Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkutuk
Lyra mencengkeram jubah Gilga dengan erat, tubuhnya gemetar tak terkendali. Pelukan itu lebih merupakan upaya untuk menahan diri agar tidak hancur.
"Valerius,"
desis Lyra lagi, suaranya tercekat.
"Dia akan menghancurkan kita... menghancurkan Ayah dan Ibu... Merbrit dan Mia!"
Gilga menahan Lyra, menatapnya dengan mata merahnya yang khawatir.
"Lyra, Lyra! Tenang! Ada apa? Apa yang kau lihat? Itu hanya kualifikasi, kita bisa mengendalikan ini!"
Lyra menarik diri sedikit, matanya yang hijau zamrud liar dan berkaca-kaca. Ia melihat Gilga, tetapi yang ia lihat adalah visi kastil Astrea yang hancur, dan Mana Darah di sekitar Gilga mengingatkannya pada kekejaman yang akan datang.
"Tidak! Kau tidak mengerti!"
Lyra berteriak, suaranya sangat lirih tetapi penuh keputusasaan.
"Mereka... mereka akan membunuh kita semua! Mereka akan mempermalukan Ayah dan Ibu di depan umum! Aku melihatnya! Aku melihat Kepalaku sendiri tergantung! Gulungan itu! Gulungan itu akan membunuhku!"
Lyra mulai terengah-engah. Nafasnya pendek-pendek dan cepat. Semua ketakutan yang ia pendam—krisis identitasnya, tekanan dari Racel dan Marlina, pengkhianatan Valerius—meledak di saat yang sama.
"Aku harus keluar! Aku harus menghentikannya sekarang! Kita harus kembali ke Silvania! Tidak! Kita harus lari ke Heaven Grail!"
Lyra mencoba mendorong dirinya berdiri, tetapi kakinya lemas. Ia kehilangan kendali atas Mana di sekitarnya. Lyra yang biasanya tenang dan logis, kini adalah putri Archmage yang ketakutan dan dilanda trauma.
"Mia! Merbrit! Mereka... aku melihat mereka..."
Lyra menutup matanya, gambar mutilasi itu terpatri dalam ingatannya.
"Aku tidak mau... aku tidak bisa..."
Kepanikan Lyra memuncak. Oksigen di paru-parunya menipis. Ketegangan mental dan fisik akibat Temporal Leap yang berlebihan dan visi mengerikan itu melebihi batasnya.
Lyra, yang masih mencengkeram Gilga, seketika terdiam. Matanya bergulir ke belakang. Tubuhnya menjadi lemas dan berat, dan ia roboh.
Lyra Elara Von Astrea, Archmage tersembunyi yang disiapkan untuk menjadi Sage, pingsan di tribun Akademi Elorick.
Gilga, yang terkejut, segera menangkap Lyra. Ia menyandarkan Lyra yang tidak sadarkan diri ke bahunya. Ekspresi di wajahnya seketika berubah dari kaget menjadi amarah yang dingin dan mematikan. Gilga merasakan ada sesuatu yang sangat salah; visi itu telah menghancurkan Lyra.
"Sialan!"
desis Gilga, memeluk Lyra erat-erat. Ia menoleh ke kerumunan yang mulai melihat ke arah mereka, mata merahnya memancarkan ancaman.
"Aku akan membunuh siapa pun yang bertanggung jawab atas ini. Valerius! Kau mati!"
Gilga mengangkat Lyra yang pingsan dan segera meninggalkan tribun, bergerak cepat keluar dari arena, membawa Lyra kembali ke keamanan Penginapan Alexa Noviert.
Di tengah puing-puing, Lyra melihat dua sosok wanita. Erin berlutut di tanah yang hangus, wajahnya berlumuran jelaga dan air mata, sambil menggenggam tangan Marlina yang tampak tak bergerak.
"Tidak... tidak mungkin..."
bisik Lyra, hatinya sakit melihat ibunya.
Erin tiba-tiba mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan menatap Lyra. Ekspresinya bukan lagi rasa bersalah, melainkan kebencian murni.
"Kau!..."
desis Erin, suaranya parau dan menusuk.
Erin berdiri tegak dan berjalan terhuyung-huyung mendekati Lyra.
"Kau putri Terkutuk!"
teriak Erin, suaranya memantul di antara puing-puing yang terbakar.
"Kau penyebab semua ini! Kau yang membawa kehancuran! Kau yang membakar Kastil, kau yang membunuh keluargamu dengan ambisimu!"
Lyra terhuyung mundur, rasa sakit pengkhianatan dari ibunya menusuk lebih dalam daripada pedang manapun.
"Bukan aku! Aku tidak tahu!"
Saat Lyra mundur, ia bertabrakan dengan sosok yang kokoh di belakangnya. Itu adalah Racel Astrea, ayahnya, Dewa Pedang Kerajaan.
Lyra mendongak, mencari perlindungan, tetapi ekspresi Racel tampak tidak senang—hampa, dingin, dan mengancam, seperti patung Dewa Pedang yang tak berperasaan.
"Papa... tolong aku!"
pinta Lyra, suaranya pecah.
Racel menatapnya tanpa emosi.
"Maaf, Sayang. Tapi kau dihukum. Jiwamu terlalu berisik. Ambisimu terlalu berbahaya. Kau melanggar semua aturan demi dirimu sendiri."
Racel mengangkat Pedang Naga Hitamnya—pedang yang ia berikan sebagai tanda cinta dan kepercayaan. Pedang itu kini memancarkan aura hukuman.
Racel bersiap menebas ke arah Lyra.
Lyra menjerit dalam mentalnya, ketakutan akan kehilangan orang tuanya lebih besar daripada ketakutan akan kematian fisik.
Saat itu juga, Lyra terbangun.
Ia tersentak, mata hijaunya terbuka lebar, napasnya tersengal-sengal. Ia berteriak sekuat tenaga, bukan teriakan Archmage, tetapi teriakan seorang anak kecil yang dilanda mimpi buruk.
"JANGAN!"
teriak Lyra.
Dia tidak berada di hutan yang terbakar. Dia berada di kasur yang lembut di suite mewahnya di Alexa Noviert.
Gilga berada di sampingnya, memegang pergelangan tangan Lyra dengan lembut, Mana-nya siap untuk menstabilkan Mana Lyra. Wajah Gilga sangat khawatir.
"Lyra! Kau aman! Kau di penginapan!"
kata Gilga, menahan bahu Lyra agar tidak bergerak.
Lyra menatap Gilga, kemudian melihat sekeliling. Kamar itu utuh, tidak terbakar. Merbrit dan Mia tidak dimutilasi. Racel tidak memegang pedang. Itu semua hanyalah mentalnya yang terpecah dan ketakutan yang diwujudkan.
Lyra memeluk Gilga erat-erat, air mata mengalir lagi.
"Itu nyata, Gilga! Itu adalah hukuman. Aku harus menghentikan Valerius! Jika tidak, Ayah dan Ibu... semuanya akan hancur."
Lyra meringkuk di kasur, tubuhnya gemetar hebat, suaranya parau karena teriakan yang baru saja dilepaskannya. Kepalanya terkubur di dada Gilga, mencari perlindungan fisik dari teror mental yang baru saja ia alami.
"Shhh... Lyra, dengarkan aku,"
bisik Gilga, suaranya dipenuhi ketenangan yang sangat dalam, berbanding terbalik dengan kekejaman Mana Darah yang ia miliki. Gilga dengan hati-hati memeluk Lyra, memastikan cengkeramannya terasa aman, bukan membatasi.
Gilga mulai merapal Mana Darah dalam skala mikro, tetapi bukan untuk menyerang. Dia mengalirkan energi yang sangat hangat dan menenangkan ke titik Mana di punggung Lyra. Darah, yang merupakan sumber kehidupan, kini menjadi sumber kenyamanan.
"Itu hanya mimpi, Lyra. Itu hanya pikiranmu yang lelah. Lihat aku,"
pinta Gilga, dengan lembut menarik Lyra agar menatapnya.
Mata merah Gilga bertemu dengan mata hijau Lyra yang liar dan penuh ketakutan.
"Aku tahu kau melihat sesuatu yang buruk. Aku tahu ambisi ini membebani jiwamu. Tetapi kau tidak sendirian,"
kata Gilga, nadanya terdengar sangat tulus dan penuh kepedulian.
Gilga mengusap air mata di pipi Lyra dengan ibu jarinya.
"Dengarkan aku baik-baik, Lyra. Aku tidak peduli dengan Sincorta, dengan tahta Elemendorf, atau dengan gelar Archmage. Aku di sini untuk melindungimu. Itu tugasku. Itu janji yang ku buat pada Nenek Marlina dan itu adalah janji yang aku buat untuk diriku sendiri."
"Visi itu... Visi tentang Ayah dan Ibumu, tentang Mia dan Merbrit, tentang dirimu yang tergantung..."
Gilga melanjutkan, suaranya rendah dan serius, "Itu adalah ketakutan terbesarmu yang diwujudkan, Lyra. Itu bukan ramalan. Itu adalah peringatan mental. Itu memberitahu kita Jangan pernah gagal, dan jangan pernah bertarung sendirian."
Gilga memegang bahu Lyra, menanamkan kepercayaan melalui sentuhannya.
"Aku adalah Archmage Darah, Lyra. Aku akan membela kehormatanmu dan keluargamu. Kau adalah Archmage Ruang-Waktu. Kita memiliki kekuatan untuk mengubah takdir, bahkan takdir yang muncul di pikiranmu."
"Kau tidak akan kembali ke Silvania, dan kau tidak akan menyerah. Kau akan menjadi Lyra yang sempurna, kau ingat? Kita akan masuk Akademi. Kau akan menunjukkan kepada mereka mengapa kau harus lulus dalam satu tahun. Dan aku akan mencari Valerius."
Gilga menyandarkan kepala Lyra ke dadanya lagi.
"Istirahatlah, Lyra-ku yang sempurna. Hari ini kau harus tampil sempurna di hadapan Nenek Marlina. Dan besok, kita akan membuat Valerius menyesal telah mengkhianati Lyra Elara Von Astrea."
Perlahan, getaran di tubuh Lyra mulai mereda. Kehangatan Mana Darah Gilga dan kata-kata keyakinannya menenangkan jiwanya yang terkoyak. Lyra menutup matanya, menyerap kekuatan dari Gilga.
"Terima kasih, Gilga,"
bisik Lyra, suaranya kembali stabil.
"Kita akan melakukannya. Bersama-sama."