“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
“Mereka mendekat kesini, Meutia.” Nirma cepat-cepat menyedot jus Mangganya, nasi sayur nya sudah habis dimakan.
Meutia masih tenang, mengunyah sisa terakhir soto, lalu meminum habis jus Alpukat hingga tandas.
“Boleh saya berbicara dengan wanita yang mengaku-ngaku istrinya Yunus?” intonasi Ambu terdengar menahan geram.
Anggukan wanita berhijab silver, membawa mereka pada pertemuan di kantin rumah sakit yang kebetulan terlihat sepi, dikarenakan jam makan siang sudah lewat.
Meja yang diperuntukkan bagi enam orang itu kini hampir penuh. Meutia duduk dipinggir bersebelahan dengan sahabatnya.
Piring dan gelas kotor sudah dibereskan oleh pelayan kantin.
“Silahkan, Bu,” ujarnya tenang, suara terjaga, tidak meninggi maupun merendah.
Ambu melipat tangan di pinggir meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Saya tak ingin bertanya apa benar atau tidak kau istrinya Yunus. Disini saya ingin menekankan, bila dia memiliki tanggung jawab terhadap Denis, cucu kami. Jadi, harap kau sadar diri untuk tidak memintanya menjauh dari putranya!”
Meutia menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik, senyum tipis menghiasi bibir berwarna alami. Di tatap lekat wajah wanita yang diperkirakan umurnya tidak terpaut jauh dari sang ibu.
“Saya sudah mendengar langsung dari lisan bang Ikram, kalau putri Anda adalah seorang janda ditinggal mati, dan Denis sudah jelas bukan anak dari suamiku. Lantas, mengapa dia dibebankan tanggung jawab atas sesuatu yang tidak ada hubungannya dengannya?”
Ambu masih mempertahankan ekspresi tegas, menjawab lugas. “Karena sedari Denis lahir, Yunus selalu ada didekatnya. Bahkan dia pula yang mengadzani.”
Meutia merasakan sakit pada relung hatinya, disaat putranya sendiri kehilangan sosok ayah. Malah ayah kandungnya memberikan kasih sayang tiada tara kepada anak lain.
Namun cepat-cepat perasaan melankolis itu ditepis olehnya. Tidak mau terlihat lemah dihadapan wanita memiliki sifat sangat egois.
“Denis masih terlalu kecil untuk ketergantungan dengan orang asing. Asal kalian bersedia mengalihkan perhatian, maupun rasa kehilangan atas kepergian bang Ikram nantinya, dia pasti cepat melupakan sosok selalu ada didekatnya itu. Janganlah menjadikan dirinya temeng, jangan pula mengajari batita itu layaknya seorang pengemis demi sebuah status.”
“Kau!” Jari telunjuk Ambu menuding wajah Meutia. “Mulutmu bak ujung belati, tanpa hati menghina anak yang bahkan belum pandai berbicara. Sungguh tak sopan dirimu!”
“Bila saya tak sopan, lantas kalian apa?!” Alisnya naik sebelah, dia mulai menunjukkan ekspresi tidak suka. “Mengatai diri ini tak berperasaan, sementara kalian sangat kurang ajar meminta suami dari istri sah nya! Saya istri SAH secara agama maupun negara dari pria yang kalian panggil Yunus!”
Arinta kesal melihat ekspresi mengejek Meutia. “Tak usah kau bawa-bawa status. Kami pun tidak ingin mengetahuinya, cuma mau memperjelas keberadaan anakku yang disayangi suamimu itu!”
“Anakmu, atau keinginan menggebu-gebu dirimu sendiri?” tantang Meutia.
"Ini bukan tentang aku, tapi Denis. Lagipula, selama ini bang Yunus _”
Brak!
Dhien menggebrak meja, dia gagal menahan sabar. “Ikram Rasyid! Namanya Ikram Rasyid, bukan Yunus. Bebal sangat kalian!”
Ambu dan Arinta hampir terlonjak dikarenakan terkejut.
“Disini ada orang tua, apa kau tak pernah diajari sopan santun, iya?!” Ambu memandang sengit wanita berjilbab hitam.
“Oh ….” Dhien mencondongkan tubuhnya, dia duduk berhadapan dengan Arinta.
“Anda mengakui kalau lah tua, tapi mengapa sifat dan kata-katanya tak menunjukkan banyaknya umur itu! Sebagai seorang sudah berusia sangat matang, terlebih wanita dan juga bergelar ibu – seharusnya Anda menasehati putri sendiri agar tahu batasan, tak menggatal. Mengakui pria lain sebagai suaminya, sengaja melembutkan nada seperti sosok penggoda. Namun, yang Anda lakukan sebaliknya, bukannya melarang malah sepertinya sangat mendukung.”
“Aku tak seperti itu! Jangan asal menuduh dirimu!” Arinta meninju meja.
“Kau membantah saat dikatai seperti wanita penggoda. Namun tindakanmu malah mendukung julukan itu. Bukankah lebih terhormat bergelar janda ditinggal mati, daripada dicap perebut suami orang, Arinta?” Meutia menyela, tersenyum mengejek pada wanita yang wajahnya mulai merah padam.
Meutia terus ingin menyerang. “Jangan-jangan, kau bukanlah janda. Sebenarnya masih bersuami? Atau mungkin belum pernah menikah dan pernah melakukan dosa zina sampai terlahir anak diluar pernikahan, betulkah?”
“Jaga ucapanmu wahai wanita tak tahu sopan santun!” Ambu sampai berdiri, dia meradang putrinya dituduh yang bukan-bukan.
Nirma tidak terima kedua sahabatnya dipojokkan, dihina. “Bu, disini yang tidak tahu adab itu Anda! Datang-datang menyerang, mencaci maki, giliran dibalas langsung naik pitam. Kalau tak sanggup berdebat, menghadapi kata-kata pedas akibat dari ulah sendiri, lebih baik diam!”
“Tahukah engkau wanita muda!” Nirma menoleh ke Arinta. “Dirimu layaknya pencuri, maling suami orang! Jelas-jelas Ikram bukan milikmu, tapi suaminya Meutia Siddiq. Dan, sepertinya pun kau telah mengakui status itu, tapi tetap menginginkannya! Membawa nama anak demi menjeratnya agar tak pergi, dari sekian banyak laki-laki dimuka bumi ini, kenapa harus dia?”
“Siapa yang tak mau dengan Ikram. Penyayang, setia, teguh pendiriannya, penyabar – terlebih sekarang dia mengetahui kalau Ikram bukan gelandangan. Dia seorang dokter dan calon psikiater, sudah pasti si Arinta terobsesi ingin memilikinya. Agar dapat menyandang gelar istrinya dokter,” tuduh Dhien.
Suasana bertambah panas. Meutia yang terlanjur kesal, membalas dengan cara elegan. Tak berteriak, melainkan berkata-kata dengan nada sedang. “Sampai matipun, aku takkan membiarkanmu merusak jalinan kasih suci yang pernah disaksikan para Malaikat. Dia suamiku, bukan milikmu! Takkan pernah menjadi kepunyaanmu! Kau ingat itu!”
“Seharusnya kau sadar diri, kalau dia pun enggan dan tak mau denganmu. Di saat dirinya mengalami amnesia, tak ingat apa-apa, bahkan nama sendiri pun tak tahu. Namun gesture tubuhnya sudah menjadi bukti kalau hatinya telah dimiliki wanita lain yakni, aku Meutia Siddiq," jeda nya.
"Alam bawah sadarnya tetap memerintahkan anggota geraknya agar menjaga batasan. Sebelum dirimu lancang melangkah lebih jauh lagi, aku sarankan mundur lah secara terhormat, Arinta!” Meutia mendorong ke belakang kursinya.
“Teruntuk mu wahai wanita bergelar ibu. Bila kau keukeuh ingin menjaga nama baik keluarga, seharusnya carilah pemuda bukan seseorang telah berpunya. Anda bisa menekan suamiku, tapi hatinya tahu kemana dia harus pulang!" dia berhenti sejenak.
"Tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, dan pertemuan kami adalah skenario takdir Tuhan. Bila Anda tetap memaksakan diri, sama saja berhadapan dengan Allah, sebab saya selalu melibatkan-Nya dalam setiap langkah. Permisi!” Dia berbalik dan pergi dari sana.
Meutia meninggalkan dua sosok terdiam layaknya patung, kedua terkepal dan sorot mata tajam.
.
.
Sehabis menghadapi Ambu dan Arinta, Meutia menemui ibunya. Menanyakan tentang hasil pemeriksaan kesehatan medis Ikram Rasyid.
“Nyak, apa hasil pemeriksaan kesehatan bang Ikram sudah keluar? Semua baik-baik saja 'kan …?”
.
.
Bersambung.
Pas awal uda di buat jantungan baca sinopsis nya, sumpah keren banget, meski harus gregetan baca nya kalau uda ada keluarga tinta, meski kebanyakan sedihnya sih di buat intan dan biya, kereennnn, semangat terus kak cublikkkk/Kiss/
suskes trs y kak, dtunggu novel kak cublik yg lain'y 😎🥰
setiap katanya penuh semangat khas "Medan kali" , harapannya kedepan lebih banyak bahasa sehari-hari warga Medan atau Langkat khususnya digunakan mbak jadi kesannya memang benar kisah nyata.
Pemirsa pembaca yang Budiman masih menunggu kelanjutan kisah dari desa jamur luobok yang lain. Mungkin kisah si three Musketeers from desa jamur luobok " ayek dkk" .
🙏🙏🙏