Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20: Siapa?
"Rel... masih lama?" Andra mengelap keringat yang bercucuran di dahinya.
Farel yang berada didepan Andra menengok. "Dikit lagi."
"Dari tadi dikit lagi mulu, anjing," keluh Andra, bagaimana tidak, mereka mungkin sudah berjalan dua kilometer lebih dan belum sampai-sampai.
Kini, Andra bersama dengan yang lain sedang dalam perjalanan menuju Curug dekat villa milik Farel. Berbeda dengan lain, Janeth yang paling bersemangat dan berada paling depan pulas. Memang Farel, Andra, Mora, Indra, Bagas, Debrong laki-laki lemah!
Setelah lima belas menit berjalan, terdengar samar-samar suara air terjun. "Aa! Ayo, udah mau sampe curug," seru Janeth terlihat semakin bersemangat, sedangkan Andra? Dengan wajah kelelahan, ia memberikan ibu jarinya.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya mereka, kecuali Janeth, sampai di curug. Hawa sejuk ditambah kicauan burung dan suara deras air membuat rasa penat tadi terasa terbayarkan.
Janeth, yang tiba lebih awal sudah berenang di kolam alami tidak jauh curug. "Gas, Brong, Rel, Dra, Aa, ayo nyemplung, enak tau!"
Andra menaruh tasnya. "Sabar sayang," ia melepas baju dan sepatunya, menyisahkan celana pendeknya saja, ia berlari menuju kolam itu. "Eneng! I'm coming!"
Andra memasang wajah bingung, Janeth menghilang entah kemana. "Eneng!" panggil Andra, tak lama Janeth muncul dari dasar kolam, wajahnya nampak memerah.
Wajar saja, perempuan mana yang tidak memerah melihat tubuh Andra seperti dewa Yunani itu? Bahunya yang lebar, dada bidang, si- ralat eightpack, dan pinggangnya yang ramping.
“En—” Andra terdiam, kulit sawo matangnya ditambah sport bra yang dipakai Janeth memberikan kesan seksi.
Andra menelan lidahnya dengan susah payah, bibir kecil Janeth yang tidak terlalu merah itu menggodanya. “Woi zina woi!” dua insan itu pun menengok, terlihat sahabat-sahabat Andra sudah bertelanjang dada dan menatap mereka dengan menghakimi.
Farel menyeburkan tubuhnya, menghampiri Andra, Bugh! Ia meninju punggung Andra. “Lu, kita biarin mal—” belum sempat menyelesaikan ucapannya, Andra tiba-tiba mengguyurkan air ke mulut Farel hingga tertelan.
“Bangsat!” Farel balas menyiram Andra, yang lain ikut nyebur dan bermain bersama.
Setelah setengah jam bermain air, berenang, dan masih banyak lagi yang dilakukan mereka, akhirnya satu persatu mulai naik. Menyisakan Janeth seorang diri.
“Aa! Yang lain kemana?” tanya Janeth setelah menyelam beberapa menit, ia bingung, sebelum menyelam yang lain masih ada dan bersantai, kini menyisikan Andra yang duduk santai menyandar pada batu.
Andra yang menutup wajahnya dengan buku komik itu menariknya dan menatap sekelilingnya, benar saja, sahabat-sahabatnya hilang entah kemana. Andra mengangkat kedua bahunya, tanda bahwa ia tidak tahu.
Andra berdiri dan mulai merenggangkan ototnya yang terasa kaku. “Eneng masih mau berenang?”
“Iya,” Janeth kembali menyelam dan berenang. Andra mengangguk dan kembali menutup wajahnya dengan bukunya, perlahan ia pergi ke alam mimpi.
“Andra! Bangun! Jangan lepasin dia, Andra!”
Andra terperanjat, jantungnya berdetak sangat kencang. “Papa?”
“Akh!” Andra menengok, Janeth tampak berusaha dengan susah payah untuk mengambang. “Dra! Tolong! Kaki aku kram!”
“Oh shit! Dasarnya lumayan dalem,” Andra melompat ke dalam kolam, menggendong Janeth di pundak dan membawanya ke pesisir.
Andra mengangkat kaki Janeth perlahan, ia taruh di atas pahanya. Betisnya terasa tegang, Andra menarik telapak kaki Janeth ke arahnya secara perlahan. Janeth mengerang cukup keras, tapi ia tidak bisa menolak
“Atur napas,” titah Andra dan Janeth melakukannya.
Andra memijat sepanjang betis, dari tumit sampai ke tengah otot, mencari yang paling keras. Ia menggunakan sikut kirinya untuk menahan telapak kaki agar tetap merenggang, tangan kanannya mengusap dengan tekanan lembut. Setelah beberapa detik, tegangannya mulai mereda.
“Thanks god,” Andra menaruh kembali kaki itu saat betisnya terasa mengendur.
Andra tiduran disamping Janeth, ia menatap wajah itu yang mulai memucat itu, Janeth menengok dan tersenyum manis, ralat, sangat manis. “Makasih ya Dra.”
Andra membalikkan badannya, ia terkekeh pelan. “Tumben manggil Andra, bukan aa,” ia menyentuh hidung mancung itu.
Terdengar siulan menggoda, dua insan itu menengok ke sumber suara. Debrong, Indra, Mora, dan Bagas menatap mereka mirip seperti… pengunjung yang melihat binatang di kebun binatang.
“Berasa nonton anak jalanan langsung bah!” goda Debrong sembari memakan sereal dari kotaknya.
Andra menatap mereka bingung. “Kalian darimana? Dan lu dapet itu darimana?”
“Kita ketemu gubuk ditanggalin di deket sini,” jawab Bagas. “Awalnya kita mau ngajak kalian kesana… tapi kalian malah seneng-seneng disini.”
“Seneng-seneng apaan!” kesal Janeth. “Gua hampir mati gara-gara kram karena kalian pergi, untung ada Andra.”
Indra menjentikkan jarinya. “Ngomongin soal Andra, ada hal yang berkaitan sama Andra disana.”
Andra mengerutkan dahinya. “Maksud lu?”
“Makanya lu ikut kita,” jawab Indra.
“Gu—”
“Gak boleh!” baru saja Janeth meminta untuk diikut sertakan, tapi Andra dan Indra memotong.
“Lu baru kram, ntar kenapa-napa,” Andra menatap Janeth penuh rasa khawatir. “Mor, bawa Janeth ke villa Farel.”
Mora mendongak sembari menghela napas kesal. “Oh god!”
“Ntar kalo bisa dibawa hal itu, gua kasih ke lu,” ucap Andra.
Mora memutar bola matanya malas. “Ayo Neth,” ia menggendong Janeth dan berjalan kearah villa Farel. “Tenang Dra, gua nggak bakal ngapa-ngapain yang bikin lu marah.”
“Dra siapa yang dia maksud?” ucap Andra, Farel, dan Debrong berbarengan, kecuali saudara tiri, Bagas dan Indra yang saling menatap.
“Udah ayo, ntar keburu malem,” ucap Indra mengalihkan topik.
Mereka pun berjalan, menaiki batu-batu besar di bagian kiri curug. “Jadi gubuknya ada diatas curug?!” tanya Andra dengan nada keras, karena sudah pasti suaranya terhalang oleh deras air.
“Sedikit salah, tepatnya ada di dekat curug!” jawab Farel.
Setelah mendaki cukup lama dan menyusuri pohon, akhirnya terlihat gubuk yang dimaksud, bagus sekali untuk disebut gubuk, dan gubuk macam apa yang diatasnya ada panel surya?
“Lu yakin ini gak ada orangnya?” tanya Andra.
“Iya, seenggaknya tadi,” tanpa babibu Indra membuka pintu gubuk itu dan mereka pun masuk.
Terang, sebuah kasur yang cukup untuk satu orang, kulkas kecil, dan papan tulis berisi foto-foto yang tak asing, Andra menghampiri papan tulis itu dan menunjuk foto yang paling familiar. “Papa… mama, dan siapa ini?” jarinya berhenti di foto seorang wanita berambut pirang dan dress bunga-bunga.
“Itu bukan tante kau Dra?” tanya Debrong yang masih asik memakan sereal.
“Bukan, mama nggak dianggep lagi sama keluarganya, dan papa nggak ada saudara lagi selain mas Varo,” jawab Andra.
“Lu ngambil sereal itu disini Brong?” tanya Andra dengan wajah bingung dan dijawab anggukkan oleh Debrong. “Terus lu main makan aja gitu tanpa di cek dulu?”
“Orang gila aja hidup Dra,” jawab Debrong dengan santai.
“Udah-udah, mending kita ambil foto ini,” Bagas mengambil foto wanita tadi. “Kita cari tau ini nanti.”
Mereka pun mengangguk dan keluar dari gubuk itu. Tanpa mereka sadari, seseorang dengan luka cakaran di wajahnya memperhatikan mereka dari jauh. “Bos, mereka tau tempat persembunyian bos.”
“Nggak apa-apa, mungkin ini saatnya dia tau kebenaran.”
To be continue