidak akan banyak waktu luang kedepannya,” jawabnya singkat.
Aku mengerutkan kening.
Kesibukan apa yang dimiliki seorang siswi SMA seperti dia?
Kursus modeling? Bimbel? Organisasi? Atau aktivitas rahasia seperti Adelia?
…tapi aku terlalu malas untuk bertanya.
Kami kembali tenggelam dalam keheningan. Halaman buku berdesir halus setiap kali dibalik. Jam dinding berdetak pelan. Dari lantai tiga, aku bisa melihat langit berubah perlahan dari sore ke senja—seperti lukisan yang diganti warna setiap menit.
Dan begitu samar, suara suara kehidupan sekolah mulai menghilang satu per satu.
Pada akhirnya, tepat pukul enam sore, Luna menutup buku catatannya.
“Kesimpulannya sudah cukup,” katanya sambil berdiri. Ranselnya disandang dengan gerakan yang praktis dan cepat. “Akan kuberitahu kapan diskusi selanjutnya.”
Dia mengangguk tipis.
“Jadi… sampai jumpa besok.”
Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah berjalan keluar perpustakaan. Tidak menoleh. Tidak memperlambat langkah. Hanya pergi seperti angin sore.
Aku terdiam memandang punggungnya menghilang di balik pintu.
Setelah itu, aku bersandar ke kursi dan menatap jendela besar. Matahari sudah hampir terbenam, menyisakan cahaya jingga yang mulai memudar.
“…Tidur ah,” gumamku.
Karena tentu saja, aku bodoh.
Aku meletakkan kepala di meja panjang perpustakaan—dan tertidur tanpa memikirkan konsekuensi apa pun.
Pukul 01.00 dini hari
Aku membuka mata perlahan.
Perpustakaan sudah gelap.
Bukan gelap biasa.
Gelap yang membuat retina menyesuaikan sebelum semuanya terlihat.
Gelap yang membuat meja, kursi, dan bayangan rak menyatu menjadi siluet hitam.
Aku mengedip beberapa kali.
“…Aku masih hidup?”
Suasana benar-benar senyap. Dari lantai tiga aku bisa melihat sedikit cahaya bulan menyelinap dari jendela tinggi, cukup untuk menampakkan bentuk-bentuk ruangan.
Aku berdiri, meregangkan tubuh, lalu meraih tas. Seharusnya aku langsung pulang.
Tentu saja aku tidak belajar.
Aku berjalan keluar perpustakaan. Lorong lantai tiga kosong dan panjang, diterangi hanya oleh cahaya bulan yang jatuh dari jendela besar di ujung koridor.
Saat aku baru melangkah lima langkah—
Tap… Tap… Tap…
Langkah kakiku berhenti.
Ini bukan suara langkahku.
Suara itu datang dari lorong gelap di sebelah kanan.
Aku menoleh.
Awalnya aku mengira itu satpam sekolah.
Tapi kemudian… seseorang muncul di bawah cahaya bulan.
Seorang wanita.
Memakai seragam sekolah putih-biru.
Rambutnya panjang dan menempel di pipi.
Tetesan air jatuh dari ujung rambut ke lantai.
Pakaiannya basah kuyup menempel pada tubuhnya seakan baru keluar dari danau.
Kulitnya pucat.
Terlalu pucat.
Tatapannya kosong seperti kaca retak.
Wanita itu berhenti sekitar satu meter di depanku.
Aku menatapnya balik.
“…Hmmm. Apa kau lapar?” tanyaku, memecah keheningan yang hampir terlalu tebal.
Wanita itu tidak menjawab. Tidak mengangguk. Tidak bereaksi.
Jadi aku mengeluarkan sesuatu dari kantong bajuku—snack coklat yang kubeli di kantin tadi siang.
Aku menawarkannya.
Dia memandang snack itu, lalu… perlahan mengulurkan tangan. Jemarinya dingin—meski aku tidak menyentuhnya, aku bisa merasakannya hanya dari udara di sekitarnya.
Dia mencoba membuka bungkus snack itu.
Tapi tangannya gemetar, dan plastiknya pun tidak robek sedikit pun.
“…Sini.”
Aku mengambil snack itu, membuka bungkusnya, lalu mengulurkan ke mulutnya.
“Nih… aaaa.”
Wanita itu terdiam sejenak seperti bingung dengan perlakuanku.
Kemudian ia membuka mulut pelan-pelan.
Aku menyuapkannya.
Dia mengunyah snack itu perlahan, seolah setiap gigitan membutuhkan tenaga.
Tidak ada jawaban ketika aku bertanya, “Bagaimana? Enak?”
Hanya suara kunyahan pelan.
Hening kembali turun seperti kabut.
Aku menatapnya lebih saksama.
Wajahnya… cantik. Sangat cantik. Tidak kalah dari Luna dan Adelia—hanya versi yang lebih sunyi. Lebih rapuh. Lebih… dingin.
Tik… tik… tik…
Air yang menetes dari ujung rambut dan rok seragamnya membuat lantai mengkilap.
Aku baru sadar: dari tadi aku memberinya snack, bukannya handuk atau pakaian kering. Tapi aku tidak punya apa-apa… hanya pakaian seragam yang kupakai sendiri.
Wanita itu tetap menatapku dengan mata kosong itu.
Tatapan yang… entah kenapa, membuat dadaku terasa berat.
Aku menghela napas.
Kemudian aku melepas bajuku—kemeja SMA-ku—dan membentangkannya seperti selimut kecil.
Wanita itu tampak terkejut. Matanya sedikit membesar.
“Maaf,” ujarku sambil memakaikannya ke bahunya, menutupi tubuhnya yang basah. “Hanya ini yang aku punya.”
Aku hanya memakai manset ketat tipis di bawahnya. Tidak hangat, tapi cukup untuk menutupi.
Wanita itu menggenggam baju yang kuberikan seakan itu benda paling berharga di dunia.
Senyum tipis muncul di wajahnya—rapuh, kecil, hampir tidak terlihat… tapi nyata.
Pipinya sedikit memerah.
Dia menunduk, lalu memeluk kain itu.
Seolah menemukan kehangatan pertama dalam waktu yang sangat lama.
“…Hei,” panggilku pelan. “Namamu siapa?”
Wanita itu mendongak.
Untuk pertama kalinya, bibirnya bergerak.
Suara lirih, hampir seperti bisikan angin, keluar dari mulutnya—
“……A—ri…”