Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.
Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.
Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
***
"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.
"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"
"Aku datang untukmu, Kak."
"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.
Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.
"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.
"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."
"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.
"Aku aset yang tidak patuh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Di luar hotel bersejarah London, The Savoy, salju yang terus turun membuat segalanya tampak sunyi dan dingin.
Aiden Aliston, sudah mengambil Mercendes hitamnya.
Aiden menunggu Helena.
Dia telah mengirim Helena naik ke suite untuk mengambil tas tangannya, namun waktu tunggu mulai melampaui toleransi kesabarannya.
Sementara itu, di lantai atas, Helena meniti karpet tebal yang meredam langkahnya di koridor berpanel kayu Edwardian yang mewah.
Saat melewati suite Noa, rasa bersalah itu kembali menusuk. Perdebatan sengit di sarapan tadi, pemicunya adalah dirinya.
Helena mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian, dan dengan tekad bulat, dia mengetuk pintu.
Noa, tentu saja, berada di dalam. Ketika pintu terbuka, ekspresi Noa seperti biasa, santai, tanpa sisa ketegangan yang mengganggu sarapan pagi.
Dia bersandar di kusen pintu, senyum nakal itu kembali, memancarkan pesona.
"Ada apa, Nona Nelson? Apa kau mencariku?" tanya Noa, nadanya penuh godaan.
"Tuan Ryder..." Sebelum Helena menyelesaikan kalimatnya, Noa memegang gagang pintu dan menariknya terbuka lebar, mengundangnya masuk.
"Helena, lebih baik kita bicara di dalam. Lorong ini terlalu dingin," jelasnya, tatapannya menyiratkan pemahaman mendalam tentang status gadis itu.
"Aku tidak mau membuatmu membeku."
Helena mengangguk, menghargai isyarat yang tulus di balik nada usil itu, dan mengikuti Noa masuk ke dalam ruangan.
Suite Noa, dengan jendela yang menampilkan panorama Westminster yang diselimuti salju, terasa hangat dan kontras dengan dinginnya London.
"Terima kasih," ucap Helena.
Noa tersenyum geli.
"Mengapa aku merasa kau lebih patuh dari biasanya?" ejeknya.
Saat Helena hendak menjawab, Noa menyela lagi, menunjuk sofa beludru mewah berwarna hijau tua.
"Duduklah. Tidak ada gunanya berdiri seperti ini." Helena kembali mengangguk dan mengikuti.
"Jadi," tanya Noa, menyandarkan dirinya di meja, penasaran.
"Aku minta maaf. Aku sudah keterlaluan," ucap Helena tulus.
Dia berdiri, dan sedikit membungkukkan badannya, sebuah isyarat langka dari seorang Nelson.
"Tuan Ryder, maaf membuatmu tidak nyaman."
Helena menegakkan tubuh, tatapannya melembut.
"Maafkan juga Kak Aiden. Dia tidak bermaksud menantang batasmu atau mengabaikan perasaanmu. Dia hanya selalu melihat keuntungan sebagai prioritas. Dia didesain untuk menjadi seperti itu."
Senyum Noa melebar, bukan ejekan, melainkan pengakuan mendalam.
"Mengapa kau meminta maaf untuk Aiden?" tanyanya, suaranya tenang, menguji kedalaman hubungan itu.
Noa menyadari, hubungan antara Helena dan Aiden sepenuhnya tidak didasari aliansi murni.
Ada ikatan pribadi, kasih sayang tak terucapkan, yang bercampur dengan takdir bisnis, tanpa mereka berdua sadari.
"Tuan Ryder, kau satu-satunya orang yang mendekati kata teman untuknya," Helena menghela napas, melihat ke arah jendela yang menyajikan pemandangan kota yang beku.
Noa terkejut. Dia tidak menyangka Helena memiliki wawasan yang begitu tulus, sebuah pengamatan yang lembut mengenai inti dari manusia yang rumit seperti Aiden.
"Aku tidak mau gara-gara kesalahpahaman yang ditimbulkan olehku hubungan kalian merenggang. Aku tidak mau menjadi penyebab isolasi Kak Aiden."
"Tuan Ryder, terima kasih sudah menjaganya di Boston," Helena tersenyum hangat, menoleh ke arah Noa.
Senyum itu kini tulus dan penuh persahabatan, jauh dari ketajaman yang dia tunjukkan di meja sarapan.
Di bawah, Aiden menunggu. Jari-jarinya mengetuk dashboard.
Rasa kepanikan itu muncul lagi, rasa tidak nyaman yang mendesak. Setiap kali Helena berada di luar perhitungannya, di luar garis pandangnya, kontrol Aiden akan goyah.
Aiden turun dari mercendes, langkahnya di atas salju terasa cepat, memotong udara dingin London.
Dia naik kembali ke suite-nya. Saat memasuki suite, dia melihat barang-barang Helena, semua masih di sana.
Namun, jejak gadis itu tidak ada sama sekali.
Dia mencoba menghubungi nomornya, namun dering ponsel itu berasal dari atas meja di samping ranjang king size.
Aiden panik.
Matanya menyapu dinding. Instingnya, lebih cepat dari kalkulasi MFin-nya, menembus tembok itu.
Pembicaraan Noa dan Helena terhenti saat suara ketukan di pintu kamar terdengar mendesak, seolah ingin menangkap pencuri yang kabur, atau lebih tepatnya, seseorang yang melanggar batas teritorial.
Noa tersenyum licik mendengar ketukan itu, tidak buru-buru membuka.
Dia menikmati pembalasan dendamnya atas rasa kesal pagi tadi.
"Dia seolah ingin menangkap pasangan berselingkuh," ucapnya usil, yang membuat tawa kecil Helena terdengar.
"Tuan Ryder, sebaiknya kau cepat membukanya. Jika tidak, pintu itu akan roboh dalam hitungan menit," balas Helena, geli.
"Kau tahu, dia benci menunggu dan kegagalan sistem."
Noa berjalan untuk membuka pintu.
Saat pintu terbuka, wajah jailnya terlihat. Dia berpura-pura kaget dan panik yang berlebihan.
"Helena, kita ketahuan!" ucapnya dramatis, mengedipkan sebelah matanya ke arah Aiden, yang kini berdiri di ambang pintu, auranya sedingin es yang baru pecah.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Aiden, suaranya rendah dan penuh tekanan, sebuah gema di koridor sunyi.
"Bercerita," balas Noa, santai.
"Dan berselingkuh, tentu saja."
"Noa Ryder," ucap Aiden, menekan setiap kata, seolah mengeluarkan perintah yang tidak bisa dibantah.
Helena segera datang menghampiri. Dia melingkarkan lengannya pada lengan Aiden, sebuah sentuhan yang tenang, seolah menariknya kembali dari pusat badai emosi yang jarang terjadi.
"Maaf membuatmu menunggu, Kak. Aku hanya berbicara sedikit dengan Tuan Ryder," kata Helena dengan nada menenangkan.
"Tuan Ryder, terima kasih untuk tempatnya. Aku pamit." ucapnya, lalu menarik Aiden yang masih beku karena percampuran amarah dan kelegaan, kembali ke suite sebelah.
Di suite sebelah, Helena tampak biasa merapikan barang-barangnya.
Aiden, dia masih menahan kesal.
"Helena, kau tidak boleh masuk kamar seorang pria sembarangan," tegasnya, suaranya menunjukkan batas kontrol yang rapuh. Suara itu bergetar halus.
Helena tersenyum.
Senyumnya kini adalah tantangan murni, sebuah kilau yang menyala di matanya.
"Lalu bagaimana sekarang? Aku berada di kamarmu sekarang, bukan?" tanya Helena, seolah menantang otoritasnya dan aturan-aturan yang dia tetapkan.
Aiden menarik lengan Helena yang merapikan barangnya.
Dengan gerakan yang kuat dan naluriah, dia membawa gadis itu ke dinding yang berpanel kayu gelap dan mengurungnya dengan tubuhnya sendiri.
Aiden mendekatkan bibirnya ke samping telinga Helena.
Hembusan napas pria itu menggelitik telinga dan leher mulusnya.
Aroma maskulin yang menusuk, gabungan musk segar, kulit halus jasnya, dan vetiver yang dingin, seperti udara pagi di tengah hutan pinus yang berembun, memenuhi indra Helena.
Alih-alih takut, Helena menantang Aiden. Dia melingkarkan tangannya di leher Aiden.
Dia merasakan kesenangan liar saat melihat Aiden lepas kendali, pria yang selalu memikirkan setiap langkah dan memperhitungkan segalanya, kini mengikuti insting teritorial-nya.
"Kenapa, Kak? Kenapa mengurungku?" tanya Helena, suaranya tertahan, hampir berbisik, menikmati situasi itu.
Tangan Aiden yang tadinya menempel di dinding kini berpindah ke pinggang mungil gadis itu, mendekapnya dengan erat, menarik tubuh mereka untuk menempel.
Mereka seolah berpelukan paksa di tengah cuaca dingin London, tubuh mereka memancarkan panas yang kontras.
Bisikan itu datang tepat di telinga Helena, sesekali menyentuh, seolah mencium di tengah bisikan, membuat leher Helena sedikit tersengat.
"Kau tunanganku, rumahku, kamarku, dan bahkan ranjangku, kau bebas memasukinya," suara Aiden serak, mengandung ancaman dan kepemilikan.
"Tapi jika itu milik pria lain, kau dilarang keras."
Helena memundurkan wajahnya sedikit, ingin melihat wajah dan ekspresi Aiden.
Dia ingin melihat wajah yang selalu dingin mengatakan kata provokatif seperti itu.
Saat wajah mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat, Helena melihat keseriusan yang mematikan dalam kata-katanya.
Mata Aiden merah, entah kekesalan, amarah, atau nafsu yang dia tahan.
"Kenapa?" tanya Helena, bingung.
"Bukankah pertunangan kita hanya strategi bisnis?" tambahnya, sebuah tantangan terakhir untuk menguji batasan Aiden.
Aiden tersenyum. Senyum predator yang menandai wilayahnya, sebuah janji yang berbahaya.
"Helena, pertunangan kita sudah berjalan selama tiga tahun," ucapnya seperti godaan.
"Aku tidak keberatan jika pertunangan ini berlanjut ke pernikahan."
Aiden menatap mata Helena dengan intens.
"Kau juga seharusnya tidak keberatan," ucapnya tegas, seolah tidak ada negosiasi dalam pernyataannya.
Sebelah lengan Aiden memegang belakang kepala Helena dengan lembut namun pasti, dan satunya masih erat memeluk pinggang mungil gadis itu.
Tanpa aba-aba, Aiden menunduk sedikit, mencium bibir kenyal Helena yang sedari tadi menggodanya.
Ciuman itu bukan kecupan ringan seperti tadi malam, tapi ciuman penuh otoritas yang menandai wilayah, sebuah penegasan klaim.
Helena terkejut sesaat dan memejamkan matanya. Pikirannya kosong. Dia terbuai oleh klaim kepemilikan mutlak Aiden atas dirinya, oleh naluri pria itu yang akhirnya terlepas dari borgol perhitungan.
Melihat Helena yang memejamkan matanya, bibir Aiden tersungging di tengah ciuman. Dia ikut memejamkan matanya menikmati ciuman itu, mempererat dekapannya pada tubuh Helena.
Merasakan setiap bagian tubuhnya menempel pada dirinya, tidak membiarkannya kabur kemanapun.
Ciuman itu intens, hangat, dan manis. Aiden memasukkan lidahnya di antara ruang kecil bibir Helena yang terbuka.
Menjelajahi setiap inci dan setiap tempat tersembunyi, seolah menandai miliknya, menjerat lidah Helena seolah mengikatnya dalam kontrak tak terlihat yang disahkan oleh gairah.
Bunyi kecupan nyaring terdengar di ruangan sunyi itu, membuat telinga Helena memerah malu.
Kaki Helena lemas, membuatnya harus mempererat pelukannya pada leher Aiden, menjadikannya tumpuan agar tidak terjatuh.
Helena kini sadar, dia telah menantang orang yang salah. Saat lepas kendali, Aiden adalah orang yang mengikuti instingnya, dan instingnya adalah mendominasi, menguasai, dan memiliki.
Helena hampir kehabisan napas.
Gadis itu memukul pelan pundak Aiden untuk melepaskan ciumannya.
Aiden mengerti isyarat itu. Dia menggigit bibir bawah gadis itu sekali lagi sebuah penutup, sebuah janji sebelum melepaskan ciumannya.
Saat ciuman terlepas, Aiden menatap wajah Helena, ingin melihat wajah kemerahan memukau gadis itu.
Namun, Helena tidak membiarkannya.
Dengan gerakan malu namun cepat, dia memeluk erat tubuh tegap Aiden. Dia menenggelamkan wajahnya di antara pundak dan leher pria itu, menyembunyikan pipinya yang terasa seperti terbakar.
Aiden tertawa.
Tawa yang sangat ringan, penuh kepuasan.
"Pinjamkan bahumu, beri aku sedikit waktu kak," ungkap Helena, suaranya teredam, tidak mau memperlihatkan wajahnya yang kini panas membara, menyerahkan sedikit lagi kendali yang dia jaga.
Aiden dengan lembut menarik gadis itu, membiarkan kepala Helena bersandar di tempatnya. Dia mengelus lembut rambut belakang gadis itu, sebuah gerakan yang menenangkan kegelisahan dan kekacauan emosionalnya.
"Tentu, Helena. Apapun keinginanmu. Asal kau ingat, waktu itu milikku."