Setting Latar 1970
Demi menebus hutang ayahnya, Asha menikah dengan putra kedua Juragan Karto, Adam. Pria yang hanya pernah sekali dua kali dia lihat.
Ia berharap cinta bisa tumbuh setelah akad, tapi harapan itu hancur saat tahu hati Adam telah dimiliki Juwita — kakak iparnya sendiri.
Di rumah itu, cinta dalam hati bersembunyi di balik sopan santun keluarga.
Asha ingin mempertahankan pernikahannya, sementara Juwita tampak seperti ingin menjadi ratu satu-satunya dikediaman itu.
Saat cinta dan harga diri dipertaruhkan, siapa yang akan tersisa tanpa luka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf? 16
"Duh, ada dimana sebenarnya kunci motonya sih?"
Adam sedikit kebingungan mencari-cari kunci motor miliknya. Terakhir dia yakin kunci itu diletakkannya di lemari yang ada di ruang tengah. Tapi saat membukanya tidak ada di sana.
Adam mencoba mengingatnya. Ia masuk ke kamar. Matanya berbinar ketika menemukan itu di atas meja belajarnya.
"Ya ampun, pelupa sekali sih?" Adam merutuki dirinya sendiri.
Dia kemudian bergegas menuju ke tempat dimana Asha menunggunya. Tapi sesuatu membuat Adam terhenti. Dia menghentikan langkahnya saat berada di ambang pintu untuk mendengar lebih jelas lagi tentang sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan dengan berani seperti itu.
Banyak kata yang seharusnya tidak keluar dari mulut mereka yang posisinya hanya sebagai pembantu di rumah ini. Dan yang lebih mengejutkan adalah kata-kata terakhir mereka
"Dia sungguh tidak pantas menjadi menantu keluarga Darsuki."
Mata Adam membulat sempurna, meski hubungannya dengan Asha tidak selayaknya hubungan suami istri pada umumnya, tapi dia marah ketika ada yang berkata demikian kepada Asha.
"Siapa kamu sampai berani menilai siapa yang pantas dan tidak pantas menjadi menantu keluarga ini hah!" pekik Adam marah.
Pada mata pria itu seperti ada kilatan yang menunjukkan jelas tentang kemarahannya. Semua yang berbicara buruk tentang Asha seketika terkejut, pun dengan Asha. Dia tidak menyangka Adam akan berteriak marah seperti itu.
"Mas,"panggil Asha lirih. Tapi sepertinya panggilan Asha tidak sampai ke telinga Adam. Buktinya Adam terus berjalan menuju ke orang-orang yang berbicara buruk tadi.
"Kamu ngomong apa tadi hah! Kamu tidak lihat atau mata mu buta. Wanita itu, dia istriku. Dia adalah menantu keluarga ini yang dipilih langsung oleh bapak ku. Kalau kalian bicara seperti itu, maka berarti kalian menganggap bapak tidak becus mencari menantu. Apa begitu?"
Bruuuk
Orang-orang yang tadi membicarakan Asha seketika duduk bersimpuh. Tubuh mereka bergetar ketakutan. Belum pernah mereka melihat putra kedua Juragan Karto Darsuki marah sperti ini sebelumnya.
Adam terkenal bersikap sesukanya sendiri dan tak pernah peduli dengan keadaan sekitar. Maka dari itu mereka tidak menyangka bahwa Adam akan menanggapi hal tersebut dengan serius.
Apalagi yang mereka tahu, Adam sama sekali tidak peduli dengan istrinya. Jadi mana pernah mereka berpikir akan seperti ini tanggapan Adam.
"Maaf Den, kami sungguh minta maaf. Kami menyesal,"ucap salah satu dari pembantu di rumah ini.
"Maaf kau bilang? Kalau mau minta maaf, minta maaf lah dengan benar. Bukan kepada ku tetapi kepada istriku,"sahut Adam tak acuh.
"Kami minta maaf, Non,"ucap mereka. "Kami tidak akan bicara seperti itu lagi,"imbuhnya.
Asha terdiam, ucapan permintaan maaf yang mereka lakukan itu sama sekali tidak tulus dan Asha tahu itu. Mereka meminta maaf karena Adam dan juga karena nama Juragan Karto yang disebut oleh Adam.
Namun Asha juga tidak mau urusan ini menjadi panjang.
"Mas, ayo berangkat. Nanti keburu siang,"ucap Asha. Pada akhirnya Asha tidak menjawab permintaan maaf dari para pembantu yang tadi membicarakannya.
Adam juga enggan untuk membahasnya lebih lanjut.
Bruuum
Motor dinyalakan. Adam dan Asha pun meninggalkan rumah dan menuju ke rumah Budi.
"Kenapa membelaku tadi?" tanya Asha. Di dalam perjalanan, Asha tiba-tiba menanyakan hal itu. Dia menanyakan tentang sikap Adam yang tiba-tiba memedulikannya.
"Kamu istriku, menyinggung mu berarti juga menyinggungku,"sahut Adam.
Dia sendiri tidak tahu mengapa dirinya sangat marah dengan orang-orang yang tiba-tiba membicarakan Asha. Mungkin pengaruh dari ucapan Adi sangat kuat bagi Adam.
"Lain kali, jika ada yang menyinggung mu, kamu harus melawannya. Kalau tidak bisa bilang saja padaku," tukas Adam.
Asha hanya diam, tidak mengiyakan tapi juga tidak menolak. Dia masih bingung dengan sikap Adam yang tiba-tiba berubah. Semenjak kembali berkuliah, Adam malah terlihat menjadi sedikit aneh di matanya.
Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka pun sampai di rumah kedua orang tua Asha.
Budi yang tengah duduk di teras tampak senang melihat kedatangan putri sulungnya, pun dengan Tari dan juga Irwan.
"Mbak,"ucap Irwan. Dia langsung menghampiri kakaknya dan memeluk dengan erat.
Sedangkan Adam, dia menghampiri Budi dan Tari, meraih tangan mereka lalu mencium punggung tangan dengan hikmat secara bergantian.
"Maaf Pak, Buk, kami baru bisa datang semenjak pernikahan kami,"ucap Adam meminta maaf. Ucapannya lembut dan juga sopan.
"Tidak apa-apa, Nak Adam. Kami tahu kalau Nak Adam sudah kembali sibuk kuliah. Semoga kehadiran Asha tidak membuat Nak Adam repot ya," sahut Budi. Dia merasa tenang melihat menantunya adalah pria yang sopan.
"Tidak, tidak sama sekali, Pak. Asha adalah wanita yang baik dan istri yang sangat pengertian. Saya bersyukur bisa menikah dengan Asha."
Sreeet
Asha seketika langsung melihat ke arah Adam yang bicara demikian. Dia baru saja hendak masuk ke rumah menyusul ibunya. Tapi mendengar ucapan Adam kepada Budi membuat langkah terhenti,.
Tatapan Asha yang diarahkan kepada Adam seolah berbunyi 'apa-apaan ucapan itu?' Asha sungguh tidak habis pikir Adam bisa bicara demikian.
Dan apa ini, pria itu mengedipkan sebelah matanya.
"Dia sudah gila rupanya. Atau mungkin dia benar-benar kesambet setan,"gumam Asha lirih.
Disaat bersamaan namun di tempat yang berbeda, seseorang tengah menggerutu. Ia kesal karena akhir pekannya harus berakhir ditempat yang membosankan.
"Mas, kenapa sih kita harus ikut Bapak dan Ibu ke tempat saudara." Juwita bicara lirih kepada suaminya tapi dengan nada kesal.
"Aku juga tidak tahu. Tadi Bapak langsung minta ke aku untuk mengajak mu pergi,"sahut Bimo. Dia sungguh tidak tahu mengapa mereka harus ikut ke rumah saudara yang sering mereka kunjungi dimana itu perginya pagi-pagi sekali bahkan saat hari masih sedikit gelap.
"Huft, aku sangat bosan, Mas. Apa kita tidak bisa pulang sekarang?" pinta Juwita memelas.
Jika biasanya Bimo bisa menuruti apa yang diingkan Juwita tapi tidak kali ini. Mereka hanya menggunakan satu mobil, jadi tidak mungkin mereka pulang lebih dulu dan meninggalkan Juragan Karto dan Sugiyanti.
"Tidak bisa, sayang. Bapak sama Ibu nanti bagaimana. Tahan sebentar lagi ya, kita akan pulang setelah ini. Kamu nikmati saja camilan yang sudah dihidangkan,"saut Bimo. Dia mengusap lembut kepala Juwita.
Mau tidak mau, Juwita menurut dan tidak ngeyel kali ini karena memang tidak ada yang bisa dilakukan sekarang selain menunggu.
TBC
Dam.. Asha ingin kamu menyadari rasamu dulu ya...
Goda terus Sha, kalian kan sudah sah suami istri